Jumat, 16 Maret 2012

Nabi Orang Termiskin

Ahmad Syafii Maarif, MANTAN KETUS UMUM PP MUHAMMADIYAH
Sumber : KOMPAS, 26 November 2011


Judul yang lengkap sebenarnya adalah ”Asketik Hindu Nabinya the Poorest of the Poor ”. Ini adalah artikel refleksi kesaksian saya atas realitas spiritual seorang asketik Hindu.

Asketik berarti sederhana ekstrem. Saya mendapat undangan dari seorang asketik spiritual untuk mengunjungi kota Bhubaneswar, Negara Bagian Orissa, India, 14-16 November 2011. Saya diajak menyaksikan proyek pendidikan, sosial, dan kemanusiaan dahsyat yang telah digelutinya sejak 20 tahun lalu.

Sosok itu bernama Dr Achyuta Samanta, lahir 20 Januari 1965. Ia berasal dari Desa Kalarabanka, salah satu tempat tinggal suku termiskin di negara bagian itu. Samanta yatim sejak berumur empat tahun. Ibunya yang kini 83 tahun tetap tinggal di desa, sementara saudara-saudaranya tak seorang pun mengikutinya.

Melalui perjalanan hidup yang sangat sulit, Samanta berhasil sekolah dan mendapatkan beasiswa untuk meraih sarjana kimia dari Universitas Utkal.
Aneh bin ajaib, ia melepaskan profesinya sebagai dosen dan kemudian beralih posisi menjadi nabinya ”the poorest of the poor” (kalangan termiskin di antara yang miskin). Nabi di sini hendaklah dipahami sebagai seorang pembebas dari ketertindasan: kasta, ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik.

Tuan dan puan jangan kaget membaca kesaksian berikut dari saya (76) yang sudah bersyahadat sejak usia sangat dini. Senin 14 November pagi pukul 07.19, Dr Mahendra Prasad, Direktur Hubungan Internasional Universitas Kalinga Institute of Industrial Technology (KIIT), menjemput saya di Bandara Biju Patnaik dengan sebuah mobil cukup mewah.

Belum ada lini penerbangan internasional langsung ke Orissa. Dengan demikian, saya harus berjam-jam transit di Bandara Delhi yang sangat melelahkan.

Asketisme

Sampai jam itu saya belum dikenalkan dengan nama asketik Hindu yang fenomenal itu, otak dari semua proyek kemanusiaan yang mungkin hanya dia seorang saja di muka Bumi ini dalam makna asketisme: tak terbayangkan di tengah aset proyek ratusan juta dollar AS. Sebuah aset yang tidak akan diwariskan kepada keluarga, melainkan untuk publik, seperti yang ia tegaskan kepada saya.

Dalam perjalanan ke Hotel Trident, Prasad memberi saya beberapa informasi tercetak tentang KIIT, Kalinga Institute of Social Sciences (KISS), dan tentang Samanta. Di hotel secara selintas saya membaca informasi itu, termasuk sosok Samanta yang beberapa jam kemudian datang menemui saya di kamar hotel.

Saya terkejut bukan main, seorang humanis besar datang dengan baju putih lengan panjang, celana jeans, dan sandal lusuh. Langsung saya berucap, ”Tak ada gunanya Anda mengundang saya ke sini. Saya bukan siapa-siapa dibanding Anda.” Dengan sikap penuh hormat sambil mengangkat kedua tangan ke dahi, Samanta menjawab, ”Jangan berkata begitu.Saya mengagumi Anda.

”Terus terang saya malu sekali karena dia tak punya alasan untuk mengagumi saya. Syahadat usia dini tidak mengarahkan saya menjadi humanis yang berarti. Sewaktu saya tanya tentang inti filosofinya, Samanta hanya menjawab, ”Untuk membahagiakan orang lain.” Sebuah filosofi yang melawan sifat mementingkan diri sendiri.

Hari itu juga Samanta untuk kedua kalinya datang ke kamar saya. Pakaiannya tetap saja tak berganti, itu-itu saja. Ia memberikan serangkai bunga berwarna merah, lagi-lagi untuk menyatakan rasa hormat yang sebenarnya tidak patut saya terima. Saya merasa kualitas spiritual saya jauh berada di bawah.

Sore itu saya diajak keliling kota oleh pemuda Chitta Ranjan Panda, asisten liaison officer (staf penghubung) Universitas KIIT. Kami mengunjungi Candi Surya, peninggalan Kerajaan Kalinga, dan ke pantai melihat matahari terbenam dengan mobil KIIT yang cukup mewah.
Sebaliknya mobil Samanta yang sudah berusia 10 tahun tidak juga ditukar. Selasa 15 November pagi, saya diajak mengelilingi semua kampus KIIT dan KISS yang sedang membangun gedung-gedung lain untuk pengembangan lebih lanjut.

Untuk yang Miskin

Belum berumur 20 tahun, KIIT dan KISS sudah tampil sebagai salah satu universitas kelas dunia dengan 36.000 mahasiswa, termasuk mahasiswa asing. KISS dibangun untuk mendidik anak-anak termiskin dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Ada 10.000 siswa dan mahasiswa miskin ditampung dan dididik secara gratis oleh KISS.

Tuan dan puan dapat membayangkan dana yang harus tersedia untuk menghidupi lautan manusia papa itu. Samanta yang merasa hanya sebagai media Tuhan punya mimpi untuk memberdayakan 2.000.000 anak miskin dalam beberapa tahun mendatang. KIIT sekarang sudah punya 16 kampus, termasuk fakultas kedokteran dan fakultas hukum, melengkapi fakultas lain dari berbagai cabang ilmu.

Gambaran tentang sosok yang kita bincangkan ini belum lagi utuh sebelum tuan dan puan mengikuti yang berikut ini. Samanta tetap membujang, tinggal di rumah sewaan, berkantor di bawah pohon, dengan sebuah meja kuno dan beberapa kursi plastik. Jika panas menerpa ”kan - tornya ”, ia bergeser ke sisi lain. Di sinilah dia menerima tamu: presiden, menteri, gubernur, pemenang Hadiah Nobel, Hadiah Magsaysay, pejabat KIIT/KISS, dan tokoh-tokoh dunia lainnya. Semua akan sampai kepada kesimpulan: Samanta humanis yang belum ada duanya.

Pejabat-pejabat KIIT dan KISS bekerja di ruangan ber-AC, mobil mewah, dan berdasi. Samanta tetaplah Samanta, asketik Hindu. Di sebuah ruang di tempat tinggalnya, Samanta pagi-sore bersemedi. Saya diajak menengok ruang ini.

Dua kali dalam seminggu dia berpuasa. Dalam SMS-nya kepada saya tanggal 22 November, Samanta mengatakan akan tetap bertahan sebagai nabi orang miskin dalam asketisme yang membuat saya merasa malu. Samanta adalah pengikut Mahatma Gandhi, tokoh yang paling dikagumi pemikir sejarah AJ Toynbee.

Sore hari 15 November, saya bersama tamu yuris dari Inggris, Prof J Martin Hunter, dan dokter aktivis lingkungan, dr Shri Rajendra Singh, diminta berpidato di depan 15.000 siswa dan mahasiswa miskin yang berdisiplin tinggi. Acara berlangsung di lapangan terbuka kampus KISS.

Akhirnya, tentu amatlah sulit bagi kita menjadi asketik seperti Samanta dengan karya besarnya itu. Sekiranya kita mau hidup jujur dan lurus saja sudah lebih dari cukup, pasti akan banyak sekali proyek pengentasan orang miskin yang dapat kita laksanakan di Indonesia.
Mau studi banding? Temuilah Samanta di KIIT dan KISS, tak perlu ke Yunani atau negara industri lain. Jika memang mau menghalau kemiskinan dari bumi Nusantara, halaulah secara sungguhan! ●

Kick Andy Heroes

Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 13 Maret 2012



Menyesal juga saya tidak bisa datang ke studio Metro TV pekan lalu memenuhi undangan rekan Andy Noya untuk menyaksikan penyerahan penghargaan Kick Andy Heroes 2012.
Menyesal karena saya pencinta acara Kick Andy, yang saya kira tidak kalah dibanding acara Oprah Winfrey Show, sehingga tidak bisa memperlihatkan dukungan langsung saya untuk acara tersebut.

Buat saya tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam program tersebut sama sekali berbeda dengan para tokoh politik yang sehari-hari ditampilkan dalam berbagai berita di televisi ataupun media massa lainnya.
Apalagi, para pemenang Kick Andy Heroes memang orang-orang berkarakter luar biasa, yang berani “berenang melawan arus perusakan massal” yang saat ini berlangsung di negeri kita.

Yang saya maksud dengan perusakan massal itu adalah degradasi moral karena: korupsi (di berbagai bidang kehidupan), kerusakan lingkungan yang parah karena eksploitasi berlebihan, kemiskinan (yang kerap disembunyikan tapi kerap pula dibutuhkan untuk kepentingan politis ataupun ekonomis), dan lain-lain.

Saya merasa bangga menyaksikan seorang hero seperti Irma Suryati (37) penyandang cacat di Kebumen yang berhasil membangun industri kerajinan, bahkan punya sekitar 2.500 binaan (termasuk kalangan PSK).

Irma hanya lulusan SMA. Dia tidak korupsi seperti Nazaruddin atau para politikus, pegawai pajak atau birokrat lainnya. Namun, di tengah kecacatannya dia mampu memberi pekerjaan dan harapan kepada orang lain yang sudah tanpa harapan.

Atau Dadang Heriadi (41), mantan pegawai PLN yang rela mengorbankan hidupnya untuk mengurus orang-orang gila yang menggelandang di jalan-jalan Tasikmalaya.
Padahal, dia bukan konglomerat yang punya dana CSR, tetapi memang menyerahkan hidupnya untuk sesama. Orang seperti Dadang sekelas dengan Bunda Teresa, pemenang Nobel Perdamaian 1979, karena karya kemanusiaannya untuk kaum miskin di Kalkuta, India.

Buat saya orang-orang seperti Irma atau Dadang jauh lebih terhormat dan berharga dibanding para politikus seperti Nazaruddin, atau politikus yang menyatakan siap digantung di Monas kalau terbukti korupsi, mengapa?

Karena para politikus telah mengajarkan kehancuran kepada bangsa ini di saat mereka diberi talenta berlebih oleh Tuhan, sementara para hero itu memberikan hidup mereka yang memang terbatas dan pas-pasan untuk sesama. Para hero itu memberikan jauh lebih banyak dari orang kaya atau politikus hebat mana pun di negeri ini.

Gerakan Masyarakat Sipil

Menjelang pemilihan gubernur di Jakarta tahun ini, muncul sepasang calon gubernur/wakil gubernur yang berasal dari kubu independen, yakni Faisal Basri dan Biem Benyamin. Saya sendiri tidak tahu apakah pasangan ini akan memenangi pertarungan, apalagi menghadapi calon incumbent yang diperkirakan punya dana dan sumber daya tak terbatas.

Namun, saya setuju dengan semangat mereka bahwa calon-calon independen itu merupakan antitesis terhadap para kandidat yang didukung partai-partai politik yang ada. Padahal, sudah terbukti partai-partai politik di Indonesia pada hari ini lebih merupakan beban (liability) ketimbang aset bangsa, namun mereka berkuasa dan menentukan ke mana arus itu mengalir.

Jadi, kandidat independen di pilkada DKI itu seperti berenang melawan arus. Mereka harus didukung, karena semangatnya adalah untuk memperlihatkan dan mengajarkan kepada masyarakat bahwa partai politik harus dikontrol oleh gerakan masyarakat sipil yang terstruktur dengan baik.

Profesor saya di mata kuliah etika komunikasi mengajarkan bahwa tidak setiap penyimpangan yang terjadi di masyarakat harus dilawan dengan legislasi, meski mungkin maksud legislasi itu baik.

Alasannya, tidak semua hal yang terjadi di masyarakat dapat diatur, termasuk dampak-dampak ikutannya (residual effect). Cara untuk melawannya adalah dengan membangun gerakan masyarakat sipil (civil society) yang merapatkan barisan untuk melawan berbagai penyimpangan dan kekacauan yang terjadi di masyarakat.

Contoh paling jelas adalah SKB dua menteri yang mengatur syarat-syarat pendirian rumah ibadah malah menimbulkan komplikasi dan segregasi di masyarakat, karena persoalan seperti itu tidak bisa diselesaikan dengan aturan, melainkan dengan mendidik masyarakat mengenai pluralitas bangsa ataupun civic education.

Akhirnya, saya mau menutup bahwa masih banyak bibit baik di tengah-tengah masyarakat kita, yang dapat membawa bangsa ini menuju kebaikan.

Perbaikan itu akan makin cepat tercapai bila civil society menyadari bahwa tugas dan tanggung jawab kita menyebarkan nilai-nilai kebaikan itu, di tengah perlombaan melawan kehancuran. Jadi, kini saatnya merapatkan barisan untuk kebaikan bersama.

UNGKAPKAN DENGAN BUNGA

Gede Prama, PENULIS BUKU SIMFONI DI DALAM DIRI:
MENGOLAH KEMARAHAN MENJADI KETEDUHAN
Sumber : KORAN TEMPO, 3 Februari 2012


Negeri autopilot, demikian kesimpulan sahabat yang merasa pemerintah seolah olah tiada. Terutama di tengah derasnya ancaman akan pluralitas, aparat sepertinya tidak berbuat apa-apa. Negeri para makelar, itu kesimpulan sahabat lain yang melihat pemerintah hanya adem-ayem atas kemampuan sekolah menengah kejuruan menghasilkan mobil sendiri. Cerita akan lain sekali--masih menurut para kritikus-bila pabrikan mobil luar negeri datang kepada aparat meminta proteksi, plus tentu ongkos komisi buat makelar.

Inilah salah satu wajah demokrasi, dengan pemerintah yang selalu dalam posisi bersalah. Namun, melihat perkembangan kerut wajah sejumlah pemimpin negeri ini, tampak jelas pihak pemerintah juga bekerja keras. Salah satu bagian wajah pemimpin yang bisa mewakili kerja keras dan kelelahan adalah cekungan di bawah mata. Dan ini bukan tidak ada hasilnya, investor luar mulai menyebut negeri ini sebagai wanita cantik. Buktinya, investment grade yang lenyap sejak 1997 sudah kembali dalam pangkuan pada 2011.

Pertanyaan awam sehabis ini, mana yang benar, negeri ini bopeng sebagaimana komentar kritikus, atau wanita cantik sebagaimana kesimpulan investor. “In the deeper level, truth is relational,“ demikian pesan tetua bijaksana dari Timur. Dalam tingkatan yang lebih dalam, kebenaran sifatnya relasional, amat bergantung pada siapa yang mempersepsikan, dengan siapa seseorang berinteraksi, apa kepentingannya, dan seberapa jujur seseorang dalam menyuarakan kebenaran.

Melihat sifat kebenaran yang relasional seperti ini, bisa dimaklumi bila ada guru yang menyarankan sebaiknya seseorang lebih cerdas tidak hanya di depan berita, tapi perlu “lebih cerdas“ bahkan di depan buku suci sekalipun. Lihat konteks lahirnya, cermati dinamikanya, dan pandang secara jernih pewarta berita sekaligus buku suci. Menelan mentah-mentah apa yang disajikan, serupa makan makanan yang belum dimasak, tidak hanya menimbulkan penyakit, tapi juga membuat diri menjadi bagian dari penyebaran penyakit, bukan bagian dari langkah-langkah kesembuhan dan pertumbuhan.

Ini yang bisa menjelaskan kenapa banyak pencinta kejernihan menjaga jarak terhadap kerumunan orang kebanyakan. Ini juga sebabnya kenapa kerumunan orang kebanyakan tidak semakin tersembuhkan di tengah kerumunan, sebaliknya tambah sakit dari hari ke hari. Coba perhatikan angka bunuh diri yang terus meningkat, rumah sakit jiwa yang sesak. Di tingkatan interpersonal konflik, perang dan permusuhan seperti tidak mengenal henti. Di tingkatan kosmik, pada akhir 2011 terjadi gempa dengan kekuatan 9 skala Richter di Jepang (terbesar dalam 1.200 tahun terakhir), yang diikuti tewasnya belasan ribu orang dan hilangnya ribuan manusia yang lain.

Pada tataran ini, rumusnya bukan hanya kejadian memproduksi kebenaran, tapi “kebenaran“ ikut memproduksi kejadian. Sementara dalam geografi berlaku rumus bentuk wilayah menentukan bentuk peta, dalam kekacauan kosmik saat ini rumusnya terbalik, yakni peta (baca: cara memandang) menentukan bentuk wilayah (realitas). Terutama karena kepala manusia berisi banyak kekacauan, kemudian keputusan-keputusannya ikut menciptakan kekacauan.

Mungkin karena merenung dalam-dalam di atas tumpukan bahan renungan seperti inilah, kemudian tetua di Timur menjauh dari perdebatan--apalagi penghakiman anarkistis-dan duduk bermeditasi bersahabatkan keheningan. Di awal perjalanan, keheningan diambil alih oleh kekacauan. Maka banyak orang mudah marah dan protes. Di pertengahan perjalanan, mulai ada ruang antara kejadian di satu pihak dan sikap keseharian di lain pihak. Kadang sikapnya masih dibawa pergi emosi, kadang bisa merasakan keheningan.

Makhluk tercerahkan malah lebih mengagumkan lagi, mulai bisa “istirahat“ dalam ruang-ruang keheningan. Kejadian, berita, dan opini serupa awan. Yang menyenangkan mirip awan putih, yang menjengkelkan serupa awan hitam. Tapi, baik yang putih maupun hitam sama-sama tidak kekal, tunduk pada hukum muncul dan lenyap. Penderitaan terjadi karena manusia menggenggam awan putih, atau menendang awan hitam. Perjalanan menuju kesembuhan lebih mungkin terjadi, saat seseorang belajar menyaksikan muncul-lenyapnya awan-awan, kemudian “istirahat“ dalam kejernihan langit biru. Dan kapan saja awan menghilang, langit senantiasa berhiaskan cahaya yang mengusir kegelapan (baca: kekacauan kosmik).

Ada memang yang menuduh keadaan istirahat terakhir dengan apatis, tapi siapa saja yang lama beristirahat dalam langit biru tahu, sebagaimana air yang tidak bisa dipisahkan dengan basah, keheningan sebagai buah meditasi tidak bisa dipisahkan dengan kasih sayang. Itu sebabnya, salah satu simbol pencerahan yang ada di alam adalah pepohonan. Kelihatannya pohon diam dan pasif, tapi dalam diamnya ia mengolah karbon dioksida menjadi oksigen yang amat dibutuhkan semua makhluk. Pemimpin-pemimpin seperti inilah yang dibutuhkan alam dalam kekinian. Mulutnya memang mengeluarkan teramat sedikit suara, tapi tindakannya menyuarakan kasih sayang. Ini yang di Barat disebut dengan say it with flower. Ungkapkanlah dengan bunga (baca: kasih sayang).

Sementara di Bali, yang bergelimang dolar pariwisata setiap hari, peristiwa-peristiwa mengenaskan terjadi, seperti infeksi HIV/AIDS, bunuh diri, dan konflik, tidak terbayang apa yang terjadi di Indonesia timur yang belum tersentuh pembangunan. Sementara di Jawa dan Sumatera saja infrastruktur jalan demikian menyedihkan, sehingga gerak pelayanan terhadap rakyat terganggu, tidak terbayang apa yang terjadi di tempat-tempat di mana sungai masih tidak berisi jembatan.

Sementara di Jakarta bahaya narkotik tidak sepenuhnya tertangani, apa yang terjadi di pelosok-pelosok yang jauh dari pusat pemerintahan. Hal-hal seperti inilah yang sebaiknya menjadi bahan renungan semua pihak (baik pemerintah maupun kritikus), endapkan sambil menarik napas sebentar, kemudian dengarkan bisikan keheningan: “ungkapkan dengan bunga“. ●

Kamis, 15 Maret 2012

MENYIRAMI BIBIT KEBAJIKAN

Gede Prama, PENULIS BUKU SIMFONI DALAM DIRI: MENGOLAH KEMARAHAN MENJADI KETEDUHAN ; FASILITATOR MEDITASI DI BALI UTARA
SUMBER : KORAN TEMPO, 15 Maret 2012



Setelah dihukum beratnya koruptor oleh pengadilan plus disitanya semua harta pribadi menjadi kekayaan negara, banyak yang menyebut hal ini sebagai cahaya optimisme dalam pemberantasan korupsi. Membuat jera koruptor tentu baik, membimbing orang jahat agar baik tentu tidak keliru. Tapi sejarah panjang lembaga pemasyarakatan (LP), lengkap dengan hukumannya yang kejam, sudah dicatat sejarah tidak berkontribusi signifikan dalam menurunkan angka kejahatan. Masyarakat Barat berada jauh di depan dalam hal ini. Hukumnya rapi, aparatnya relatif lebih bersih. Tapi belum pernah terdengar angka kejahatan menurun signifikan. Akibatnya, muncul pertanyaan: tepatkah pendekatan menghukum dalam mengurangi kejahatan?

Sejarah pengetahuan menyimpan banyak pendekatan, sebagian bahkan saling bertentangan. Ia serupa dengan buku suci. Semua buku suci menyimpan kontradiksi. Di satu bagian, buku suci memerintahkan: "cepat minum gula, nanti mati". Di bagian lain, buku suci yang sama berpesan: "jangan minum gula, nanti mati". Yang mengerti kesehatan tahu, perintah pertama berlaku untuk mereka yang kadar gula dalam darahnya masih jauh dari cukup. Perintah kedua untuk manusia sebaliknya. Tugas berikutnya sederhana, apakah kita hidup dalam putaran waktu yang "kebanyakan gula", atau sebaliknya "kekurangan gula"? Dari sini dipetakan, apakah penjahat sebaiknya dihukum sekeras-kerasnya, atau dididik agar menyirami bibit kebajikan dalam diri?

Saluran televisi National Geographic pada 6 Maret 2012 secara indah menyiarkan temuan tentang warrior gene. Persisnya, semacam gen dalam diri manusia yang membuat seseorang demikian berenerginya, sehingga rawan bergabung dengan kelompok geng, bergerombol melakukan kekerasan. Hasilnya mengejutkan, mereka dengan gen jenis ini, bila diperlakukan dengan kekerasan, akan semakin keras. Kesimpulan ini akan semakin jujur terlihat bila kita bertanya ulang, seberapa persen mantan penghuni LP yang bisa dibikin baik setelah mendekam di sana bertahun-tahun? Seberapa banyak yang balik lagi? Membaca pemberitaan media, sebagian penghuni LP tidak hanya melanjutkan kejahatannya di sana, tapi juga malah bikin ricuh di LP. Bila demikian keadaannya, melakukan kekerasan terhadap manusia yang punya gen keras serupa dengan menyiramkan bensin ke api yang sedang terbakar. Jika terus dilakukan, bukan tidak mungkin kita semua akan terbakar!

Ini membawa konsekuensi luas tidak saja dalam mengelola LP, tapi juga bagaimana sebaiknya memperlakukan putra-putri kita di rumah yang bermasalah, bagaimana sekolah sebaiknya "mengorangkan" anak-anak nakal, bagaimana organisasi menyentuh hati pekerja yang suka melawan. Belajar dari sejarah panjang di mana hukuman lebih dekat dengan menyiramkan bensin pada api, mungkin bijaksana merenungkan menyirami bibit kebajikan dalam diri manusia bermasalah.

Perhatikan nama-nama manusia di semua agama. Tidak ada nama dengan konotasi buruk, seperti Injak, Pukul, Bunuh. Di samping itu, semua bayi dibuat oleh sepasang suami-istri yang berpelukan penuh kasih sayang, bukan pukul-pukulan. Semua ibu yang sedang hamil berbicara baik dengan anaknya dalam kandungan. Digabung menjadi satu, semua manusia memiliki bibit kebajikan dalam diri. Cuma, serupa dengan bibit pohon, bila tidak disirami, suatu waktu akan mati. Untuk itulah, sangat penting menemukan sebanyak mungkin cara untuk menyirami bibit kebajikan dalam diri. Merenung di atas sejarah panjang kesembuhan kejiwaan, umumnya manusia di zaman ini hanya mau yang positif, menendang yang negatif. Padahal bagian diri yang ditendang hanya hilang sebentar, dan nanti muncul lagi. Dalam bahasa Freud, masuk ke alam bawah sadar. Dalam terminologi Jung, ia akan menjadi bayangan yang mengikuti. Bila saatnya tiba, yang ditendang tadi akan muncul lagi sebagai gangguan.

Itu sebabnya, Carl Jung--setelah diperkaya filosofi Timur--kemudian belajar tidak serakah dengan hal positif, tidak marah dengan yang negatif. Jung menyebut terapi sebagai the work of reconciliation of opposites. Memadukan dualitas kemudian mengalami kesembuhan. Sebuah pendekatan yang mirip meditasi. Urutan langkahnya sederhana: acceptance, understanding, loving kindness, compassion. Menerima kekurangan sebaik kita menerima kelebihan, itu langkah pertama. Meminjam penemuan seorang guru meditasi: accepting without blaming is the true turning point of healing. Menerima tanpa menyalahkan adalah titik balik kesembuhan. Krusial dalam hal ini, bagaimana sebaiknya menerima manusia bermasalah sekaligus mengajak mereka menerima kekurangan hidupnya. Cahaya penerimaan lebih mudah dihidupkan bila dibangun di atas pengertian bahwa kejahatan tidak berdiri sendiri. Ada jejaring rumit berupa peradaban yang semakin gelap, keteladanan buruk elite, ketidakdewasaan orang tua, guru bermasalah, pemberitaan yang berisi terlalu banyak keburukan, lembaga agama yang mengalami krisis karisma.

Begitu sampai di tahap ini, kemudian kemarahan terhadap manusia bermasalah digantikan kerinduan untuk berbagi cinta kasih. Terutama karena manusia yang tadinya kita benci ternyata hanya korban, bukan aktor dari kerumitan kehidupan. Memarahi korban tidak hanya tak menyembuhkan, tapi juga memperumit jejaring masalah yang sudah rumit. Korban-korban ini sesungguhnya tidak membutuhkan kemarahan kita, mereka lebih membutuhkan kasih sayang (compassion). Makanya, kepada setiap murid meditasi selalu diberikan obat “sayangi, sayangi, sayangi”. Cara ini tidak hanya menyembuhkan orang lain, tapi juga menyembuhkan diri ini.

Dari sini bukan berarti kita harus membongkar jeruji besi LP, membebaskan anak-anak mengunjungi situs pornografi, membiarkan koruptor melanjutkan kejahatannya. Sebaliknya, kita harus merenungkan dalam-dalam bahwa manusia jahat tidak berdiri sendiri. Kemudian mengajak mereka menoleh ke dalam, ke bibit kebajikan yang tersedia di dalam, menyiraminya dengan penerimaan, pengertian, cinta, dan kasih sayang, adalah pekerjaan rumah kita bersama.

BERHUTANG DENGAN BIJAK


Purnawan Kristanto

Hutang seperti ini bisa jadi sangat berbahaya. Oleh karena itu sedapat mungkin jangan mudah terperangkap pola gaya hidup atau lifestyle yang berlebihan yang akan memaksa kita untuk berhutang. Keinginan untuk hidup enak sesaat sering membuat orang mengabaikan dampak jangka panjangnya.

Hutang adalah ibarat pedang bermata dua. Agar tidak tersayat mata tajam pedang itu, perlu diingat aturan sederhana ini: Berhutanglah untuk berinvestasi yang akan membuat kekayaan bersih kita tumbuh berkembang. Sebaliknya, hindarilah hutang untuk memenuhi keinginan konsumtif dan justru membuat aset menyusut.

Supaya Anda tidak terjebak ke dalam keputusan berhutang yang keliru, ada tiga pertanyaan kunci yang perlu diajukan sebelum memutuskan berhutang. Berikut ini uraiannya.

1. Untuk apa hutang tersebut digunakan?

Pertanyaan ini untuk memeriksa kesesuaian antara keputusan berhutang dengan tujuan masa depan Anda. Sebelum memutuskan berhutang Anda harus mengkaji kebutuhan dan kegunaan dari barang atau aset yang akan dibeli dengan hutang.

Contohnya, ada orang yang membeli mobil baru dengan kredit selama 3 tahun. Ia tidak mempertimbangkan kegunaan mobil dan dampak keputusan ini terhadap kondisi keuangan di masa depan. Untuk dapat mengatur besarnya cicilan hutang tiap bulannya serta pertimbangan kegunaan dari aset yang akan dibeli, perlu dibedakan jenis hutang jangka pendek dan jangka panjang. Dari sudut pandang perencanaan pengeluaran (spending plan), hutang jangka (sangat) pendek adalah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari 3 bulan.

Ada dua sebab utama orang berhutang jangka pendek: (1) Kemudahan, kita dapat menggunakan hutang ini untuk membayar pembelian makanan, pakaian dan kebutuhan harian lainnya namun hutang ini harus dilunasi pada akhir bulan; (2) Kebutuhan darurat, kita dapat menggunakannya untuk kebutuhan tak terduga seperti kerusakan mobil, pengobatan dokter dan lain-lain.

Hutang jangka panjang bisa mencapai 15 tahun untuk melunasinya. Hutang ini digunakan untuk kebutuhan yang lebih besar atau prioritas jangka panjang seperti membeli mobil (KPM) atau rumah (KPR).

Untuk kebutuhan hutang jangka panjang Anda dapat memakai hutang perbankan. Akan tetapi harus diingat, pembayaran cicilan bulanan tetap tidak boleh melampaui rasio hutang dan rasio pembayaran hutang yang disarankan. Bila Anda tetap pada jalur perencanaan yang sudah ditetapkan dan melakukan peninjauan ulang secara berkala, peluang Anda untuk dapat mencapai semua tujuan masa depan yang diinginkan keluarga akan sangat besar.

2. Berapa besar hutang yang ingin dan mampu Anda ambil?

Pertanyaan ini bertujuan untuk memeriksa kondisi keuangan melalui besaran rasio pembayaran hutang. Rasio ini menghitung porsi dari pendapatan bulanan yang akan digunakan sebagai pembayaran cicilan hutang setiap bulan. Angka yang dianjurkan sebagai batas atas dari rasio ini adalah 30 persen.

Artinya adalah bila pendapatan bersih Anda sebesar 5 juta rupiah per bulan maka batas pembayaran cicilan hutang per bulan yang diperkenankan adalah tidak lebih dari 1,5 juta rupiah.

3. Bagaimana hutang itu bisa dilunasi dalam keadaan darurat?

Perhitungkan juga alternatif pembayaran hutang bila terjadi keadaan darurat. Ada cara untuk mengantisipasi keadaan darurat. Misalnya saja, persiapan menghadapi risiko meninggal dunia dari kepala keluarga yang menopang kelangsungan keluarga dapat dilakukan melalui produk asuransi term insurance dengan jangka waktu dan besar uang pertanggungan sama dengan jangka waktu dan besar hutang Anda.

Ada juga kejadian tak terduga yang hanya sementara mengganggu arus kas Anda, misalnya musibah sakit atau kecelakaan.

Petaka ini memaksa Anda untuk menangguhkan pembayaran cicilan bulanan hutang Anda. Untuk bersiap menghadapi musibah jenis ini, ada beberapa langkah strategi untuk tetap dapat memenuhi kewajiban membayar cicilan bulanan hutang jangka panjang Anda. Berikut ini beberapa alternatif penyelesaiannya:

Hubungi kreditur dan jelaskan keadaan Anda sekarang. Anda dapat memohon keringanan, misalnya dengan perpanjangan waktu pembayaran atau membayar bunganya terlebih dahulu. Kemauan kreditur untuk bernegosiasi akan sangat tergantung pada situasi yang terjadi dan catatan sejarah pembayaran kredit Anda.

Kalau masih memiliki dana cukup dalam simpanan, Anda dapat menggunakannya sebagian untuk membayar cicilan pinjaman bulanan.

Harus diingat bahwa dana simpanan Anda adalah terutama untuk pencapaian prioritas tujuan jangka panjang serta untuk menutupi kebutuhan sehari-hari (bukan untuk membayar hutang) selama 3 sampai 6 bulan dalam keadaan dana darurat. Jadi jangan sampai menghabiskan dana simpanan tersebut.

Bila Anda memiliki polis asuransi (misalnya polis life insurance) yang memiliki nilai tunai, maka Anda dapat meminjam terlebih dahulu dari asuransi tersebut. Sebagian life insurance memperbolehkan Anda meminjam sampai dengan 80 persen cash dari polis asuransi Anda.

Diringkas dari www.sinarharapan.co.id

HADIAH BAGI YANG MERENDAHKAN HATI


Tuhan sangat menyukai orang yang sungguh rendah hati.


Booker T Washington, seorang pendidik berkulit hitam yang terkenal, adalah salah satu contohnya.
Tatkala ia menjadi pemimpin pada Institut Tuskegee di Alabama, ia senang berjalan-jalan di pinggir kota. Suatu hari ia dihentikan oleh seorang wanita kaya kulit putih. Karena tak mengenal Washington, ia menawarkan apakah laki-laki kulit hitam itu mau ia beri upah dengan memotongkan kayu untuknya.
Setelah mengingat bahwa tak ada urusan mendesak pada saat itu, Profesor Washington menyatakan kesediaannya. Ia tersenyum, menggulung lengan baju, dan mulai mengerjakan pekerjaan kasar yang diminta wanita tadi. Kemudian ia membawa kayu-kayu itu ke dalam rumah dan meletakkannya di dekat perapian.
Seorang gadis kecil yang mengenalnya, kemudian mengatakan kepada wanita itu siapa Pak Washington sebenarnya. Keesokan harinya wanita tadi dengan perasaan malu datang ke kantor Washington untuk meminta maaf. “Tak apa-apa, Nyonya, saya sangat senang dapat menolong Anda.” Wanita tadi dengan hangat menjabat tangan Pak Washington dan mengatakan bahwa perilaku Washington yang sangat terpuji itu tertanam dalam hatinya. Tak lama kemudian wanita tadi menyatakan penghormatannya dengan menyumbang beribu-ribu dolar untuk Institut Tuskegee.
Ingatlah bahwa mengerjakan sesuatu tanpa pamrih akan membuat Anda dihormati manusia dan disayangi Allah. Ini merupakan hadiah sejati atas kerendahan hati. Tak ada pakaian yang lebih pantas bagi kita selain jubah kerendahan hati.
“Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Matius 23:12)
(Fenchu, sumber: www.rumahrenungan.com

IT’S EASY TO BUILD A HOUSE,BUT NOT HOME


Koran SINDO, Friday, 06 August 2010

MEMBANGUN rumah itu mudah. Yang sulit adalah membangun rumah tangga. Ungkapan ini rasanya selalu saja aktual dan mengajak kita untuk selalu mawas diri,melakukan evaluasi kondisi dan perkembangan rumah tangga kita.

Sosok seorang ayah atau ibu,misalnya,andaikan meninggal dunia tak akan terpengaruh. Namun, mesti disadari, ayah dan ibu adalah dunia bagi anak-anaknya.Mimpi-mimpi dan harapan masa depan anak-anak sangat dipengaruhi dan dikondisikan oleh orang tua mereka. Banyak orang tua sibuk bekerja dari pagi sampai malam dengan alasan demi anak dan keluarga.

Mereka berusaha mengejar dan mengumpulkan uang demi anak. Namun benarkah semakin banyak uang terkumpul semakin terpenuhi dan terpuaskan kebutuhan anak dan keluarga di rumah? Yang terjadi kadang sebaliknya.Ketika orang tua,khususnya seorang ayah atau suami,tidak mengenal waktu dalam mencari uang, ternyata anak-anak semakin merasa jauh dari ayahnya.Waktu yang mesti digunakan untuk bercengkerama bersama keluarga di rumah telah terampas untuk bekerja di luar sehingga dalih siang-malam bekerja demi anak, tidak lagi valid.

Hasil penelitian psikologi sosial menunjukkan, seorang pemimpin yang sukses tidak cukup hanya diukur dengan penampilannya yang bagus dan meyakinkan di luar rumah, melainkan pula harus dilihat kepemimpinannya dalam rumah tangga. Di dalam kehidupan rumah tangga itulah keaslian karakter seseorang akan terlihat. Kata psikolog,yang lebih mengetahui karakter seseorang adalah orang-orang terdekatnya, terutama anak dan pasangan hidupnya.

Bagaimana perilaku dan tutur katanya, bagaimana diamnya, bagaimana makannya dan sekian aspek lain yang spontan dan polos,di situlah akan ketahuan karakter seseorang yang asli. Ada teori lain, kalau ingin tahu karakter seseorang, perhatikan saja bagaimana orang itu memperlakukan pembantu rumah tangga dan sopirnya. Dari mulut sopir sering kali muncul penilaian dan pengalaman yang jujur tentang atasannya. Saya sendiri sering kaget mendengar komentar sopir tentang bosnya.

Misalnya saja senang membentak- bentak,pelit bilang “terima kasih” dan seakan pantangan berkata “mintamaaf”kepadasopirnya. Karena penampilan di luar rumah selalu menggunakan “topeng” agar tampak baik dan manis di depan umum, padahal itu dilakukan untuk menutupi bopeng-bopengnya, tidak aneh kalau tiba-tiba ada berita rumah tangganya berantakan.

Muncul berita anak seorang pejabat tinggi terlibat penggunaan narkoba, terlibat manipulasi uang, dan sekian tindakan negatif yang di luar dugaan masyarakat. Sekarang ini beban dan tantangan membina rumah tangga semakin berat dibandingkan dengan generasi orang tua kita. Masyarakat kian konsumtif. Berapa pun penghasilan seseorang akan selalu dirasa kurang begitu masuk mal atau showroom mobil.

Pasangan suami-istri sekarang memang lebih menikmati kebebasan untuk mengembangkan karier masingmasing. Namun itu semua bukannya gratis. Ongkos sosialnya kadang kala amat tinggi.Waktu berkumpul bersama anak-anak menjadi kurang.Belum lagi ketika tiap anggota keluarga pulang ke rumah membawa beban dan problem, lalu tidak ada forum yang kondusif untuk saling berbagi membantu mencari solusi. Sampaidirumahmasing-masing masuk gua.

Menutup kamar dan menyendiri.Teman setianya adalah komputer atau telepon. Secara fisik mereka berdekatan, tetapi tidak terjadi dialog. Justru orang yang jauh secara fisik adakalanya menjadi dekat melalui komunikasi telepon.Fenomena ini semakin jamak terjadi.Akhirnya, orang tua semakin tidak mengenal anak-anaknya dan anak-anak memandang orang tua tak lebih sebagai ATM atau bendaharanya.

Demikianlah, membangun rumah tangga ternyata jauh lebih berat ketimbang membangun rumah tempat tinggal. Salah satu ukuran rumah tangga yang baik adalah yang dari situ muncul generasi unggul yang siap menjunjung tinggi martabat orang tua dan bangsanya. Rumah tangga yang sukses adalah yang memberikan inspirasi serta keteladanan bagi keluarga besarnya dan lingkungannya.

Jadi, orang tua yang sukses tidak ada sekolahnya.Seseorang harus selalu belajar dari kehidupan untuk selalu mengurangi dan memperbaiki kesalahannya. Sampai kapan pun kita dituntut untuk selalu belajar dan belajar. Kita belajar memegang janji dan menghargai pasangan hidup.Satu hal yang pasti, mengkhianati teman dekat saja sudah amat tercela, apalagi mengkhianati pasangan hidup yang diikat dengan nama Tuhan.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah          

BAHAGIA DENGAN HAL-HAL SEPELE


Seorang kawan lama tiba-tiba datang ke rumah, pada sore yang berhias langit jernih. Mengenakan pakaian kausal dan bercelana pendek, senyum­nya masih selebar dulu. Yang berubah, body-nya tak seindah dulu lagi; lemak mengendap di balik lapisan kulit dan perutnya. Saya tidak bisa memastikan sebabnya. Mungkin karena kecintaannya pada kuliner yang memang dahsyat. Tapi barang­kali karena kemakmuran…

Setelah larut dalam nostalgia yang bertabur tawa renyah, tiba tiba dia mengeluh, “Sobat, hidupku sudah tidak berguna lagi…”
Saya tertegun. Kalau menyimak caranya berkelakar dan peningkatan signifikan pada taraf kemakmurannya, semua terlihat baik-baik saja. Tapi memang ada satu hal yang selalu ditakuti­nya. Jawabannya datang tidak lama.

“Aku baru pulang dari Jogja, check up.”
“Lho, bukannya rumah sakit di Jakarta lebih Ok?” ujar saya bingung.
“Bukan check up di rumah sakit, tapi di angkringan,” jawab beliau pendek.
Angkringan, adalah warung makan kelas ekonomi khas Jogjakarta. Bertebaran hampir di seluruh pinggir jalan, ujung gang, dan sudut-sudut gelap seantero kota budaya itu, angkringan menyajikan menu khas: ceker bakar dan nasi kucing. Disebut begitu karena materinya cuma sekepal nasi dengan lauk sambal teri, tumis tempe, atau bakmi goreng yang dibungkus daun pisang. Mirip menu buat si meong.

Lebih eksotis lagi jika sebungkus nasi kucing itu disantap dengan lauk ceker ayam potong yang dibacem. Sebelum menjadi lawan nasi, ceker bacem nan legit itu dibakar dulu di atas tungku arang. Bunyi gemeretak dan aroma lemak hangus yang menguar memang sangat mengundang selera.
Kawan kita ini, dulu sewaktu masih menjadi reporter sebuah digest Islami, adalah pemuja angkringan. “Aku sudah berkeliling Nusantara dan selalu mencicipi makanan terbaik yang ada di setiap kota. Tapi ceker bakar angkringan Jogja tetap yang nomor satu!” Demikian ia memproklamasikan konklusi kulinernya. So? “Aku tidak bisa merasakan kelezatan ceker bakar seperti dulu lagi,” ia bergumam sedih.
Jamaah Taushiyah Online yang dimuliakan Allah…

Apakah sebenarnya yang kita cari di dunia ini? Sejak lepas subuh hingga jelang maghrib (bahkan lebih banyak lagi yang membutuhkan waktu hingga jauh melewati isya) dalam barisan manakah kita berada? Alih-alih berada di barisan “para pencari Tuhan”, sebagian besar, bahkan hampir semua dari kita bergegap gempita dalam dalam barisan “para pencari dunia”. Saya tidak malu mengakui­nya.

Hari demi hari berlalu, dan kesibukan memburu rizki duniawi itu seolah tidak berjeda. Lalu apa yang kita dapat? Mari kita telisik lagi rekam jejak perjalanan hidup kita. Saya memastikan, di masa lalu kita begitu banyak hal-hal sepele yang mampu menghadirkan kebahagiaan tak terkira. Anda yang berasal dari dusun yang murni, masihkah bisa merasakan bahagianya berenang-renang di sungai yang airnya berkilau jernih? Ingatkah kita bahwa belajar naik sepeda dan menerbangkan layang-layang pada masa kecil dulu demikian berharga sehingga kalau mungkin, 24 jam kita habiskan saja untuk kesenangan yang bentuknya sangat sederhana itu. Bahkan, waktu itu saya mau menukar apa saja seluruh isi dunia ini dengan waktu berenang di kali, naik sepeda, dan menerbangkan layangan.

Lalu mari kita uji, apakah hal-hal “sepele” itu masih mampu membuat hati kita bahagia? Apakah perubahan karir, kedudukan, taraf ekonomi, pergaulan, dan semua yang dengan susah payah kita perjuangkan mati-matian ini bisa menghadirkan kebahagiaan serupa?

Sahabat saya yang lain baru pulang dari penjelajahan singkat di Borneo. Dia bercerita dengan sangat geram tentang tentang eksploitasi alam yang “gila-gilaan” dan benar-benar menghancurkan keseimbangan alam. Apa yang diburu mahluk Allah yang cerdas ini dengan menghancurkan mahluk lain yang mestinya dikelolanya dengan bijak sebagai khalifatullah?

Saya jadi teringat seorang preman yang biasa mangkal di kawasan Senen. Di dunianya yang keras, entah berapa kali peristiwa mengerikan menimpanya. Itu bukan omong kosong; dia akan dengan senang hati berkisah tentang sebab pitak-pitak di kepalanya yang permanen: “Dulu, waktu musim petrus (penembak misterius), aku ditangkap sekelompok orang bersenjata. Aku melawan, dan kepalaku dihujani bayonet. Jadinya ya pitak-pitak begini.”

“Abang hebat ya…, belajar kesaktian di mana?”
“Oh, Dik, Abang bukan sakti, Cuma beruntung saja tidak mati-mati. Tak usah belajar macam-macam pun, manusia seperti kita ini memang dibekali kesaktian yang tiada tandingan. Coba Adik pikir, jangankan sepiring nasi, bahkan gunung pun sanggup kita telan bukan?” ujar Sang Preman berfilsafat.
Ucapan dia itu menjustifikasi sabda Rasulullah betapa keserakahan manusia nyaris tidak ada batasnya, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang dipenuhi harta kekayaan, dia pasti menginginkan lembah yang ketiga” (HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas).

Mengapa tidak berbatas? Sebab keserakahan itu adiktif. Sedangkan ciri khas kecanduan adalah kebutuhan akan dosis yang lebih besar lagi, lagi, lagi… Kalau kita sudah terbiasa menyantap hutan, gunung, dan meminum samudera raya. Jangan harap bisa terpuaskan oleh sepotong cakar ayam dan segelas teh jahe hangat dalam suasana egaliter.

Makanya, Tuhan kita mewajibkan ummatNya menjalani simulasi perang melawan keserakahan selama satu bulan penuh setiap tahun. Kita diwajibkan merasakan kembali kelaparan sepanjang hari dan betapa nikmat makanan paling sederhana kala berbuka puasa. Kita diingatkan pada kodrat kita dengan timbulnya gejala psikologis saat berpuasa yang saya namakan saja “sindrom menelan gunung”.

Mari kita uji diri kita sendiri (dan tidak usah malu melakukan hal ini, karena hanya Anda dan Tuhan yang tahu). Di tengah sengatan terik mentari, didera lapar dan dahaga di tengah waktu berpuasa, bayangkan jenis dan berapa banyak makanan enak dan minuman menyegarkan yang menurut kata hati Anda sanggup kita telan? Cukupkah segelas teh hangat dan sebutir kurma memuaskan dahaga dan lapar kita?

Kemudian, mari kita buka daftar belanja buka puasa kita, terutama di awal-awal Ramadan. Sebagai appetizer, biasanya ada kolak pisang dan pacar cina (yang ekonominya lebih mapan boleh memilih puding aneka rasa), dan masih banyak ragam penganan lainnya. Menu utamanya jangan sayur lodeh yang sudah biasa dong, karena ini bulan istimewa, aneka masakan istimewa pun tentunya ingin kita hidang. Desert-nya? Aneka buah-buahan nampaknya menjadi pilihan ketimbang sekadar air putih yang sebelum ditelan dipakai kumur-kumur dulu.

Tidak heran kalau disinyalir bahwa memasuki bulan Ramadan ini, kesibukan di pasar lebih hebat ketimbang di masjid.
So, walau belum ada penelitian sahih mengenai ini, tapi barangkali sesaknya meja makan dengan berbagai makanan dan minuman kala buka puasa di awal Ramadan karena ibu atau istri-istri kita juga terserang “sindrom menelan gunung” itu.

Lalu apa yang terjadi begitu adzan maghrib berkumandang? Ternyata, segelas teh hangat (mungkin kolak pisang) dan dua tiga potong kurma lebih dari cukup untuk meringkas luasnya ruang imajiner dalam lambung akibat nafsu serakah kita. Sisa hidangan yang melimpah ruah pun mubadzir.

Kita memang mahluk aneh. Disuruh belajar hidup sederhana, eh.., malah foya-foya. Diminta menikmati rasa lapar dan memperbanyak ibadah, malah balas dendam di meja makan dan lalai beribadah karena kekenyangan. Apa boleh buat, keserakahan memang tidak berbatas.

Tapi, kalau kita tidak mau menderita batin seperti kawan saya yang gelisah karena tidak lagi bisa mensyukuri nikmat Allah paling sederhana, belajarlah mengendalikan hawa nafsu kita. Hati-hati lho.., kalau Anda terbiasa rehat sejenak di café, menikmati sajian espresso sambil ngutak atik PR di laptop, bisa-bisa kopi tubruk buatan istri jadi hambar rasanya.

Kalau Anda terpaksa atau sukarela mengimbangi limpahan rizki dengan gaya hidup yang juga semakin berbiaya tinggi, jangan-jangan Anda sedang mendevaluasi nilai kenikmatan yang diberikan Tuhan. Bukankah udara segar yang semestinya gratis kini harus Anda bayar mahal karena untuk memperolehnya mesti pergi ke Puncak di akhir pekan? Bukankah ongkos ke Dufan untuk memenuhi kebutuhan bermain anak-anak kita sebenarnya bisa kita tekan andai kita bisa mengajari mereka cara membuat dan menerbangkan layangan?

Maka, ketika kawan kita yang gundah gulana karena tidak bisa lagi merasakan nikmatnya ceker bakar di warung angkringan Yogyakarta pamit pulang, saya memberi advis sederhana, “Berpuasa­lah.” Marhaban yaa Ramadan.

*) Terimakasih kepada Bapak M Anwar Sani, Direktur Eksekutif Al Azhar Peduli Ummat.

KISAH NYATA ANAK DURHAKA DARI SINGAPURA


Sebuah Kisah Nyata dari Negeri tetangga Singapura beberapa dekade lalu yang cukup menghebohkan hingga Perdana Menteri saat itu, Lee Kwan Yew senior turun tangan dan mengeluarkan dekrit tentang orang lansia di Singapura.

 Dikisahkan ada orang kaya raya di sana mantan Pengusaha sukses yang mengundurkan diri dari dinia bisnis ketika istrinya meninggal dunia. Jadilah ia single parent yang berusaha membesarkan dan mendidik dengan baik anak laki-laki satu-satunya hingga mampu mandiri dan menjadi seorang Sarjana.

 Kemudian setelah anak tunggalnya tersebut menikah, ia minta ijin kepada ayahnya untuk tinggal bersama di Apartemen Ayahnya yang mewah dan besar. Dan ayahnya pun dengan senang hati mengijinkan anak menantunya tinggal bersama-sama dengannya. Terbayang dibenak orangtua tersebut bahwa apartemen nya yang luas dan mewah tersebut tidak akan sepi, terlebih jika ia mempunya cucu. Betapa bahagianya hati bapak tersebut bisa berkumpul dan membagi kebahagiaan dengan anak dan menantunya.

 Pada mulanya terjadi komunikasi yang sangat baik antara Ayah-Anak-Menantu yang membuat Ayahnya yang sangat mencintai anak tunggalnya itu tersebut tanpa sedikitpun ragu-ragu mewariskankan seluruh harta kekayaan termasuk apartment yang mereka tinggali, dibaliknamakan ke anaknya itu melalui Notaris terkenal di sana.

 Tahun-tahun berlalu, seperti biasa, masalah klasik dalam rumah tangga, jika anak menantu tinggal seatap dengan orang tua, entah sebab mengapa akhirnya pada suatu hari mereka bertengkar hebat yang pada akhirnya, anaknya tega mengusir sang Ayah keluar dari apartment mereka yang ia warisi dari Ayahnya.

 Karena seluruh hartanya, Apartemen, Saham, Deposito, Emas dan uang tunai sudah diberikan kepada anaknya, maka mulai hari itu dia menjadi pengemis di Orchard Rd. Bayangkan, orang kaya mantan pebisnis yang cukup terkenal di Singapura tersebut, tiba-tiba menjadi pengemis!

 Suatu hari, tanpa disengaja melintas mantan teman bisnisnya dulu dan memberikan sedekah, dia langsung mengenali si ayah ini dan menanyakan kepadanya, apakah ia teman bisnisnya dulu. Tentu saja, si ayah malu danmenjawab bukan, mungkin Anda salah orang, katanya. Akan tetapi temannya curiga dan yakin, bahwa orang tua yang mengemis di Orchad Road itu adalah temannya yang sudah beberapa lama tidak ada kabar beritanya. Kemudian, temannya ini mengabarkan hal ini kepada teman-temannya yang lain, dan mereka akhirnya bersama-sama mendatangi orang tersebut. Semua mantan sahabat karibnya tersebut langsung yakin bahwa pengemis tua itu adalah Mantan pebisnis kaya yang dulu mereka kenal.

 Dihadapan para sahabatnya, si ayah dengan menangis tersedu-sedu, menceritakan semua kejadian yang sudah dialaminya. Maka, terjadilah kegemparan di sana, karena semua orangtua di sana merasa sangat marah terhadap anak yang sangat tidak bermoral itu.

 Kegemparan berita tersebut akhirnya terdengar sampai ke telinga PM Lee Kwan Yew Senior.

 PM Lee sangat marah dan langsung memanggil anak dan menantu durhaka tersebut. Mereka dimaki-maki dan dimarahi habis-habisan oleh PM Lee dan PM Lee mengatakan "Sungguh sangat memalukan bahwa di Singapura ada anak durhaka seperti kalian" .

 Lalu PM Lee memanggil sang Notaris dan saat itu juga surat warisan itu dibatalkan demi hukum! Dan surat warisan yang sudah baliknama ke atas nama anaknya tersebut disobek-sobek oleh PM Lee. Sehingga semua harta milik yang sudah diwariskan tersebut kembali ke atas nama Ayahnya, bahkan sejal saat itu anak menantu itu dilarang masuk ke Apartment ayahnya.

 Mr Lee Kwan Yew ini ternyata terkenal sebagai orang yang sangat berbakti kepada orangtuanya dan menghargai para lanjut usia (lansia). Sehingga, agar kejadian serupa tidak terulang lagi, Mr Lee mengeluarkan Kebijakan / Dekrit yaitu "Larangan kepada para orangtua untuk tidak mengwariskan harta bendanya kepada siapapun sebelum mereka meninggal. Kemudian, agar para lansia itu tetap dihormati dan dihargai hingga akhir hayatnya, maka dia buat Kebijakan berupa Dekrit lagi, yaitu agar semua Perusahaan Negara dan swasta di Singapura memberi pekerjaan kepada para lansia. Agar para lansia ini tidak tergantung kepada anak menantunya dan mempunyai penghasilan sendiri dan mereka sangat bangga bisa memberi angpao kepada cucu-cucunya dari hasil keringat mereka sendiri selama 1 tahun bekerja.

 Anda tidak perlu heran jika Anda pergi ke Toilet di Changi Airport, Mall, Restaurant, Petugas cleaning service adalah para lansia. Jadi selain para lansia itu juga bahagia karena di usia tua mereka masih bisa bekerja, juga mereka bisa bersosialisasi dan sehat karena banyak bergerak. Satu lagi sebagaimana di negeri maju lainnya, PM Lee juga memberikan pendidikan sosial yang sangat bagus buat anak-anak dan remaja di sana, bahwa pekerjaan membersihkan toilet, meja makan diresto dsbnya itu bukan pekerjaan hina, sehingga anak-anak tsb dari kecil diajarkan untuk tahu menghargai orang yang lebih tua, siapapun mereka dan apapun profesinya.

 Sebaliknya, Anak di sana dididik menjadi bijak dan terus memelihara rasa hormat dan sayang kepada orangtuanya, apapun kondisi orangtuanya.

 Meskipun orangtua mereka sudah tidak sanggup duduk atau berdiri,atau mungkin sudah selamanya terbaring diatas tempat tidur, mereka harus tetap menghormatinya dengan cara merawatnya.

 Mereka, warganegara Singapura seolah diingatkan oleh PM Lee agar selalu mengenang saat mereka masih balita, orangtua merekalah yang membersihkan tubuh mereka dari semua bentuk kotoran, juga yang memberi makan dan kadang menyuapinya dengan tangan mereka sendiri, dan menggendongnya kala mereka menangis meski dini hari dan merawatnya ketika mereka sakit.

 Bagaimana dengan Indonesia?

“Homo Desiderare”-Tentang Hasrat, Sinar Harapan


Oleh Jose Marwan

Setiap detik, iklan-iklan di media cetak, elektronik dan internet, membombardir limitasi kebutuhan kita. Apa yang disebut “cukup” ditarik ke wilayah ekstrem sampai titik “puas”. Realitas, dalam iklan, disulap menjadi hiper-realitas, yang terkesan mengada-ada, imajinatif, yang memuaskan hasrat.

Apalagi bulan-bulan ini, kita dikelilingi oleh baliho dan suguhan iklan politik, yang semuanya memancarkan hasrat akan kuasa. Tak bisa ingkar, kita sekarang hidup di ruang yang memuja hasrat. Kisah manusia-manusia agung dan bijaksana yang digerakkan akal budinya (Homo Sapiens), sekarang telah banyak berubah menjadi manusia-manusia bebas yang digerakkan hasratnya (Homo Desiderare).

Dalam berbagai mitologi Yunani kuno, hasrat ini terbentuk dari dua lapisan, karnal dan libidinal (Alfatari Alin, 2006:95). Karnal adalah hasrat tubuh yang sifatnya materi, sementara libidinal adalah hasrat tubuh yang sifatnya non-materi. Misalnya, secara karnal saya menghasratkan sebuah HP model terbaru, agar secara libidinal saya memiliki kepercayaan diri ketika menentengnya di depan teman-teman.

Di era bangkitnya dominasi hasrat, manusia dianggap, semata-mata, makhluk yang dipenuhi, bahkan terbentuk dari hasrat. Jacques Lacan, pemikir terkenal di awal era posmodernisme ini, misalnya mengatakan kalau ego kita dibentuk oleh hasrat. Dengan demikian, kita tidak mungkin lepas dari hasrat, justru kitalah yang terkurung dalam hasrat. Deleuze & Guattari juga merangkumkan manusia sebagai “Desire Machine” (1999:28) yang kita terima sejak lahir ke dunia ini. Agama, negara dan keluarga, adalah tiga institusi yang selama ini memenjarakan hasrat. Karena itu, pengikut aliran ini memproklamasikan diri untuk menjadi atheist, anarchist dan orphan.

Sadar atau tidak, manusia nyatanya terapung-apung di antara dua pulau yang bernama kehendak Tuhan (Will) dan hasrat diri (Desire). Mana yang dipilih, mana yang diutamakan? Agama memberi koridor, hasrat itu dosa, mengikutinya akan celaka. Manusia-manusia dunia berpikir lain, hasrat itu nikmat, mengikutinya membuat hidup terasa menyenangkan. Atau pada sintesis yang membahayakan, banyak manusia beragama yang motivasinya untuk memenuhi hasratnya sendiri, dengan mengatasnamakan kehendak Tuhan.

Di sini, bukan lagi Tuhan yang menciptakan kita, tetapi kita yang menciptakan Tuhan, seperti hasrat kita. Sikap inilah yang dikecam Yesus, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.” (Matius 23:27)

Tak Lekat

Meister Echart, mistikus Kristen terbesar di abad pertengahan, barangkali bisa memberi cahaya pada persoalan ini. Ia mengatakan kalau kita harus mengosongkan diri dari hasrat. Manusia harus meniadakan hasratnya (Desire), dan dengan demikian, memberi ruang kosong kepada Tuhan untuk berkehendak (Will). Jika jiwa manusia sudah penuh dengan hasratnya sendiri, Tuhan tak mungkin tinggal di sana. “Kosongkan dirimu, maka kamu akan dipenuhi,” demikian Echart, mengutip Agustinus dari Hippo. Echart selanjutnya mengatakan, “Bila Tuhan diharapkan masuk, maka makhluk harus keluar.”

Dasar biblis pokok ajaran Echart, bersumber pada Matius 21:12 yang mengisahkan tindakan Yesus menyucikan Bait Allah. Dalam perikop itu diceritakan bagaimana Yesus dengan sangat marah (simbolisasi kehendak-Nya yang sangat tinggi) mengusir pada pedagang yang berjual-beli di Kenisah Allah. Yesus membalikkan meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati sembari berkata, “Rumahku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”

Bagi Echart, kenisah Allah adalah simbol mistik jiwa manusia. Jiwa kita ini harus dibersihkan dari hasrat “berdagang”, hasrat “berjual-beli”, hasrat “mencari untung semata”, hasrat “barter”, dengan Tuhan. Jika jiwa kita ini dipenuhi dengan merkantilisme rohani, maka Tuhan tak ubahnya biro jasa asuransi yang akan melindungi kerugian karena “tindakan derma” kita, atau biro perbankan yang akan memberi bunga jasa ketika kita sudah “menabung perbuatan baik”. Banyak orang baik dalam agama, yang berdoa, berpuasa, membantu sesama, tetapi ujungnya melakukan lobi kepada Tuhan agar Dia memenuhi hasrat tersembunyi kita seperti rasa aman, berkat, pahala dan surga. “Sebagai pedagang, mereka berbuat seperti dalam ungkapan, quid pro quo, yang penuh semangat duniawi. Sebagai bentuk ketaatan mereka, para pedagang menginginkan dan mengharapkan imbalan dari Tuhan.” (Syafa’atun, 2009:183). Dengan cara demikian, mereka melakukan tawar-menawar dengan Tuhan.

Maka, semangat hidup yang dianjurkan Echart adalah sikap tak lekat dengan hasrat (abegescheidenheit). Orang harus hidup tanpa alasan “mengapa”, seperti bunga mawar yang mekar di kebun, ia mekar bukan karena ingin dilihat dan dipuji orang, ia mekar begitu saja. Sama dengan kisah “Burung Berkicau” Anthony de Mello SJ, kenapa burung berkicau, karena ia ingin berkicau, bukan karena ingin didengar dan dipuji orang. Hidup dalam wilayah ketiadaan hasrat, ibarat sebuah kenisah kosong tanpa pedagang di dalamnya, dan rumah ini adalah rumah yang nyaman untuk berdoa, sebab Tuhan menjadi Tuhan dan manusia menjadi manusia, bukan sebaliknya.

Lebih Berharga dari Batu Permata

Dalam kerohanian Kristen, pemenuhan hasrat diri tidak mendapat tempat. Ketika motivasi para murid Yesus mulai bergeser, setelah melihat popularitas Yesus, dan seolah-olah mereka memimpikan akan menjadi orang penting dalam kerajaan yang akan didirikan-Nya, maka dengan sangat keras Ia mengatakan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Matius 16:24). Bukan jabatan, kuasa, berkat berlimpah, tapi salib sebagai simbol penyangkalan hasrat diri, itulah yang akan diterima bagi siapa saja yang ikut Yesus.

Pernyataan ini sangat keras! Dan ketika para murid belum juga paham dengan apa yang dimaksud Yesus, mereka telah melihat Sang Guru memberi contoh sendiri apa itu penyangkalan hasrat diri, dengan tergantung di salib. “….tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Matius 26:39). Praktik keras penyangkalan diri ini kemudian diteruskan oleh para rahib dan biarawan, yang menjalani kehidupannya dengan tindakan agere contra, suatu sikap penolakan terhadap segala hasrat diri. Orang-orang ini melakukan apa yang tidak mereka hasratkan, dan tidak melakukan apa yang mereka hasratkan.

Dalam suatu kisah, setelah Perang Badr, perang terbesar dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad mengatakan, “Kita sekarang akan menghadapi perang yang lebih besar lagi.” Maka para sahabatnya heran, perang apa lagi yang lebih besar dari Perang Badr? “Perang melawan hasrat diri sendiri. Itulah jihad terbesar,” kata Nabi. Kisah indah lainnya adalah apa yang diceritakan tentang Ali, prajurit dan khalifah Islam yang agung. Sebagai pemimpin pasukan muslim, Ali harus berhadapan langsung dengan musuh. Dalam sebuah pertempuran, Ali menjatuhkan lawannya. Dia melompat ke dada musuhnya, mengangkat pedangnya. Tapi, tiba-tiba Ali tidak jadi membunuh musuh itu, ia pergi menjauh. Maka pasukannya bertanya kepadanya, “Mengapa Anda tidak membunuhnya?” Jawab Ali, “Karena orang itu meludahi saya, dan saya jadi marah. Kalau saya membunuh dia karena marah, berarti bukan karena Islam.”

Begitulah, seseorang yang berhasrat untuk berkuasa, harus memulainya dengan menguasai dirinya sendiri. Seseorang yang merdeka, bukan yang melampiaskan hasratnya tapi yang meniadakan hasratnya. Coba kita renungkan kisah ini: Ada seorang wanita bijak yang tengah melakukan perjalanan di pegunungan menemukan sebuah batu berharga di sebuah sungai kecil, dan ditaruhnya batu itu ke dalam tas. Hari berikutnya, wanita itu berjumpa dengan seorang pengelana lainnya yang sedang kelaparan. Wanita bijak itu membuka tasnya untuk membagikan makanannya. Si pengelana yang kelaparan melihat batu berharga itu dan memintanya dari wanita bijak itu. Wanita bijak itu memberikannya tanpa ragu-ragu. Si pengelana itu berlalu, merasa gembira dengan keberuntungannya. Dia tahu bahwa batu berharga itu cukup bernilai untuk memberinya rasa aman seumur hidupnya.

Tapi, beberapa hari kemudian, si pengelana itu datang lagi untuk mengembalikan batu tersebut kepada si wanita bijak. “Saya telah berpikir,” demikian kata lelaki pengelana, “Saya tahu betapa bernilainya batu ini, tetapi saya mengembalikannya dengan harapan bahwa Anda bisa memberi saya sesuatu yang jauh lebih berharga. Berikanlah apa yang Anda miliki dalam diri Anda yang membuat Anda mampu memberikan batu ini kepada saya.”

Hidup tak lekat, lepas bebas, kosong, meniadakan hasrat kuasa dan memiliki, jauh lebih berharga dari “batu permata”.

Penulis adalah penikmat spiritualitas.

SOKRATES DI PASAR


Sokrates, seorang filsuf sejati, yakin bahwa orang yang
bijaksana dengan sendirinya akan hidup sederhana. Ia sendiri
tidak memakai sepatu; namun ia terus-menerus tertarik oleh
keramaian pasar dan sering pergi ke sana untuk melihat
segala macam barang yang dipertontonkan.

Ketika salah seorang kawannya bertanya mengapa demikian,
Sokrates berkata, "Saya senang pergi ke sana untuk
mengetahui berapa banyak barang yang meskipun tidak
memilikinya, saya tetap gembira."

Socrates mengajarkan, hidup batin adalah tidak mengetahui apa yang engkau
kehendaki tetapi memahami yang tidak engkau butuhkan.


Mungkinkah Socrates2 masa kini msh teguh berpegang pd prinsip 'hidup batin' tsb? Ketika fundamentalisme pasar bgt dominan dijadikan rujukan makro ekonomi, konsumerisme adlh second nature, dan glontoran citra-pariwara menyesaki ruang publik kita, msh kah ada alternatif 'pasar' yg mbuat Socrates2 masa kini berbahagia? Mnurut Marcuse, unhappy consciousness is a necessity in terms of one-dimensional man living in one-dimensional society.

Pengalaman Penderitaan, Albertus Patty, Sinar Harapan*


Penderitaan? Tidak seorang pun menginginkannya! Orang bahkan rela melakukan apa pun demi menghindarinya. Tetapi, ini celakanya, penderitaan adalah bagian dari proses perjalanan hidup kita manusia.

Penderitaan menyerang kita dari segala arah dan dari segala situasi. Penderitaan bisa muncul dari mana saja. Ada yang muncul karena bencana alam. Ada yang berasal dari kejahatan atau kelengahan orang lain. Ada yang menderita karena diserang virus atau binatang tertentu, dan ada juga penderitaan yang muncul karena diri sendiri.

 Bentuk penderitaan pun beraneka ragam. Ada yang berupa sakit penyakit, tabrakan, dipecat dari pekerjaan, putus cinta, konflik keluarga, gagal dalam karier, kemiskinan, atau bahkan karena kekayaannya.

 Orang miskin menderita kecemasan karena ketiadaan makanan, sementara banyak orang kaya menderita kepanikan ketika tahu harga saham anjlok. Jadi, kita semua pasti pernah mengalaminya.

 Seorang ibu jatuh sakit sampai harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Penyebabnya ia cemas terhadap keselamatan anaknya yang kuliah di luar negeri. Ibu yang lain, kena serangan jantung dan darah tinggi karena anaknya tidak mau sekolah di mana-mana.

 Seorang teman saya menderita stres berat ketika dokter, yang kepadanya dia berkonsultasi, mengatakan bahwa kemungkinan besar dia terkena kanker. Dia sulit makan dan minum sampai beberapa hari. Berat tubuhnya berkurang drastis.

 Dia makin menderita ketika kelurganya ikut stres dan menangis terus seolah dia sudah pasti mati. Ketika akhirnya dia memutuskan ke dokter lain untuk mendapatkan second opinion, ternyata dia dinyatakan terkena penyakit lain, yang relatif lebih ringan, dan bukan kanker! Stresnya pun lenyap. Penderitaannya jauh berkurang. Dia sudah bisa makan dan minum seperti biasa!

 Penderitaan itu menakutkan. Oleh karena itu, orang sering menggunakan segala cara untuk menghindarinya. Alasan para koruptor mengorupsi uang rakyat mungkin bukan terutama karena mau menjadi kaya, tetapi karena takut miskin.

Alasan lain mungkin takut menderita karena tidak mampu membeli barang yang dikehendakinya. Memang, kehendak adalah salah satu sumber penderitaan.

Jangan Menghakimi

 Ketika Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Dia harus menanggung banyak penderitaan dan bahkan dibunuh, Petrus menarik Yesus ke samping dan menegur-Nya. Petrus tidak bisa menerima kenyataan bahwa Yesus harus menderita.

Bagi Petrus, dan bagi banyak orang lainnya, penderitaan sering dianggap sebagai kutukan dari Allah. Paradigma seperti Petrus ini membuat orang cenderung menghakimi orang lain yang dirundung penderitaan ketimbang menolongnya.

 Hal seperti itu pernah terjadi ketika tsunami melanda Aceh. Saat itu banyak orang yang melihat tsunami sebagai ekspresi kemarahan Allah kepada orang Aceh yang dianggap berlumuran dosa. Sebagai pengganti menolong masyarakat Aceh yang menderita, orang-orang ini justru menghakimi orang Aceh yang jadi korban tsunami.

 Yesus balik menegur Petrus dengan sangat keras (Markus 8:33). Melalui teguran-Nya, Yesus membuka perspektif baru yaitu bahwa jangan terlalu mudah menilai penderitaan sesama sebagai wujud kutukan Allah.

 Sebaliknya, bagi Yesus penderitaan justru diizinkan Allah untuk suatu tujuan tertentu yang Allah rencanakan dan kehendaki. Oleh karena itu, penderitaan bukanlah untuk diratapi.

Orang yang menderita tidak lagi harus dihakimi atau dikutuki. Lebih baik mulai membangun pendekatan yang lebih manusiawi terhadap mereka yang menderita dengan cara membangun solidaritas dan bela rasa terhadap mereka. Orang yang menderita lebih membutuhkan cinta daripada penghakiman!

Malah Mensyukuri

 Pertanyaan yang paling penting adalah: apa sikap yang sebaiknya dipilih ketika penderitaan itu menghampiri Anda?

 Belum lama berselang, seorang rekan terserang stroke cukup berat sehingga membuatnya sulit berjalan. Ia cukup menderita, tetapi ia menolak untuk mengeluh apalagi putus asa, dan yang terpenting ia tidak pernah mau menyalahkan Tuhan untuk penyakitnya itu.

 Dia memilih untuk tidak percaya terhadap mereka yang menganggap penderitaannya sebagai kutukan Tuhan. Baginya, Tuhan terlalu baik untuk mengutuk atau menghukum umat-Nya yang bersalah!

Itulah sebabnya, sebagai pengganti menyalahkan Tuhan, ia bisa berdoa kepada Tuhan memohon kekuatan-Nya untuk menghadapi penderitaannya. Penderitaannya terasa menjadi ringan. Ia menerimanya dengan hati lapang. Hatinya dipenuhi dengan sukacita.

 Dalam segala keterbatasannya, ia bisa terus berkarya, menjadi berkat dan tak henti-hentinya memuliakan Tuhan. Ternyata penderitaan tidak lagi dilihat sebagai kutukan Tuhan, tetapi justru menjadi arena tenpat Tuhan menunjukkan kasih-Nya. Amin!

*Penulis melayani sebagai pendeta di GKI Maulana Yusuf, Bandung.

KATA-KATA BIJAK


Hidup kita terlalu berharga...,oleh sebab itu:"Make Your Self Have a Meaning for Others!!"Pemenang kehidupan adalah org yang tetap sejuk di tempat yg panas, yg tetap manis di tempat yg sangat pahit, yg tetap merasa kecil meskipun telah menjadi besar dan yg tetap tenang di tengah badai yg paling hebat.(Hope everyday.. I will do the best for everyone....(Maria Bandu, Fb 1 Maret 2011)


Anda tidak dapat membangun reputasi pada apa yang akan Anda lakukan.
 HENRY FORD (1863 - 1947), industrialis automotif AS 


Integritas sejati adalah melakukan sesuatu hal yang benar, tanpa peduli orang lain mengetahuinya atau tidak. OPRAH WINFREY Pembawa acara talkshow asal Amerika Serikat (1954 – )

 Sebuah tujuan tanpa perencanaan hanya akan menjadi harapan.
ANTOINE DE SAINT-EXUPERY (1900–1944) Penulis asal Prancis

Tentu tidak ada formula sukses, kecuali menerima hidup secara tak bersyarat dan segala sesuatu yang didatangkannya. ARTHUR RUBINSTEIN (1886–1982) Komposer dan Pianis AS 

Saya tidak pernah mengajari murid-murid saya, saya hanya mencoba untuk menyediakan suasana di mana mereka bisa belajar. ALBERT EINSTEIN (1879–1955) Ilmuwan Fisika Kelahiran Jerman 


Kepuasan membuat orang miskin jadi kaya, ketidakpuasan membuat orang-orang kaya jadi miskin. BENJAMIN FRANKLIN Penulis dan Tokoh Revolusi AS (1706 - 1790)           


Duduk dan tulislah apa yang kamu pikirkan, buka diri untuk memikirkan apa yang harus kamu tulis.WILLIAM COBBETT (1763–1835), jurnalis Inggris             


Kurangilah rasa ingin tahu Anda tentang orang, perbanyaklah rasa ingin tahu tentang ide, gagasan, dan pemikiran. Marie Curie (1867-1934), fisikawan asal Prancis.


Setiap orang bisa mengkritik, mengecam, dan mengeluh. Tapi hanya orang berkarakter yang bisa mengontrol diri untuk memahami dan memaafkan.” Dale Carnegie (1888–1955), penulis dan pengajar asal Amerika Serikat  


 “Jika kau hanya melakukan apa yang kau tahu bisa kau kerjakan, kau tidak akan bisa berbuat lebih.” Tom Krause (1934), motivator, guru, dan pelatih 

”Janganlah takut pada masa depan, jangan pula menangis untuk masa lalu.” Percy Bysshe Shelley (1792–1822), pujangga Inggris        

 “Pengembangan diri adalah nama permainan; tujuan utama Anda adalah menguatkan diri, bukan menghancurkan lawan.” Maxwell Maltz (1927–2003), motivator dan ahli bedah plastik asal Amerika Serikat 


”Lebih baik dibenci karena apa yang Anda miliki daripada disukai atas sesuatu yang tidak Anda punyai.” Andre Gide (1869–1951), penulis dan humanis Prancis, peraih Nobel Sastra 1947


 “Seni kepemimpinan adalah mengatakan tidak, bukan berkata ya. Terlalu mudah kalau hanya mengatakan ya.” Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris

 “Manusia cenderung melupakan kewajibannya daripada haknya”
Indira Gandhi (1917-1984), Perdana Menteri India


"Allah yang membagi rejeki untuk siapa saja yang dikehendaki-Nya dan mengatur ukurannya. Dan mereka merasa puas dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia dibanding kehidupan akhirat hanyalah sebuah permainan." (QS Al-Ra'du 26)


Aib terbesar adalah ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan~decimus junius juvenalis

KHALIFAH - Umar bin Abdul Aziz pernah menangis dan berkata, Ketahuilah, umur dunia hanya sedikit. Kemuliaan didalamnya adalah kehinaan. Pemudanya akan menjadi renta, dan yang hidup didalamnya akan mati. Celakalah yang tertipu olehnya. Berapa banyak orang yang dulunya mulia, setelah beberapa lama didalam kubur kini wajahnya hancur. anggota badannya tercerai berai. Mulut mereka belepotan dengan darah dan nanah. Binatang-binatang tanah mengerubuti jasad mereka, sehingga satu per satu anggota tubuh terlepas. Hingga akhirnya tak tersisa, kecuali hanya sebagian kecil saja. Mereka telah meninggalkan istananya. Berpindah dari tempat lapang ke lubang yang sempit. Sesudah itu, istri-istri mereka dinikahi orang lain. Anak-anaknya pun berkeliaran dijalan. Harta bendanya dibagi-bagi oleh ahli warisnya.

 Dulu, di dunia mereka berada di tengah-tengah keluarga yang mengelilinginya. Diatas kasur yang empuk dan pembantu yang setia. Keluarga yang memuliakan dan kekasih yang menyertainya. Tetapi ketika semuanya berlalu dan maut datang memanggil, lihatlah betapa dekat kuburan dengan tempat tinggalnya. Tanyakan kepada orang kaya, apa yang tersisa dari kekayaannya? Tanyakan pula kepada orang fakir, apa yang tersisa dari kefakirannya?



Rabu, 14 Maret 2012

Turki dan Minoritas Nonmuslim

Bulent Arinc, WAKIL PERDANA MENTERI TURKI
SUMBER : KORAN TEMPO, 12 Maret 2012

Setelah puluhan tahun telantar, pemerintah Turki mengambil beberapa langkah untuk menjamin hak minoritas agama nonmuslim di negeri itu. Dengan demikian, ada jaminan rule of law berlaku sama bagi semua warga Turki, tanpa memandang agama, etnisitas, atau bahasa seseorang.

Minoritas agama di Turki meliputi berbagai denominasi, termasuk Yunani Ortodoks, Armenia, Asiria, Kaldani, dan denominasi-denominasi Kristen lainnya, serta Yahudi, yang semuanya merupakan bagian integral masyarakat Turki. Sebagai bagian dari prakarsa baru pemerintah Turki untuk mengakhiri diskriminasi apa pun terhadap minoritas-minoritas nonmuslim ini, Presiden Abdullah Gul telah menekankan langkah-langkah ini dengan menerima kunjungan Bartholemew, Uskup Ortodoks Yunani di Istanbul, dan dengan mengunjungi gereja dan sinagoge di Hatay--kunjungan pertama oleh Presiden Turki.

Pada Agustus 2009, Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan bertemu dengan para pemimpin minoritas agama di Buyukada, pulau terbesar dalam gugusan Pulau Pangeran di Laut Marmara, dan mendengarkan masalah yang mereka hadapi, sinyal yang jelas dari niat pemerintah memperkokoh rasa kebersamaan mereka dalam masyarakat Turki. Sebagai wakil perdana menteri, saya bertemu dengan wakil-wakil dari minoritas agama pada Maret 2010 serta mengunjungi Keuskupan Gereja Ortodoks Armenia dan Yunani pada 2010 dan 2011. Begitu juga Menteri Urusan Uni Eropa Egemen Bagis telah bertemu dengan para pemimpin minoritas ini pada beberapa kesempatan.

Di samping membangun hubungan yang hangat antara pemerintah Turki dan minoritas agama ini, kebijakan resmi telah berubah. Pada Mei 2010, Perdana Menteri Erdo?an mengeluarkan pernyataan resmi yang memperingatkan pegawai negeri dan warga umumnya untuk tidak melakukan diskriminasi apa pun terhadap minoritas agama, dan yang menekankan kesetaraan absolut warga minoritas nonmuslim di Turki.

Tapi landasan prakarsa yang diambil pada tahun-tahun terakhir ini sudah diletakkan lama sebelumnya. Pada Agustus 2003, pemerintah di bawah pimpinan Erdogan mengumumkan perubahan-perubahan hukum untuk memecahkan persoalan hak milik terkait dengan perhimpunan minoritas agama. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Turki, 365 kepemilikan tanah dan bangunan milik komunitas minoritas didaftarkan menurut hukum atas nama mereka. Pada 2008, pemerintah, kendati ditentang partai-partai lainnya, mengubah Undang-Undang Asosiasi dan mengizinkan perhimpunan minoritas agama membeli tanah serta bangunan di atasnya (dan menerima sumbangan, tanpa memandang besarnya, dari luar negeri).

Kemudian, pada Agustus 2011, suatu amendemen yang penting pada Undang-Undang Asosiasi mengesahkan dikembalikannya lebih dari 350 properti kepada minoritas agama. Sebagai bagian dari perubahan ini, Sekolah Kejuruan Putri Ortodoks Yunani di Beyo?lu, Istanbul, dan Pusat Komunitas Yahudi di Izmir telah diberi status hukum, yang mengakhiri sengketa yang sudah berlangsung seabad lamanya.

Bahkan sebelumnya, pada 2010, rumah yatim piatu Ortodoks Yunani di Pulau Halki dikembalikan kepada Keuskupan Yunani Ortodoks. Untuk memperlancar tugas agama mereka, uskup-uskup agung Ortodoks diberi kewarganegaraan Turki. Selain itu, Dewan Asosiasi, sebagai otoritas tertinggi mengenai perhimpunan agama, sekarang untuk pertama kalinya juga beranggotakan seorang nonmuslim yang mewakili agama-agama minoritas.

Lagi pula Direktorat Jenderal Asosiasi telah diberi tugas merenovasi rumah-rumah ibadah yang digunakan minoritas-minoritas agama, termasuk Gereja Aya Nikola di Gokceada Canakkale, serta Gereja Katolik Asiria dan Gereja Katolik Yunani di Iskendrun. Sejumlah gereja dan sinagoge lainnya juga sedang direnovasi.

Pemerintah telah mengambil banyak langkah historis dan simbolis penting lainnya. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah merenovasi Biara Panagia Sumela, gereja yang sudah berusia 1.600 tahun di Trabzon di pantai Laut Hitam. Misa pertama setelah puluhan tahun diadakan pada Agustus 2010, yang dipimpin Bartholomew, dan dihadiri ratusan anggota jemaah dari Yunani, Georgia, Eropa, Amerika Serikat, serta Turki.

Tonggak bersejarah lainnya adalah renovasi dan dibukanya Gereja Armenia yang sudah berusia 1.100 tahun pada Maret 2007. Misa pertama setelah 95 tahun lamanya diadakan di dalam gereja, yang dipimpin Uskup Agung Armenia, Airam Atesyan, dan dihadiri ribuan anggota jemaah.

Langkah-langkah ini diambil untuk mengatasi masalah yang sudah lama dihadapi minoritas agama nonmuslim di Turki. Umat muslim telah hidup dengan masyarakat Yahudi dan Kristen selama berabad-abad dan memperlakukan mereka dengan hormat dan kasih sayang. Kami bertekad menyelesaikan sisa-sisa masalah yang masih ada dan kami yakin bahwa kita bisa melakukan itu melalui rasa saling percaya dan kerja sama. Masyarakat Yahudi dan Kristen di Turki adalah warga sepenuhnya dengan hak yang sama, dan kami akan melakukan segala upaya untuk memastikan bahwa realitas ini diakui di segala bidang kehidupan di Turki. ●

PENGARUH HINDIA BELANDA Oleh Robbert Dijkgraaf, ILMUWAN BELANDA,

Di ruang kerja saya, tergantung dua buah foto Ketua Akademi terdahulu, dengan ciri khas orang terpelajar dari awal abad sebelumnya: terhormat, beruban, berjenggot, dan berkacamata. Foto pertama adalah seorang eksakta tulen, fisikawan Hendrik Lorentz, yang terlihat ramah tapi tegas. Ia bukan hanya seorang arsitek teori modern tentang radiasi dan benda, tapi juga bertanggung jawab atas pembangunan Afsluitdijk (bendungan yang menghubungkan Provinsi Noord-Holland dan Friesland).

Orang kedua adalah seorang ahli humaniora tulen. Dia membungkuk di atas sebuah buku tebal, hidungnya hampir masuk ke halaman-halaman--sebuah gambaran karikatur ilmuwan linglung, kutu buku yang hampir tidak sadar akan sisa dunia di luarnya. Tapi gambaran itu sama sekali tidak benar. Ahli bahasa Sanskerta, Hendrik Kern (1833-1917), setidaknya sama jeniusnya dan relevan seperti Lorentz. Dia menguasai hampir semua bahasa yang bisa dibayangkan, baik bahasa yang masih dipakai maupun yang sudah punah. Seorang ahli tingkat dunia dalam bidang bahasa-bahasa wilayah timur, mulai bahasa Farsi melalui Jawa kuno sampai Polinesia. Kern lahir di Hindia Belanda dan berjasa besar terhadap tanah kelahirannya. Di Indonesia, Kern dihormati karena dia menunjukkan bahwa kepulauan yang terbagi-bagi itu, dari segi bahasa merupakan suatu kesatuan alami.

Cukup aneh bahwa Indonesia kurang mendapat perhatian dari kita, juga dalam hal ilmu pengetahuan. Apakah ini karena kita tidak ingin mengingat sejarah kolonialisme--semacam peredaman ala teori Freud? Biarkan saya memberikan lagi dua contoh tentang pengaruh Hindia Belanda. Eugene Dubois (1858-1940) adalah seorang dokter muda yang berbakat dan keras kepala. Terinspirasi oleh Darwin, ia yakin bisa menemukan mata rantai yang hilang antara kera dan manusia di Asia Tenggara.

Pada 1887, ia bergabung dengan tentara Hindia Belanda (KNIL) sebagai dokter dan kemudian berangkat bersama istri dan putrinya yang baru lahir menuju wilayah timur. Dubois tidak hanya pantang menyerah, ia juga beruntung atas penggalian-penggalian yang dilakukannya. Dengan cepat ia menemukan sebuah tengkorak, gigi geraham, dan sebuah tulang paha dari "manusia Jawa", contoh pertama dari apa yang saat ini disebut Homo erectus. Seiring dengan waktu, ia juga menemukan sebuah ilmu pengetahuan baru yang sepenuhnya baru, yaitu paleoantropologi.

Christiaan Eijkman (1858-1930), sama seperti Dubois, bekerja sebagai dokter di tentara Hindia Belanda. Pada 1888, dia diangkat sebagai direktur pertama di Centraal Geneeskundig Laboratorium (Laboratorium Kedokteran Pusat) di Batavia. Bersama asistennya, Gerrit Grijns, dia melakukan serangkaian uji coba untuk mencari penyebab penyakit tropis beri-beri. Semua orang mengira beri-beri disebabkan oleh bakteri, tapi dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap ayam, muncullah ide lain. Ketika ayam itu memakan beras tanpa kulit ari, terlihat gejala penyakit beri-beri. Namun, ketika diberi beras yang masih memiliki kulit ari, gejala itu hilang. Demikianlah mereka menemukan bahwa beri-beri disebabkan oleh kekurangan vitamin. Dari penemuan vitamin B1 inilah Eijkman mendapatkan penghargaan Nobel, sedangkan Grijns disisihkan. Hal itu merupakan sebuah ketidakadilan karena justru Grijns yang berperan krusial dalam penetapan adanya kekurangan zat nutrisi sebagai penyebab.

Lembaga Eijkman di Jakarta saat ini merupakan salah satu lembaga ilmiah yang paling terkemuka di Indonesia. Lembaga itu bangga atas sejarah panjang beserta prestasi yang telah diukir oleh direktur pertamanya. Gedung yang bergaya kolonial telah direnovasi secara indah dan memuat peralatan penelitian terbaru. Terlebih dalam sebuah negara dan kota yang mengalami ledakan jumlah penduduk luar biasa, suasana tenang dalam koridor panjang terasa amat melegakan. Anda merasa kembali ke masa yang telah hilang.

Pada kunjungan yang belum lama saya lakukan, memang begitulah keadaannya. Kami disuguhi sebuah tontonan film yang menarik berlatar Batavia pada 1920-an. Kamera berputar mengelilingi kota dan bergerak dengan halus terayun menggambarkan pemandangan saat itu. Semuanya memancarkan ketenangan nan asri, terutama ketika kamera mendekati daerah kosong tempat sekolah kedokteran dan Lembaga Eijkman berada. Alangkah besar perbedaannya saat kita berjalan keluar setelah menonton film itu dan merasakan hiruk-pikuk Jakarta masa kini dengan aliran sepeda motor yang melaju tanpa hentinya disertai bunyi klakson yang bising. Mengesankan begitu cepatnya negara ini telah berubah dalam waktu singkat dan tak terbayangkan perubahannya di kemudian hari.

Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN. Bagian dunia ini berjumlah lebih dari setengah miliar penduduk dan memiliki beberapa "macan teknologi" yang berkembang pesat. Saat ini Indonesia memang belum menjadi pelopor, tapi tidak bisa dimungkiri kelak Indonesia akan berkembang secara spektakuler. Apakah masih ada perannya bagi negeri Belanda? Apakah kita masih memiliki ide tentang apa yang bisa kita lakukan terhadap negara yang sudah berabad-abad lamanya memberi kita begitu banyak, termasuk dalam hal ilmu pengetahuan?

Ada seseorang yang tidak ragu akan pentingnya Indonesia. Dulu ia pernah tinggal di Indonesia saat berumur 6 tahun sampai 10 tahun. Ia ingin memperkuat hubungannya. Ia telah mengirim utusan ilmiah khusus, dan juga akan berinvestasi secara besar-besaran. Dalam kunjungannya pada 2010, Presiden Barack Obama memuji keragaman dan toleransi di Indonesia. Terlihat jelas bahwa hubungan erat antara sebuah negara muslim yang besar dan moderat sangat cocok dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. (Sebuah pemikiran menarik bahwa Belanda selama berabad-abad telah menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.)

Obama sangat menyadari peluang-peluang yang ada di Indonesia. Dari segi jumlah penduduk, Amerika dan Indonesia adalah negara urutan ketiga dan keempat terbesar di dunia. Pada 2012, sumber kekayaan alam terbesar di kepulauan raksasa ini bukan lagi rempah-rempah atau tenaga kerja murah, melainkan generasi muda berbakat yang tak ada habisnya. Pengaruh Hindia Belanda akan jauh lebih besar daripada sekadar nasi goreng di menu restoran kita.

LMUWAN BELANDA, PRESIDEN THE ROYAL NETHERLANDS ACADEMY OF ARTS AND SCIENCES, SUMBER : KORAN TEMPO, 7 Maret 2012