Ahmad Syafii Maarif, MANTAN KETUS UMUM PP MUHAMMADIYAH
Sumber : KOMPAS, 26 November 2011
Judul yang lengkap sebenarnya adalah ”Asketik Hindu Nabinya the Poorest of the Poor ”. Ini adalah artikel refleksi kesaksian saya atas realitas spiritual seorang asketik Hindu.
Asketik berarti sederhana ekstrem. Saya mendapat undangan dari seorang asketik spiritual untuk mengunjungi kota Bhubaneswar, Negara Bagian Orissa, India, 14-16 November 2011. Saya diajak menyaksikan proyek pendidikan, sosial, dan kemanusiaan dahsyat yang telah digelutinya sejak 20 tahun lalu.
Sosok itu bernama Dr Achyuta Samanta, lahir 20 Januari 1965. Ia berasal dari Desa Kalarabanka, salah satu tempat tinggal suku termiskin di negara bagian itu. Samanta yatim sejak berumur empat tahun. Ibunya yang kini 83 tahun tetap tinggal di desa, sementara saudara-saudaranya tak seorang pun mengikutinya.
Melalui perjalanan hidup yang sangat sulit, Samanta berhasil sekolah dan mendapatkan beasiswa untuk meraih sarjana kimia dari Universitas Utkal.
Aneh bin ajaib, ia melepaskan profesinya sebagai dosen dan kemudian beralih posisi menjadi nabinya ”the poorest of the poor” (kalangan termiskin di antara yang miskin). Nabi di sini hendaklah dipahami sebagai seorang pembebas dari ketertindasan: kasta, ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik.
Tuan dan puan jangan kaget membaca kesaksian berikut dari saya (76) yang sudah bersyahadat sejak usia sangat dini. Senin 14 November pagi pukul 07.19, Dr Mahendra Prasad, Direktur Hubungan Internasional Universitas Kalinga Institute of Industrial Technology (KIIT), menjemput saya di Bandara Biju Patnaik dengan sebuah mobil cukup mewah.
Belum ada lini penerbangan internasional langsung ke Orissa. Dengan demikian, saya harus berjam-jam transit di Bandara Delhi yang sangat melelahkan.
Asketisme
Sampai jam itu saya belum dikenalkan dengan nama asketik Hindu yang fenomenal itu, otak dari semua proyek kemanusiaan yang mungkin hanya dia seorang saja di muka Bumi ini dalam makna asketisme: tak terbayangkan di tengah aset proyek ratusan juta dollar AS. Sebuah aset yang tidak akan diwariskan kepada keluarga, melainkan untuk publik, seperti yang ia tegaskan kepada saya.
Dalam perjalanan ke Hotel Trident, Prasad memberi saya beberapa informasi tercetak tentang KIIT, Kalinga Institute of Social Sciences (KISS), dan tentang Samanta. Di hotel secara selintas saya membaca informasi itu, termasuk sosok Samanta yang beberapa jam kemudian datang menemui saya di kamar hotel.
Saya terkejut bukan main, seorang humanis besar datang dengan baju putih lengan panjang, celana jeans, dan sandal lusuh. Langsung saya berucap, ”Tak ada gunanya Anda mengundang saya ke sini. Saya bukan siapa-siapa dibanding Anda.” Dengan sikap penuh hormat sambil mengangkat kedua tangan ke dahi, Samanta menjawab, ”Jangan berkata begitu.Saya mengagumi Anda.
”Terus terang saya malu sekali karena dia tak punya alasan untuk mengagumi saya. Syahadat usia dini tidak mengarahkan saya menjadi humanis yang berarti. Sewaktu saya tanya tentang inti filosofinya, Samanta hanya menjawab, ”Untuk membahagiakan orang lain.” Sebuah filosofi yang melawan sifat mementingkan diri sendiri.
Hari itu juga Samanta untuk kedua kalinya datang ke kamar saya. Pakaiannya tetap saja tak berganti, itu-itu saja. Ia memberikan serangkai bunga berwarna merah, lagi-lagi untuk menyatakan rasa hormat yang sebenarnya tidak patut saya terima. Saya merasa kualitas spiritual saya jauh berada di bawah.
Sore itu saya diajak keliling kota oleh pemuda Chitta Ranjan Panda, asisten liaison officer (staf penghubung) Universitas KIIT. Kami mengunjungi Candi Surya, peninggalan Kerajaan Kalinga, dan ke pantai melihat matahari terbenam dengan mobil KIIT yang cukup mewah.
Sebaliknya mobil Samanta yang sudah berusia 10 tahun tidak juga ditukar. Selasa 15 November pagi, saya diajak mengelilingi semua kampus KIIT dan KISS yang sedang membangun gedung-gedung lain untuk pengembangan lebih lanjut.
Untuk yang Miskin
Belum berumur 20 tahun, KIIT dan KISS sudah tampil sebagai salah satu universitas kelas dunia dengan 36.000 mahasiswa, termasuk mahasiswa asing. KISS dibangun untuk mendidik anak-anak termiskin dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Ada 10.000 siswa dan mahasiswa miskin ditampung dan dididik secara gratis oleh KISS.
Tuan dan puan dapat membayangkan dana yang harus tersedia untuk menghidupi lautan manusia papa itu. Samanta yang merasa hanya sebagai media Tuhan punya mimpi untuk memberdayakan 2.000.000 anak miskin dalam beberapa tahun mendatang. KIIT sekarang sudah punya 16 kampus, termasuk fakultas kedokteran dan fakultas hukum, melengkapi fakultas lain dari berbagai cabang ilmu.
Gambaran tentang sosok yang kita bincangkan ini belum lagi utuh sebelum tuan dan puan mengikuti yang berikut ini. Samanta tetap membujang, tinggal di rumah sewaan, berkantor di bawah pohon, dengan sebuah meja kuno dan beberapa kursi plastik. Jika panas menerpa ”kan - tornya ”, ia bergeser ke sisi lain. Di sinilah dia menerima tamu: presiden, menteri, gubernur, pemenang Hadiah Nobel, Hadiah Magsaysay, pejabat KIIT/KISS, dan tokoh-tokoh dunia lainnya. Semua akan sampai kepada kesimpulan: Samanta humanis yang belum ada duanya.
Pejabat-pejabat KIIT dan KISS bekerja di ruangan ber-AC, mobil mewah, dan berdasi. Samanta tetaplah Samanta, asketik Hindu. Di sebuah ruang di tempat tinggalnya, Samanta pagi-sore bersemedi. Saya diajak menengok ruang ini.
Dua kali dalam seminggu dia berpuasa. Dalam SMS-nya kepada saya tanggal 22 November, Samanta mengatakan akan tetap bertahan sebagai nabi orang miskin dalam asketisme yang membuat saya merasa malu. Samanta adalah pengikut Mahatma Gandhi, tokoh yang paling dikagumi pemikir sejarah AJ Toynbee.
Sore hari 15 November, saya bersama tamu yuris dari Inggris, Prof J Martin Hunter, dan dokter aktivis lingkungan, dr Shri Rajendra Singh, diminta berpidato di depan 15.000 siswa dan mahasiswa miskin yang berdisiplin tinggi. Acara berlangsung di lapangan terbuka kampus KISS.
Akhirnya, tentu amatlah sulit bagi kita menjadi asketik seperti Samanta dengan karya besarnya itu. Sekiranya kita mau hidup jujur dan lurus saja sudah lebih dari cukup, pasti akan banyak sekali proyek pengentasan orang miskin yang dapat kita laksanakan di Indonesia.
Mau studi banding? Temuilah Samanta di KIIT dan KISS, tak perlu ke Yunani atau negara industri lain. Jika memang mau menghalau kemiskinan dari bumi Nusantara, halaulah secara sungguhan! ●
Jumat, 16 Maret 2012
Kick Andy Heroes
Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 13 Maret 2012
Menyesal juga saya tidak bisa datang ke studio Metro TV pekan lalu memenuhi undangan rekan Andy Noya untuk menyaksikan penyerahan penghargaan Kick Andy Heroes 2012.
Menyesal karena saya pencinta acara Kick Andy, yang saya kira tidak kalah dibanding acara Oprah Winfrey Show, sehingga tidak bisa memperlihatkan dukungan langsung saya untuk acara tersebut.
Buat saya tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam program tersebut sama sekali berbeda dengan para tokoh politik yang sehari-hari ditampilkan dalam berbagai berita di televisi ataupun media massa lainnya.
Apalagi, para pemenang Kick Andy Heroes memang orang-orang berkarakter luar biasa, yang berani “berenang melawan arus perusakan massal” yang saat ini berlangsung di negeri kita.
Yang saya maksud dengan perusakan massal itu adalah degradasi moral karena: korupsi (di berbagai bidang kehidupan), kerusakan lingkungan yang parah karena eksploitasi berlebihan, kemiskinan (yang kerap disembunyikan tapi kerap pula dibutuhkan untuk kepentingan politis ataupun ekonomis), dan lain-lain.
Saya merasa bangga menyaksikan seorang hero seperti Irma Suryati (37) penyandang cacat di Kebumen yang berhasil membangun industri kerajinan, bahkan punya sekitar 2.500 binaan (termasuk kalangan PSK).
Irma hanya lulusan SMA. Dia tidak korupsi seperti Nazaruddin atau para politikus, pegawai pajak atau birokrat lainnya. Namun, di tengah kecacatannya dia mampu memberi pekerjaan dan harapan kepada orang lain yang sudah tanpa harapan.
Atau Dadang Heriadi (41), mantan pegawai PLN yang rela mengorbankan hidupnya untuk mengurus orang-orang gila yang menggelandang di jalan-jalan Tasikmalaya.
Padahal, dia bukan konglomerat yang punya dana CSR, tetapi memang menyerahkan hidupnya untuk sesama. Orang seperti Dadang sekelas dengan Bunda Teresa, pemenang Nobel Perdamaian 1979, karena karya kemanusiaannya untuk kaum miskin di Kalkuta, India.
Buat saya orang-orang seperti Irma atau Dadang jauh lebih terhormat dan berharga dibanding para politikus seperti Nazaruddin, atau politikus yang menyatakan siap digantung di Monas kalau terbukti korupsi, mengapa?
Karena para politikus telah mengajarkan kehancuran kepada bangsa ini di saat mereka diberi talenta berlebih oleh Tuhan, sementara para hero itu memberikan hidup mereka yang memang terbatas dan pas-pasan untuk sesama. Para hero itu memberikan jauh lebih banyak dari orang kaya atau politikus hebat mana pun di negeri ini.
Gerakan Masyarakat Sipil
Menjelang pemilihan gubernur di Jakarta tahun ini, muncul sepasang calon gubernur/wakil gubernur yang berasal dari kubu independen, yakni Faisal Basri dan Biem Benyamin. Saya sendiri tidak tahu apakah pasangan ini akan memenangi pertarungan, apalagi menghadapi calon incumbent yang diperkirakan punya dana dan sumber daya tak terbatas.
Namun, saya setuju dengan semangat mereka bahwa calon-calon independen itu merupakan antitesis terhadap para kandidat yang didukung partai-partai politik yang ada. Padahal, sudah terbukti partai-partai politik di Indonesia pada hari ini lebih merupakan beban (liability) ketimbang aset bangsa, namun mereka berkuasa dan menentukan ke mana arus itu mengalir.
Jadi, kandidat independen di pilkada DKI itu seperti berenang melawan arus. Mereka harus didukung, karena semangatnya adalah untuk memperlihatkan dan mengajarkan kepada masyarakat bahwa partai politik harus dikontrol oleh gerakan masyarakat sipil yang terstruktur dengan baik.
Profesor saya di mata kuliah etika komunikasi mengajarkan bahwa tidak setiap penyimpangan yang terjadi di masyarakat harus dilawan dengan legislasi, meski mungkin maksud legislasi itu baik.
Alasannya, tidak semua hal yang terjadi di masyarakat dapat diatur, termasuk dampak-dampak ikutannya (residual effect). Cara untuk melawannya adalah dengan membangun gerakan masyarakat sipil (civil society) yang merapatkan barisan untuk melawan berbagai penyimpangan dan kekacauan yang terjadi di masyarakat.
Contoh paling jelas adalah SKB dua menteri yang mengatur syarat-syarat pendirian rumah ibadah malah menimbulkan komplikasi dan segregasi di masyarakat, karena persoalan seperti itu tidak bisa diselesaikan dengan aturan, melainkan dengan mendidik masyarakat mengenai pluralitas bangsa ataupun civic education.
Akhirnya, saya mau menutup bahwa masih banyak bibit baik di tengah-tengah masyarakat kita, yang dapat membawa bangsa ini menuju kebaikan.
Perbaikan itu akan makin cepat tercapai bila civil society menyadari bahwa tugas dan tanggung jawab kita menyebarkan nilai-nilai kebaikan itu, di tengah perlombaan melawan kehancuran. Jadi, kini saatnya merapatkan barisan untuk kebaikan bersama.
SUMBER : SINAR HARAPAN, 13 Maret 2012
Menyesal juga saya tidak bisa datang ke studio Metro TV pekan lalu memenuhi undangan rekan Andy Noya untuk menyaksikan penyerahan penghargaan Kick Andy Heroes 2012.
Menyesal karena saya pencinta acara Kick Andy, yang saya kira tidak kalah dibanding acara Oprah Winfrey Show, sehingga tidak bisa memperlihatkan dukungan langsung saya untuk acara tersebut.
Buat saya tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam program tersebut sama sekali berbeda dengan para tokoh politik yang sehari-hari ditampilkan dalam berbagai berita di televisi ataupun media massa lainnya.
Apalagi, para pemenang Kick Andy Heroes memang orang-orang berkarakter luar biasa, yang berani “berenang melawan arus perusakan massal” yang saat ini berlangsung di negeri kita.
Yang saya maksud dengan perusakan massal itu adalah degradasi moral karena: korupsi (di berbagai bidang kehidupan), kerusakan lingkungan yang parah karena eksploitasi berlebihan, kemiskinan (yang kerap disembunyikan tapi kerap pula dibutuhkan untuk kepentingan politis ataupun ekonomis), dan lain-lain.
Saya merasa bangga menyaksikan seorang hero seperti Irma Suryati (37) penyandang cacat di Kebumen yang berhasil membangun industri kerajinan, bahkan punya sekitar 2.500 binaan (termasuk kalangan PSK).
Irma hanya lulusan SMA. Dia tidak korupsi seperti Nazaruddin atau para politikus, pegawai pajak atau birokrat lainnya. Namun, di tengah kecacatannya dia mampu memberi pekerjaan dan harapan kepada orang lain yang sudah tanpa harapan.
Atau Dadang Heriadi (41), mantan pegawai PLN yang rela mengorbankan hidupnya untuk mengurus orang-orang gila yang menggelandang di jalan-jalan Tasikmalaya.
Padahal, dia bukan konglomerat yang punya dana CSR, tetapi memang menyerahkan hidupnya untuk sesama. Orang seperti Dadang sekelas dengan Bunda Teresa, pemenang Nobel Perdamaian 1979, karena karya kemanusiaannya untuk kaum miskin di Kalkuta, India.
Buat saya orang-orang seperti Irma atau Dadang jauh lebih terhormat dan berharga dibanding para politikus seperti Nazaruddin, atau politikus yang menyatakan siap digantung di Monas kalau terbukti korupsi, mengapa?
Karena para politikus telah mengajarkan kehancuran kepada bangsa ini di saat mereka diberi talenta berlebih oleh Tuhan, sementara para hero itu memberikan hidup mereka yang memang terbatas dan pas-pasan untuk sesama. Para hero itu memberikan jauh lebih banyak dari orang kaya atau politikus hebat mana pun di negeri ini.
Gerakan Masyarakat Sipil
Menjelang pemilihan gubernur di Jakarta tahun ini, muncul sepasang calon gubernur/wakil gubernur yang berasal dari kubu independen, yakni Faisal Basri dan Biem Benyamin. Saya sendiri tidak tahu apakah pasangan ini akan memenangi pertarungan, apalagi menghadapi calon incumbent yang diperkirakan punya dana dan sumber daya tak terbatas.
Namun, saya setuju dengan semangat mereka bahwa calon-calon independen itu merupakan antitesis terhadap para kandidat yang didukung partai-partai politik yang ada. Padahal, sudah terbukti partai-partai politik di Indonesia pada hari ini lebih merupakan beban (liability) ketimbang aset bangsa, namun mereka berkuasa dan menentukan ke mana arus itu mengalir.
Jadi, kandidat independen di pilkada DKI itu seperti berenang melawan arus. Mereka harus didukung, karena semangatnya adalah untuk memperlihatkan dan mengajarkan kepada masyarakat bahwa partai politik harus dikontrol oleh gerakan masyarakat sipil yang terstruktur dengan baik.
Profesor saya di mata kuliah etika komunikasi mengajarkan bahwa tidak setiap penyimpangan yang terjadi di masyarakat harus dilawan dengan legislasi, meski mungkin maksud legislasi itu baik.
Alasannya, tidak semua hal yang terjadi di masyarakat dapat diatur, termasuk dampak-dampak ikutannya (residual effect). Cara untuk melawannya adalah dengan membangun gerakan masyarakat sipil (civil society) yang merapatkan barisan untuk melawan berbagai penyimpangan dan kekacauan yang terjadi di masyarakat.
Contoh paling jelas adalah SKB dua menteri yang mengatur syarat-syarat pendirian rumah ibadah malah menimbulkan komplikasi dan segregasi di masyarakat, karena persoalan seperti itu tidak bisa diselesaikan dengan aturan, melainkan dengan mendidik masyarakat mengenai pluralitas bangsa ataupun civic education.
Akhirnya, saya mau menutup bahwa masih banyak bibit baik di tengah-tengah masyarakat kita, yang dapat membawa bangsa ini menuju kebaikan.
Perbaikan itu akan makin cepat tercapai bila civil society menyadari bahwa tugas dan tanggung jawab kita menyebarkan nilai-nilai kebaikan itu, di tengah perlombaan melawan kehancuran. Jadi, kini saatnya merapatkan barisan untuk kebaikan bersama.
UNGKAPKAN DENGAN BUNGA
Gede Prama, PENULIS BUKU SIMFONI DI DALAM DIRI:
MENGOLAH KEMARAHAN MENJADI KETEDUHAN
Sumber : KORAN TEMPO, 3 Februari 2012
Negeri autopilot, demikian kesimpulan sahabat yang merasa pemerintah seolah olah tiada. Terutama di tengah derasnya ancaman akan pluralitas, aparat sepertinya tidak berbuat apa-apa. Negeri para makelar, itu kesimpulan sahabat lain yang melihat pemerintah hanya adem-ayem atas kemampuan sekolah menengah kejuruan menghasilkan mobil sendiri. Cerita akan lain sekali--masih menurut para kritikus-bila pabrikan mobil luar negeri datang kepada aparat meminta proteksi, plus tentu ongkos komisi buat makelar.
Inilah salah satu wajah demokrasi, dengan pemerintah yang selalu dalam posisi bersalah. Namun, melihat perkembangan kerut wajah sejumlah pemimpin negeri ini, tampak jelas pihak pemerintah juga bekerja keras. Salah satu bagian wajah pemimpin yang bisa mewakili kerja keras dan kelelahan adalah cekungan di bawah mata. Dan ini bukan tidak ada hasilnya, investor luar mulai menyebut negeri ini sebagai wanita cantik. Buktinya, investment grade yang lenyap sejak 1997 sudah kembali dalam pangkuan pada 2011.
Pertanyaan awam sehabis ini, mana yang benar, negeri ini bopeng sebagaimana komentar kritikus, atau wanita cantik sebagaimana kesimpulan investor. “In the deeper level, truth is relational,“ demikian pesan tetua bijaksana dari Timur. Dalam tingkatan yang lebih dalam, kebenaran sifatnya relasional, amat bergantung pada siapa yang mempersepsikan, dengan siapa seseorang berinteraksi, apa kepentingannya, dan seberapa jujur seseorang dalam menyuarakan kebenaran.
Melihat sifat kebenaran yang relasional seperti ini, bisa dimaklumi bila ada guru yang menyarankan sebaiknya seseorang lebih cerdas tidak hanya di depan berita, tapi perlu “lebih cerdas“ bahkan di depan buku suci sekalipun. Lihat konteks lahirnya, cermati dinamikanya, dan pandang secara jernih pewarta berita sekaligus buku suci. Menelan mentah-mentah apa yang disajikan, serupa makan makanan yang belum dimasak, tidak hanya menimbulkan penyakit, tapi juga membuat diri menjadi bagian dari penyebaran penyakit, bukan bagian dari langkah-langkah kesembuhan dan pertumbuhan.
Ini yang bisa menjelaskan kenapa banyak pencinta kejernihan menjaga jarak terhadap kerumunan orang kebanyakan. Ini juga sebabnya kenapa kerumunan orang kebanyakan tidak semakin tersembuhkan di tengah kerumunan, sebaliknya tambah sakit dari hari ke hari. Coba perhatikan angka bunuh diri yang terus meningkat, rumah sakit jiwa yang sesak. Di tingkatan interpersonal konflik, perang dan permusuhan seperti tidak mengenal henti. Di tingkatan kosmik, pada akhir 2011 terjadi gempa dengan kekuatan 9 skala Richter di Jepang (terbesar dalam 1.200 tahun terakhir), yang diikuti tewasnya belasan ribu orang dan hilangnya ribuan manusia yang lain.
Pada tataran ini, rumusnya bukan hanya kejadian memproduksi kebenaran, tapi “kebenaran“ ikut memproduksi kejadian. Sementara dalam geografi berlaku rumus bentuk wilayah menentukan bentuk peta, dalam kekacauan kosmik saat ini rumusnya terbalik, yakni peta (baca: cara memandang) menentukan bentuk wilayah (realitas). Terutama karena kepala manusia berisi banyak kekacauan, kemudian keputusan-keputusannya ikut menciptakan kekacauan.
Mungkin karena merenung dalam-dalam di atas tumpukan bahan renungan seperti inilah, kemudian tetua di Timur menjauh dari perdebatan--apalagi penghakiman anarkistis-dan duduk bermeditasi bersahabatkan keheningan. Di awal perjalanan, keheningan diambil alih oleh kekacauan. Maka banyak orang mudah marah dan protes. Di pertengahan perjalanan, mulai ada ruang antara kejadian di satu pihak dan sikap keseharian di lain pihak. Kadang sikapnya masih dibawa pergi emosi, kadang bisa merasakan keheningan.
Makhluk tercerahkan malah lebih mengagumkan lagi, mulai bisa “istirahat“ dalam ruang-ruang keheningan. Kejadian, berita, dan opini serupa awan. Yang menyenangkan mirip awan putih, yang menjengkelkan serupa awan hitam. Tapi, baik yang putih maupun hitam sama-sama tidak kekal, tunduk pada hukum muncul dan lenyap. Penderitaan terjadi karena manusia menggenggam awan putih, atau menendang awan hitam. Perjalanan menuju kesembuhan lebih mungkin terjadi, saat seseorang belajar menyaksikan muncul-lenyapnya awan-awan, kemudian “istirahat“ dalam kejernihan langit biru. Dan kapan saja awan menghilang, langit senantiasa berhiaskan cahaya yang mengusir kegelapan (baca: kekacauan kosmik).
Ada memang yang menuduh keadaan istirahat terakhir dengan apatis, tapi siapa saja yang lama beristirahat dalam langit biru tahu, sebagaimana air yang tidak bisa dipisahkan dengan basah, keheningan sebagai buah meditasi tidak bisa dipisahkan dengan kasih sayang. Itu sebabnya, salah satu simbol pencerahan yang ada di alam adalah pepohonan. Kelihatannya pohon diam dan pasif, tapi dalam diamnya ia mengolah karbon dioksida menjadi oksigen yang amat dibutuhkan semua makhluk. Pemimpin-pemimpin seperti inilah yang dibutuhkan alam dalam kekinian. Mulutnya memang mengeluarkan teramat sedikit suara, tapi tindakannya menyuarakan kasih sayang. Ini yang di Barat disebut dengan say it with flower. Ungkapkanlah dengan bunga (baca: kasih sayang).
Sementara di Bali, yang bergelimang dolar pariwisata setiap hari, peristiwa-peristiwa mengenaskan terjadi, seperti infeksi HIV/AIDS, bunuh diri, dan konflik, tidak terbayang apa yang terjadi di Indonesia timur yang belum tersentuh pembangunan. Sementara di Jawa dan Sumatera saja infrastruktur jalan demikian menyedihkan, sehingga gerak pelayanan terhadap rakyat terganggu, tidak terbayang apa yang terjadi di tempat-tempat di mana sungai masih tidak berisi jembatan.
Sementara di Jakarta bahaya narkotik tidak sepenuhnya tertangani, apa yang terjadi di pelosok-pelosok yang jauh dari pusat pemerintahan. Hal-hal seperti inilah yang sebaiknya menjadi bahan renungan semua pihak (baik pemerintah maupun kritikus), endapkan sambil menarik napas sebentar, kemudian dengarkan bisikan keheningan: “ungkapkan dengan bunga“. ●
MENGOLAH KEMARAHAN MENJADI KETEDUHAN
Sumber : KORAN TEMPO, 3 Februari 2012
Negeri autopilot, demikian kesimpulan sahabat yang merasa pemerintah seolah olah tiada. Terutama di tengah derasnya ancaman akan pluralitas, aparat sepertinya tidak berbuat apa-apa. Negeri para makelar, itu kesimpulan sahabat lain yang melihat pemerintah hanya adem-ayem atas kemampuan sekolah menengah kejuruan menghasilkan mobil sendiri. Cerita akan lain sekali--masih menurut para kritikus-bila pabrikan mobil luar negeri datang kepada aparat meminta proteksi, plus tentu ongkos komisi buat makelar.
Inilah salah satu wajah demokrasi, dengan pemerintah yang selalu dalam posisi bersalah. Namun, melihat perkembangan kerut wajah sejumlah pemimpin negeri ini, tampak jelas pihak pemerintah juga bekerja keras. Salah satu bagian wajah pemimpin yang bisa mewakili kerja keras dan kelelahan adalah cekungan di bawah mata. Dan ini bukan tidak ada hasilnya, investor luar mulai menyebut negeri ini sebagai wanita cantik. Buktinya, investment grade yang lenyap sejak 1997 sudah kembali dalam pangkuan pada 2011.
Pertanyaan awam sehabis ini, mana yang benar, negeri ini bopeng sebagaimana komentar kritikus, atau wanita cantik sebagaimana kesimpulan investor. “In the deeper level, truth is relational,“ demikian pesan tetua bijaksana dari Timur. Dalam tingkatan yang lebih dalam, kebenaran sifatnya relasional, amat bergantung pada siapa yang mempersepsikan, dengan siapa seseorang berinteraksi, apa kepentingannya, dan seberapa jujur seseorang dalam menyuarakan kebenaran.
Melihat sifat kebenaran yang relasional seperti ini, bisa dimaklumi bila ada guru yang menyarankan sebaiknya seseorang lebih cerdas tidak hanya di depan berita, tapi perlu “lebih cerdas“ bahkan di depan buku suci sekalipun. Lihat konteks lahirnya, cermati dinamikanya, dan pandang secara jernih pewarta berita sekaligus buku suci. Menelan mentah-mentah apa yang disajikan, serupa makan makanan yang belum dimasak, tidak hanya menimbulkan penyakit, tapi juga membuat diri menjadi bagian dari penyebaran penyakit, bukan bagian dari langkah-langkah kesembuhan dan pertumbuhan.
Ini yang bisa menjelaskan kenapa banyak pencinta kejernihan menjaga jarak terhadap kerumunan orang kebanyakan. Ini juga sebabnya kenapa kerumunan orang kebanyakan tidak semakin tersembuhkan di tengah kerumunan, sebaliknya tambah sakit dari hari ke hari. Coba perhatikan angka bunuh diri yang terus meningkat, rumah sakit jiwa yang sesak. Di tingkatan interpersonal konflik, perang dan permusuhan seperti tidak mengenal henti. Di tingkatan kosmik, pada akhir 2011 terjadi gempa dengan kekuatan 9 skala Richter di Jepang (terbesar dalam 1.200 tahun terakhir), yang diikuti tewasnya belasan ribu orang dan hilangnya ribuan manusia yang lain.
Pada tataran ini, rumusnya bukan hanya kejadian memproduksi kebenaran, tapi “kebenaran“ ikut memproduksi kejadian. Sementara dalam geografi berlaku rumus bentuk wilayah menentukan bentuk peta, dalam kekacauan kosmik saat ini rumusnya terbalik, yakni peta (baca: cara memandang) menentukan bentuk wilayah (realitas). Terutama karena kepala manusia berisi banyak kekacauan, kemudian keputusan-keputusannya ikut menciptakan kekacauan.
Mungkin karena merenung dalam-dalam di atas tumpukan bahan renungan seperti inilah, kemudian tetua di Timur menjauh dari perdebatan--apalagi penghakiman anarkistis-dan duduk bermeditasi bersahabatkan keheningan. Di awal perjalanan, keheningan diambil alih oleh kekacauan. Maka banyak orang mudah marah dan protes. Di pertengahan perjalanan, mulai ada ruang antara kejadian di satu pihak dan sikap keseharian di lain pihak. Kadang sikapnya masih dibawa pergi emosi, kadang bisa merasakan keheningan.
Makhluk tercerahkan malah lebih mengagumkan lagi, mulai bisa “istirahat“ dalam ruang-ruang keheningan. Kejadian, berita, dan opini serupa awan. Yang menyenangkan mirip awan putih, yang menjengkelkan serupa awan hitam. Tapi, baik yang putih maupun hitam sama-sama tidak kekal, tunduk pada hukum muncul dan lenyap. Penderitaan terjadi karena manusia menggenggam awan putih, atau menendang awan hitam. Perjalanan menuju kesembuhan lebih mungkin terjadi, saat seseorang belajar menyaksikan muncul-lenyapnya awan-awan, kemudian “istirahat“ dalam kejernihan langit biru. Dan kapan saja awan menghilang, langit senantiasa berhiaskan cahaya yang mengusir kegelapan (baca: kekacauan kosmik).
Ada memang yang menuduh keadaan istirahat terakhir dengan apatis, tapi siapa saja yang lama beristirahat dalam langit biru tahu, sebagaimana air yang tidak bisa dipisahkan dengan basah, keheningan sebagai buah meditasi tidak bisa dipisahkan dengan kasih sayang. Itu sebabnya, salah satu simbol pencerahan yang ada di alam adalah pepohonan. Kelihatannya pohon diam dan pasif, tapi dalam diamnya ia mengolah karbon dioksida menjadi oksigen yang amat dibutuhkan semua makhluk. Pemimpin-pemimpin seperti inilah yang dibutuhkan alam dalam kekinian. Mulutnya memang mengeluarkan teramat sedikit suara, tapi tindakannya menyuarakan kasih sayang. Ini yang di Barat disebut dengan say it with flower. Ungkapkanlah dengan bunga (baca: kasih sayang).
Sementara di Bali, yang bergelimang dolar pariwisata setiap hari, peristiwa-peristiwa mengenaskan terjadi, seperti infeksi HIV/AIDS, bunuh diri, dan konflik, tidak terbayang apa yang terjadi di Indonesia timur yang belum tersentuh pembangunan. Sementara di Jawa dan Sumatera saja infrastruktur jalan demikian menyedihkan, sehingga gerak pelayanan terhadap rakyat terganggu, tidak terbayang apa yang terjadi di tempat-tempat di mana sungai masih tidak berisi jembatan.
Sementara di Jakarta bahaya narkotik tidak sepenuhnya tertangani, apa yang terjadi di pelosok-pelosok yang jauh dari pusat pemerintahan. Hal-hal seperti inilah yang sebaiknya menjadi bahan renungan semua pihak (baik pemerintah maupun kritikus), endapkan sambil menarik napas sebentar, kemudian dengarkan bisikan keheningan: “ungkapkan dengan bunga“. ●
Kamis, 15 Maret 2012
MENYIRAMI BIBIT KEBAJIKAN
Gede Prama, PENULIS BUKU SIMFONI DALAM DIRI: MENGOLAH KEMARAHAN MENJADI KETEDUHAN ; FASILITATOR MEDITASI DI BALI UTARA
SUMBER : KORAN TEMPO, 15 Maret 2012
Setelah dihukum beratnya koruptor oleh pengadilan plus disitanya semua harta pribadi menjadi kekayaan negara, banyak yang menyebut hal ini sebagai cahaya optimisme dalam pemberantasan korupsi. Membuat jera koruptor tentu baik, membimbing orang jahat agar baik tentu tidak keliru. Tapi sejarah panjang lembaga pemasyarakatan (LP), lengkap dengan hukumannya yang kejam, sudah dicatat sejarah tidak berkontribusi signifikan dalam menurunkan angka kejahatan. Masyarakat Barat berada jauh di depan dalam hal ini. Hukumnya rapi, aparatnya relatif lebih bersih. Tapi belum pernah terdengar angka kejahatan menurun signifikan. Akibatnya, muncul pertanyaan: tepatkah pendekatan menghukum dalam mengurangi kejahatan?
Sejarah pengetahuan menyimpan banyak pendekatan, sebagian bahkan saling bertentangan. Ia serupa dengan buku suci. Semua buku suci menyimpan kontradiksi. Di satu bagian, buku suci memerintahkan: "cepat minum gula, nanti mati". Di bagian lain, buku suci yang sama berpesan: "jangan minum gula, nanti mati". Yang mengerti kesehatan tahu, perintah pertama berlaku untuk mereka yang kadar gula dalam darahnya masih jauh dari cukup. Perintah kedua untuk manusia sebaliknya. Tugas berikutnya sederhana, apakah kita hidup dalam putaran waktu yang "kebanyakan gula", atau sebaliknya "kekurangan gula"? Dari sini dipetakan, apakah penjahat sebaiknya dihukum sekeras-kerasnya, atau dididik agar menyirami bibit kebajikan dalam diri?
Saluran televisi National Geographic pada 6 Maret 2012 secara indah menyiarkan temuan tentang warrior gene. Persisnya, semacam gen dalam diri manusia yang membuat seseorang demikian berenerginya, sehingga rawan bergabung dengan kelompok geng, bergerombol melakukan kekerasan. Hasilnya mengejutkan, mereka dengan gen jenis ini, bila diperlakukan dengan kekerasan, akan semakin keras. Kesimpulan ini akan semakin jujur terlihat bila kita bertanya ulang, seberapa persen mantan penghuni LP yang bisa dibikin baik setelah mendekam di sana bertahun-tahun? Seberapa banyak yang balik lagi? Membaca pemberitaan media, sebagian penghuni LP tidak hanya melanjutkan kejahatannya di sana, tapi juga malah bikin ricuh di LP. Bila demikian keadaannya, melakukan kekerasan terhadap manusia yang punya gen keras serupa dengan menyiramkan bensin ke api yang sedang terbakar. Jika terus dilakukan, bukan tidak mungkin kita semua akan terbakar!
Ini membawa konsekuensi luas tidak saja dalam mengelola LP, tapi juga bagaimana sebaiknya memperlakukan putra-putri kita di rumah yang bermasalah, bagaimana sekolah sebaiknya "mengorangkan" anak-anak nakal, bagaimana organisasi menyentuh hati pekerja yang suka melawan. Belajar dari sejarah panjang di mana hukuman lebih dekat dengan menyiramkan bensin pada api, mungkin bijaksana merenungkan menyirami bibit kebajikan dalam diri manusia bermasalah.
Perhatikan nama-nama manusia di semua agama. Tidak ada nama dengan konotasi buruk, seperti Injak, Pukul, Bunuh. Di samping itu, semua bayi dibuat oleh sepasang suami-istri yang berpelukan penuh kasih sayang, bukan pukul-pukulan. Semua ibu yang sedang hamil berbicara baik dengan anaknya dalam kandungan. Digabung menjadi satu, semua manusia memiliki bibit kebajikan dalam diri. Cuma, serupa dengan bibit pohon, bila tidak disirami, suatu waktu akan mati. Untuk itulah, sangat penting menemukan sebanyak mungkin cara untuk menyirami bibit kebajikan dalam diri. Merenung di atas sejarah panjang kesembuhan kejiwaan, umumnya manusia di zaman ini hanya mau yang positif, menendang yang negatif. Padahal bagian diri yang ditendang hanya hilang sebentar, dan nanti muncul lagi. Dalam bahasa Freud, masuk ke alam bawah sadar. Dalam terminologi Jung, ia akan menjadi bayangan yang mengikuti. Bila saatnya tiba, yang ditendang tadi akan muncul lagi sebagai gangguan.
Itu sebabnya, Carl Jung--setelah diperkaya filosofi Timur--kemudian belajar tidak serakah dengan hal positif, tidak marah dengan yang negatif. Jung menyebut terapi sebagai the work of reconciliation of opposites. Memadukan dualitas kemudian mengalami kesembuhan. Sebuah pendekatan yang mirip meditasi. Urutan langkahnya sederhana: acceptance, understanding, loving kindness, compassion. Menerima kekurangan sebaik kita menerima kelebihan, itu langkah pertama. Meminjam penemuan seorang guru meditasi: accepting without blaming is the true turning point of healing. Menerima tanpa menyalahkan adalah titik balik kesembuhan. Krusial dalam hal ini, bagaimana sebaiknya menerima manusia bermasalah sekaligus mengajak mereka menerima kekurangan hidupnya. Cahaya penerimaan lebih mudah dihidupkan bila dibangun di atas pengertian bahwa kejahatan tidak berdiri sendiri. Ada jejaring rumit berupa peradaban yang semakin gelap, keteladanan buruk elite, ketidakdewasaan orang tua, guru bermasalah, pemberitaan yang berisi terlalu banyak keburukan, lembaga agama yang mengalami krisis karisma.
Begitu sampai di tahap ini, kemudian kemarahan terhadap manusia bermasalah digantikan kerinduan untuk berbagi cinta kasih. Terutama karena manusia yang tadinya kita benci ternyata hanya korban, bukan aktor dari kerumitan kehidupan. Memarahi korban tidak hanya tak menyembuhkan, tapi juga memperumit jejaring masalah yang sudah rumit. Korban-korban ini sesungguhnya tidak membutuhkan kemarahan kita, mereka lebih membutuhkan kasih sayang (compassion). Makanya, kepada setiap murid meditasi selalu diberikan obat “sayangi, sayangi, sayangi”. Cara ini tidak hanya menyembuhkan orang lain, tapi juga menyembuhkan diri ini.
Dari sini bukan berarti kita harus membongkar jeruji besi LP, membebaskan anak-anak mengunjungi situs pornografi, membiarkan koruptor melanjutkan kejahatannya. Sebaliknya, kita harus merenungkan dalam-dalam bahwa manusia jahat tidak berdiri sendiri. Kemudian mengajak mereka menoleh ke dalam, ke bibit kebajikan yang tersedia di dalam, menyiraminya dengan penerimaan, pengertian, cinta, dan kasih sayang, adalah pekerjaan rumah kita bersama.
SUMBER : KORAN TEMPO, 15 Maret 2012
Setelah dihukum beratnya koruptor oleh pengadilan plus disitanya semua harta pribadi menjadi kekayaan negara, banyak yang menyebut hal ini sebagai cahaya optimisme dalam pemberantasan korupsi. Membuat jera koruptor tentu baik, membimbing orang jahat agar baik tentu tidak keliru. Tapi sejarah panjang lembaga pemasyarakatan (LP), lengkap dengan hukumannya yang kejam, sudah dicatat sejarah tidak berkontribusi signifikan dalam menurunkan angka kejahatan. Masyarakat Barat berada jauh di depan dalam hal ini. Hukumnya rapi, aparatnya relatif lebih bersih. Tapi belum pernah terdengar angka kejahatan menurun signifikan. Akibatnya, muncul pertanyaan: tepatkah pendekatan menghukum dalam mengurangi kejahatan?
Sejarah pengetahuan menyimpan banyak pendekatan, sebagian bahkan saling bertentangan. Ia serupa dengan buku suci. Semua buku suci menyimpan kontradiksi. Di satu bagian, buku suci memerintahkan: "cepat minum gula, nanti mati". Di bagian lain, buku suci yang sama berpesan: "jangan minum gula, nanti mati". Yang mengerti kesehatan tahu, perintah pertama berlaku untuk mereka yang kadar gula dalam darahnya masih jauh dari cukup. Perintah kedua untuk manusia sebaliknya. Tugas berikutnya sederhana, apakah kita hidup dalam putaran waktu yang "kebanyakan gula", atau sebaliknya "kekurangan gula"? Dari sini dipetakan, apakah penjahat sebaiknya dihukum sekeras-kerasnya, atau dididik agar menyirami bibit kebajikan dalam diri?
Saluran televisi National Geographic pada 6 Maret 2012 secara indah menyiarkan temuan tentang warrior gene. Persisnya, semacam gen dalam diri manusia yang membuat seseorang demikian berenerginya, sehingga rawan bergabung dengan kelompok geng, bergerombol melakukan kekerasan. Hasilnya mengejutkan, mereka dengan gen jenis ini, bila diperlakukan dengan kekerasan, akan semakin keras. Kesimpulan ini akan semakin jujur terlihat bila kita bertanya ulang, seberapa persen mantan penghuni LP yang bisa dibikin baik setelah mendekam di sana bertahun-tahun? Seberapa banyak yang balik lagi? Membaca pemberitaan media, sebagian penghuni LP tidak hanya melanjutkan kejahatannya di sana, tapi juga malah bikin ricuh di LP. Bila demikian keadaannya, melakukan kekerasan terhadap manusia yang punya gen keras serupa dengan menyiramkan bensin ke api yang sedang terbakar. Jika terus dilakukan, bukan tidak mungkin kita semua akan terbakar!
Ini membawa konsekuensi luas tidak saja dalam mengelola LP, tapi juga bagaimana sebaiknya memperlakukan putra-putri kita di rumah yang bermasalah, bagaimana sekolah sebaiknya "mengorangkan" anak-anak nakal, bagaimana organisasi menyentuh hati pekerja yang suka melawan. Belajar dari sejarah panjang di mana hukuman lebih dekat dengan menyiramkan bensin pada api, mungkin bijaksana merenungkan menyirami bibit kebajikan dalam diri manusia bermasalah.
Perhatikan nama-nama manusia di semua agama. Tidak ada nama dengan konotasi buruk, seperti Injak, Pukul, Bunuh. Di samping itu, semua bayi dibuat oleh sepasang suami-istri yang berpelukan penuh kasih sayang, bukan pukul-pukulan. Semua ibu yang sedang hamil berbicara baik dengan anaknya dalam kandungan. Digabung menjadi satu, semua manusia memiliki bibit kebajikan dalam diri. Cuma, serupa dengan bibit pohon, bila tidak disirami, suatu waktu akan mati. Untuk itulah, sangat penting menemukan sebanyak mungkin cara untuk menyirami bibit kebajikan dalam diri. Merenung di atas sejarah panjang kesembuhan kejiwaan, umumnya manusia di zaman ini hanya mau yang positif, menendang yang negatif. Padahal bagian diri yang ditendang hanya hilang sebentar, dan nanti muncul lagi. Dalam bahasa Freud, masuk ke alam bawah sadar. Dalam terminologi Jung, ia akan menjadi bayangan yang mengikuti. Bila saatnya tiba, yang ditendang tadi akan muncul lagi sebagai gangguan.
Itu sebabnya, Carl Jung--setelah diperkaya filosofi Timur--kemudian belajar tidak serakah dengan hal positif, tidak marah dengan yang negatif. Jung menyebut terapi sebagai the work of reconciliation of opposites. Memadukan dualitas kemudian mengalami kesembuhan. Sebuah pendekatan yang mirip meditasi. Urutan langkahnya sederhana: acceptance, understanding, loving kindness, compassion. Menerima kekurangan sebaik kita menerima kelebihan, itu langkah pertama. Meminjam penemuan seorang guru meditasi: accepting without blaming is the true turning point of healing. Menerima tanpa menyalahkan adalah titik balik kesembuhan. Krusial dalam hal ini, bagaimana sebaiknya menerima manusia bermasalah sekaligus mengajak mereka menerima kekurangan hidupnya. Cahaya penerimaan lebih mudah dihidupkan bila dibangun di atas pengertian bahwa kejahatan tidak berdiri sendiri. Ada jejaring rumit berupa peradaban yang semakin gelap, keteladanan buruk elite, ketidakdewasaan orang tua, guru bermasalah, pemberitaan yang berisi terlalu banyak keburukan, lembaga agama yang mengalami krisis karisma.
Begitu sampai di tahap ini, kemudian kemarahan terhadap manusia bermasalah digantikan kerinduan untuk berbagi cinta kasih. Terutama karena manusia yang tadinya kita benci ternyata hanya korban, bukan aktor dari kerumitan kehidupan. Memarahi korban tidak hanya tak menyembuhkan, tapi juga memperumit jejaring masalah yang sudah rumit. Korban-korban ini sesungguhnya tidak membutuhkan kemarahan kita, mereka lebih membutuhkan kasih sayang (compassion). Makanya, kepada setiap murid meditasi selalu diberikan obat “sayangi, sayangi, sayangi”. Cara ini tidak hanya menyembuhkan orang lain, tapi juga menyembuhkan diri ini.
Dari sini bukan berarti kita harus membongkar jeruji besi LP, membebaskan anak-anak mengunjungi situs pornografi, membiarkan koruptor melanjutkan kejahatannya. Sebaliknya, kita harus merenungkan dalam-dalam bahwa manusia jahat tidak berdiri sendiri. Kemudian mengajak mereka menoleh ke dalam, ke bibit kebajikan yang tersedia di dalam, menyiraminya dengan penerimaan, pengertian, cinta, dan kasih sayang, adalah pekerjaan rumah kita bersama.
BERHUTANG DENGAN BIJAK
Purnawan Kristanto
Hutang seperti ini bisa jadi sangat berbahaya.
Oleh karena itu sedapat mungkin jangan mudah terperangkap pola gaya hidup atau
lifestyle yang berlebihan yang akan memaksa kita untuk berhutang. Keinginan
untuk hidup enak sesaat sering membuat orang mengabaikan dampak jangka
panjangnya.
Hutang adalah ibarat pedang bermata dua. Agar
tidak tersayat mata tajam pedang itu, perlu diingat aturan sederhana ini:
Berhutanglah untuk berinvestasi yang akan membuat kekayaan bersih kita tumbuh
berkembang. Sebaliknya, hindarilah hutang untuk memenuhi keinginan
konsumtif dan justru membuat aset menyusut.
Supaya Anda tidak terjebak ke
dalam keputusan berhutang yang keliru, ada tiga pertanyaan kunci yang perlu
diajukan sebelum memutuskan berhutang. Berikut ini uraiannya.
1. Untuk apa hutang tersebut
digunakan?
Pertanyaan ini untuk memeriksa
kesesuaian antara keputusan berhutang dengan tujuan masa depan Anda. Sebelum
memutuskan berhutang Anda harus mengkaji kebutuhan dan kegunaan dari barang
atau aset yang akan dibeli dengan hutang.
Contohnya, ada orang yang membeli
mobil baru dengan kredit selama 3 tahun. Ia tidak mempertimbangkan kegunaan
mobil dan dampak keputusan ini terhadap kondisi keuangan di masa depan. Untuk
dapat mengatur besarnya cicilan hutang tiap bulannya serta pertimbangan
kegunaan dari aset yang akan dibeli, perlu dibedakan jenis hutang jangka pendek
dan jangka panjang. Dari sudut pandang perencanaan pengeluaran (spending plan),
hutang jangka (sangat) pendek adalah hutang yang harus dilunasi dalam tempo
kurang dari 3 bulan.
Ada dua sebab utama orang
berhutang jangka pendek: (1) Kemudahan, kita dapat menggunakan hutang ini untuk
membayar pembelian makanan, pakaian dan kebutuhan harian lainnya namun hutang
ini harus dilunasi pada akhir bulan; (2) Kebutuhan darurat, kita dapat
menggunakannya untuk kebutuhan tak terduga seperti kerusakan mobil, pengobatan
dokter dan lain-lain.
Hutang jangka panjang bisa mencapai 15 tahun
untuk melunasinya. Hutang ini digunakan untuk kebutuhan yang lebih besar atau
prioritas jangka panjang seperti membeli mobil (KPM) atau rumah (KPR).
Untuk kebutuhan hutang jangka panjang Anda
dapat memakai hutang perbankan. Akan tetapi harus diingat, pembayaran cicilan
bulanan tetap tidak boleh melampaui rasio hutang dan rasio pembayaran hutang
yang disarankan. Bila Anda tetap pada jalur perencanaan yang sudah ditetapkan
dan melakukan peninjauan ulang secara berkala, peluang Anda untuk dapat
mencapai semua tujuan masa depan yang diinginkan keluarga akan sangat besar.
2. Berapa besar hutang yang ingin dan mampu
Anda ambil?
Pertanyaan ini bertujuan untuk memeriksa
kondisi keuangan melalui besaran rasio pembayaran hutang. Rasio ini
menghitung porsi dari pendapatan bulanan yang akan digunakan sebagai pembayaran
cicilan hutang setiap bulan. Angka
yang dianjurkan sebagai batas atas dari rasio ini adalah 30 persen.
Artinya adalah bila pendapatan bersih Anda
sebesar 5 juta rupiah per bulan maka batas pembayaran cicilan hutang per bulan
yang diperkenankan adalah tidak lebih dari 1,5 juta rupiah.
3. Bagaimana hutang itu bisa dilunasi dalam
keadaan darurat?
Perhitungkan juga alternatif pembayaran hutang
bila terjadi keadaan darurat. Ada
cara untuk mengantisipasi keadaan darurat. Misalnya saja, persiapan menghadapi
risiko meninggal dunia dari kepala keluarga yang menopang kelangsungan keluarga
dapat dilakukan melalui produk asuransi term insurance dengan jangka waktu dan
besar uang pertanggungan sama dengan jangka waktu dan besar hutang Anda.
Petaka ini memaksa Anda untuk
menangguhkan pembayaran cicilan bulanan hutang Anda. Untuk bersiap menghadapi
musibah jenis ini, ada beberapa langkah strategi untuk tetap dapat memenuhi
kewajiban membayar cicilan bulanan hutang jangka panjang Anda. Berikut ini
beberapa alternatif penyelesaiannya:
Hubungi kreditur dan jelaskan
keadaan Anda sekarang. Anda dapat memohon keringanan, misalnya dengan
perpanjangan waktu pembayaran atau membayar bunganya terlebih dahulu. Kemauan
kreditur untuk bernegosiasi akan sangat tergantung pada situasi yang terjadi
dan catatan sejarah pembayaran kredit Anda.
Kalau masih memiliki dana cukup
dalam simpanan, Anda dapat menggunakannya sebagian untuk membayar cicilan
pinjaman bulanan.
Harus diingat bahwa dana simpanan
Anda adalah terutama untuk pencapaian prioritas tujuan jangka panjang serta
untuk menutupi kebutuhan sehari-hari (bukan untuk membayar hutang) selama 3
sampai 6 bulan dalam keadaan dana darurat. Jadi jangan sampai menghabiskan dana
simpanan tersebut.
Bila Anda memiliki polis asuransi
(misalnya polis life insurance) yang memiliki nilai tunai, maka Anda dapat
meminjam terlebih dahulu dari asuransi tersebut. Sebagian life insurance
memperbolehkan Anda meminjam sampai dengan 80 persen cash dari polis asuransi
Anda.
Diringkas dari www.sinarharapan.co.id
HADIAH BAGI YANG MERENDAHKAN HATI
Tuhan sangat
menyukai orang yang sungguh rendah hati.
Booker T Washington, seorang pendidik berkulit hitam yang
terkenal, adalah salah satu contohnya.
Tatkala ia menjadi pemimpin pada Institut Tuskegee di
Alabama, ia senang berjalan-jalan di pinggir kota .
Suatu hari ia dihentikan oleh seorang wanita kaya kulit putih. Karena tak
mengenal Washington , ia
menawarkan apakah laki-laki kulit hitam itu mau ia beri upah dengan memotongkan
kayu untuknya.
Setelah mengingat bahwa tak ada urusan mendesak pada saat
itu, Profesor Washington
menyatakan kesediaannya. Ia
tersenyum, menggulung lengan baju, dan mulai mengerjakan pekerjaan kasar yang
diminta wanita tadi. Kemudian ia membawa kayu-kayu itu ke dalam rumah dan
meletakkannya di dekat perapian.
Seorang gadis
kecil yang mengenalnya, kemudian mengatakan kepada wanita itu siapa Pak
Washington sebenarnya. Keesokan harinya wanita tadi dengan perasaan malu datang
ke kantor Washington untuk meminta maaf. “Tak apa-apa, Nyonya, saya sangat
senang dapat menolong Anda.” Wanita tadi dengan hangat menjabat tangan
Pak Washington dan mengatakan
bahwa perilaku Washington yang
sangat terpuji itu tertanam dalam hatinya. Tak lama kemudian wanita tadi
menyatakan penghormatannya dengan menyumbang beribu-ribu dolar untuk Institut
Tuskegee.
Ingatlah bahwa mengerjakan sesuatu tanpa pamrih akan membuat
Anda dihormati manusia dan disayangi Allah. Ini merupakan hadiah sejati atas
kerendahan hati. Tak ada pakaian yang lebih pantas bagi kita selain jubah
kerendahan hati.
“Dan barangsiapa
meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan
ditinggikan.” (Matius 23:12)
(Fenchu, sumber: www.rumahrenungan.com
IT’S EASY TO BUILD A HOUSE,BUT NOT HOME
MEMBANGUN rumah itu mudah. Yang sulit adalah membangun rumah
tangga. Ungkapan ini rasanya selalu saja aktual dan mengajak kita untuk selalu
mawas diri,melakukan evaluasi kondisi dan perkembangan rumah tangga kita.
Sosok seorang ayah atau ibu,misalnya,andaikan meninggal
dunia tak akan terpengaruh. Namun, mesti disadari, ayah dan ibu adalah dunia
bagi anak-anaknya.Mimpi-mimpi dan harapan masa depan anak-anak sangat
dipengaruhi dan dikondisikan oleh orang tua mereka. Banyak orang tua sibuk bekerja dari pagi sampai
malam dengan alasan demi anak dan keluarga.
Mereka
berusaha mengejar dan mengumpulkan uang demi anak. Namun benarkah semakin
banyak uang terkumpul semakin terpenuhi dan terpuaskan kebutuhan anak dan
keluarga di rumah? Yang terjadi kadang sebaliknya.Ketika orang tua,khususnya
seorang ayah atau suami,tidak mengenal waktu dalam mencari uang, ternyata
anak-anak semakin merasa jauh dari ayahnya.Waktu yang mesti digunakan untuk
bercengkerama bersama keluarga di rumah telah terampas untuk bekerja di luar
sehingga dalih siang-malam bekerja demi anak, tidak lagi valid.
Hasil
penelitian psikologi sosial menunjukkan, seorang pemimpin yang sukses tidak
cukup hanya diukur dengan penampilannya yang bagus dan meyakinkan di luar
rumah, melainkan pula harus dilihat kepemimpinannya dalam rumah tangga. Di
dalam kehidupan rumah tangga itulah keaslian karakter seseorang akan terlihat.
Kata psikolog,yang lebih mengetahui karakter seseorang adalah orang-orang
terdekatnya, terutama anak dan pasangan hidupnya.
Bagaimana
perilaku dan tutur katanya, bagaimana diamnya, bagaimana makannya dan sekian
aspek lain yang spontan dan polos,di situlah akan ketahuan karakter seseorang
yang asli. Ada teori lain, kalau ingin tahu karakter seseorang, perhatikan saja
bagaimana orang itu memperlakukan pembantu rumah tangga dan sopirnya. Dari
mulut sopir sering kali muncul penilaian dan pengalaman yang jujur tentang
atasannya. Saya sendiri sering kaget mendengar komentar sopir tentang bosnya.
Misalnya saja senang membentak- bentak,pelit bilang “terima
kasih” dan seakan pantangan berkata “mintamaaf”kepadasopirnya. Karena
penampilan di luar rumah selalu menggunakan “topeng” agar tampak baik dan manis
di depan umum, padahal itu dilakukan untuk menutupi bopeng-bopengnya, tidak
aneh kalau tiba-tiba ada berita rumah tangganya berantakan.
Muncul berita anak seorang pejabat tinggi terlibat
penggunaan narkoba, terlibat manipulasi uang, dan sekian tindakan negatif yang
di luar dugaan masyarakat. Sekarang ini beban dan tantangan membina rumah
tangga semakin berat dibandingkan dengan generasi orang tua kita. Masyarakat
kian konsumtif. Berapa pun penghasilan seseorang akan selalu dirasa kurang
begitu masuk mal atau showroom mobil.
Pasangan suami-istri sekarang memang lebih menikmati
kebebasan untuk mengembangkan karier masingmasing. Namun itu semua bukannya
gratis. Ongkos sosialnya kadang kala amat tinggi.Waktu berkumpul bersama
anak-anak menjadi kurang.Belum lagi ketika tiap anggota keluarga pulang ke
rumah membawa beban dan problem, lalu tidak ada forum yang kondusif untuk
saling berbagi membantu mencari solusi. Sampaidirumahmasing-masing masuk gua.
Menutup kamar dan menyendiri.Teman setianya adalah komputer
atau telepon. Secara fisik mereka berdekatan, tetapi tidak terjadi dialog.
Justru orang yang jauh secara fisik adakalanya menjadi dekat melalui komunikasi
telepon.Fenomena ini semakin jamak terjadi.Akhirnya, orang tua semakin tidak
mengenal anak-anaknya dan anak-anak memandang orang tua tak lebih sebagai ATM
atau bendaharanya.
Demikianlah, membangun rumah tangga ternyata jauh lebih
berat ketimbang membangun rumah tempat tinggal. Salah satu ukuran rumah tangga
yang baik adalah yang dari situ muncul generasi unggul yang siap menjunjung
tinggi martabat orang tua dan bangsanya. Rumah tangga yang sukses adalah yang
memberikan inspirasi serta keteladanan bagi keluarga besarnya dan
lingkungannya.
Jadi, orang tua yang sukses tidak ada sekolahnya.Seseorang
harus selalu belajar dari kehidupan untuk selalu mengurangi dan memperbaiki
kesalahannya. Sampai kapan pun kita dituntut untuk selalu belajar dan belajar.
Kita belajar memegang janji dan menghargai pasangan hidup.Satu hal yang pasti,
mengkhianati teman dekat saja sudah amat tercela, apalagi mengkhianati pasangan
hidup yang diikat dengan nama Tuhan.(*)
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
BAHAGIA DENGAN HAL-HAL SEPELE
Seorang kawan lama tiba-tiba datang ke rumah, pada sore yang
berhias langit jernih. Mengenakan pakaian kausal dan bercelana pendek, senyumnya
masih selebar dulu. Yang berubah, body-nya tak seindah dulu lagi; lemak
mengendap di balik lapisan kulit dan perutnya. Saya tidak bisa memastikan
sebabnya. Mungkin karena kecintaannya pada kuliner yang memang dahsyat. Tapi
barangkali karena kemakmuran…
Setelah larut dalam nostalgia yang bertabur tawa renyah,
tiba tiba dia mengeluh, “Sobat, hidupku sudah tidak berguna lagi…”
Saya tertegun. Kalau menyimak caranya berkelakar dan peningkatan signifikan pada taraf kemakmurannya, semua terlihat baik-baik saja. Tapi memang ada satu hal yang selalu ditakutinya. Jawabannya datang tidak lama.
Saya tertegun. Kalau menyimak caranya berkelakar dan peningkatan signifikan pada taraf kemakmurannya, semua terlihat baik-baik saja. Tapi memang ada satu hal yang selalu ditakutinya. Jawabannya datang tidak lama.
“Aku baru pulang dari Jogja, check up.”
“Lho, bukannya rumah sakit diJakarta
lebih Ok?” ujar saya bingung.
“Bukan check up di rumah sakit, tapi di angkringan,” jawab beliau pendek.
“Lho, bukannya rumah sakit di
“Bukan check up di rumah sakit, tapi di angkringan,” jawab beliau pendek.
Angkringan, adalah warung makan kelas ekonomi khas Jogjakarta .
Bertebaran hampir di seluruh pinggir jalan, ujung gang, dan sudut-sudut gelap
seantero kota budaya itu,
angkringan menyajikan menu khas: ceker bakar dan nasi kucing. Disebut begitu
karena materinya cuma sekepal nasi dengan lauk sambal teri, tumis tempe ,
atau bakmi goreng yang dibungkus daun pisang. Mirip menu buat si meong.
Lebih eksotis lagi jika sebungkus nasi kucing itu disantap
dengan lauk ceker ayam potong yang dibacem. Sebelum menjadi lawan nasi, ceker bacem nan legit itu dibakar dulu di
atas tungku arang. Bunyi gemeretak dan aroma lemak hangus yang menguar
memang sangat mengundang selera.
Kawan kita ini, dulu sewaktu masih menjadi reporter sebuah digest Islami, adalah pemuja angkringan. “Aku sudah berkeliling Nusantara dan selalu mencicipi makanan terbaik yang ada di setiapkota .
Tapi ceker bakar angkringan Jogja tetap yang nomor satu!” Demikian ia
memproklamasikan konklusi kulinernya. So? “Aku tidak bisa merasakan kelezatan ceker bakar seperti dulu lagi,”
ia bergumam sedih.
Kawan kita ini, dulu sewaktu masih menjadi reporter sebuah digest Islami, adalah pemuja angkringan. “Aku sudah berkeliling Nusantara dan selalu mencicipi makanan terbaik yang ada di setiap
Jamaah Taushiyah Online yang dimuliakan Allah…
Apakah
sebenarnya yang kita cari di dunia ini? Sejak lepas subuh hingga jelang maghrib
(bahkan lebih banyak lagi yang membutuhkan waktu hingga jauh melewati isya)
dalam barisan manakah kita berada? Alih-alih berada di barisan “para pencari
Tuhan”, sebagian besar, bahkan hampir semua dari kita bergegap gempita dalam
dalam barisan “para pencari dunia”. Saya tidak malu mengakuinya.
Hari demi
hari berlalu, dan kesibukan memburu rizki duniawi itu seolah tidak berjeda.
Lalu apa yang kita dapat? Mari kita telisik lagi rekam jejak perjalanan hidup
kita. Saya memastikan, di masa lalu kita begitu banyak hal-hal sepele yang
mampu menghadirkan kebahagiaan tak terkira. Anda yang berasal dari dusun yang
murni, masihkah bisa merasakan bahagianya berenang-renang di sungai yang airnya
berkilau jernih? Ingatkah kita bahwa belajar naik sepeda dan menerbangkan
layang-layang pada masa kecil dulu demikian berharga sehingga kalau mungkin, 24
jam kita habiskan saja untuk kesenangan yang bentuknya sangat sederhana itu.
Bahkan, waktu itu saya mau menukar apa saja seluruh isi dunia ini dengan waktu
berenang di kali, naik sepeda, dan menerbangkan layangan.
Lalu mari
kita uji, apakah hal-hal “sepele” itu masih mampu membuat hati kita bahagia?
Apakah perubahan karir, kedudukan, taraf ekonomi, pergaulan, dan semua yang
dengan susah payah kita perjuangkan mati-matian ini bisa menghadirkan
kebahagiaan serupa?
Sahabat saya yang lain baru pulang dari penjelajahan singkat
di Borneo . Dia bercerita dengan sangat geram tentang tentang eksploitasi alam yang
“gila-gilaan” dan benar-benar menghancurkan keseimbangan alam. Apa yang diburu
mahluk Allah yang cerdas ini dengan menghancurkan mahluk lain yang mestinya
dikelolanya dengan bijak sebagai khalifatullah?
Saya jadi teringat seorang preman yang biasa mangkal di
kawasan Senen. Di dunianya yang keras, entah berapa kali peristiwa mengerikan
menimpanya. Itu bukan omong kosong; dia akan dengan senang hati berkisah
tentang sebab pitak-pitak di kepalanya yang permanen: “Dulu, waktu musim petrus
(penembak misterius), aku ditangkap sekelompok orang bersenjata. Aku melawan,
dan kepalaku dihujani bayonet. Jadinya ya pitak-pitak begini.”
“Abang hebat ya…, belajar kesaktian di mana?”
“Oh, Dik, Abang bukan sakti, Cuma beruntung saja tidak mati-mati. Tak usah belajar macam-macam pun, manusia seperti kita ini memang dibekali kesaktian yang tiada tandingan. Coba Adik pikir, jangankan sepiring nasi, bahkan gunung pun sanggup kita telan bukan?” ujar Sang Preman berfilsafat.
Ucapan dia itu menjustifikasi sabda Rasulullah betapa keserakahan manusia nyaris tidak ada batasnya, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang dipenuhi harta kekayaan, dia pasti menginginkan lembah yang ketiga” (HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas).
“Oh, Dik, Abang bukan sakti, Cuma beruntung saja tidak mati-mati. Tak usah belajar macam-macam pun, manusia seperti kita ini memang dibekali kesaktian yang tiada tandingan. Coba Adik pikir, jangankan sepiring nasi, bahkan gunung pun sanggup kita telan bukan?” ujar Sang Preman berfilsafat.
Ucapan dia itu menjustifikasi sabda Rasulullah betapa keserakahan manusia nyaris tidak ada batasnya, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang dipenuhi harta kekayaan, dia pasti menginginkan lembah yang ketiga” (HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas).
Mengapa
tidak berbatas? Sebab keserakahan itu adiktif. Sedangkan ciri khas kecanduan
adalah kebutuhan akan dosis yang lebih besar lagi, lagi, lagi… Kalau kita sudah
terbiasa menyantap hutan, gunung, dan meminum samudera raya. Jangan harap bisa
terpuaskan oleh sepotong cakar ayam dan segelas teh jahe hangat dalam suasana
egaliter.
Makanya,
Tuhan kita mewajibkan ummatNya menjalani simulasi perang melawan keserakahan
selama satu bulan penuh setiap tahun. Kita diwajibkan merasakan kembali
kelaparan sepanjang hari dan betapa nikmat makanan paling sederhana kala
berbuka puasa. Kita diingatkan pada kodrat kita dengan timbulnya gejala
psikologis saat berpuasa yang saya namakan saja “sindrom menelan gunung”.
Mari kita
uji diri kita sendiri (dan tidak usah malu melakukan hal ini, karena hanya Anda
dan Tuhan yang tahu). Di tengah sengatan terik mentari, didera lapar dan dahaga
di tengah waktu berpuasa, bayangkan jenis dan berapa banyak makanan enak dan
minuman menyegarkan yang menurut kata hati Anda sanggup kita telan? Cukupkah
segelas teh hangat dan sebutir kurma memuaskan dahaga dan lapar kita?
Kemudian,
mari kita buka daftar belanja buka puasa kita, terutama di awal-awal Ramadan.
Sebagai appetizer, biasanya ada kolak pisang dan pacar cina (yang ekonominya
lebih mapan boleh memilih puding aneka rasa), dan masih banyak ragam penganan
lainnya. Menu utamanya jangan sayur lodeh yang sudah biasa dong, karena ini
bulan istimewa, aneka masakan istimewa pun tentunya ingin kita hidang.
Desert-nya? Aneka buah-buahan nampaknya menjadi pilihan ketimbang sekadar air
putih yang sebelum ditelan dipakai kumur-kumur dulu.
Tidak heran
kalau disinyalir bahwa memasuki bulan Ramadan ini, kesibukan di pasar lebih
hebat ketimbang di masjid.
So, walau belum ada penelitian sahih mengenai ini, tapi barangkali sesaknya meja makan dengan berbagai makanan dan minuman kala buka puasa di awal Ramadan karena ibu atau istri-istri kita juga terserang “sindrom menelan gunung” itu.
So, walau belum ada penelitian sahih mengenai ini, tapi barangkali sesaknya meja makan dengan berbagai makanan dan minuman kala buka puasa di awal Ramadan karena ibu atau istri-istri kita juga terserang “sindrom menelan gunung” itu.
Lalu apa yang terjadi begitu adzan maghrib berkumandang?
Ternyata, segelas teh hangat (mungkin kolak pisang) dan dua tiga potong kurma
lebih dari cukup untuk meringkas luasnya ruang imajiner dalam lambung akibat
nafsu serakah kita. Sisa hidangan yang melimpah ruah pun mubadzir.
Kita memang mahluk aneh. Disuruh belajar hidup sederhana,
eh.., malah foya-foya. Diminta menikmati rasa lapar dan memperbanyak ibadah,
malah balas dendam di meja makan dan lalai beribadah karena kekenyangan. Apa
boleh buat, keserakahan memang tidak berbatas.
Tapi, kalau kita tidak mau menderita batin seperti kawan
saya yang gelisah karena tidak lagi bisa mensyukuri nikmat Allah paling
sederhana, belajarlah mengendalikan hawa nafsu kita. Hati-hati lho.., kalau
Anda terbiasa rehat sejenak di café, menikmati sajian espresso sambil ngutak
atik PR di laptop, bisa-bisa kopi tubruk buatan istri jadi hambar rasanya.
Kalau Anda terpaksa atau sukarela mengimbangi limpahan rizki
dengan gaya hidup yang juga semakin
berbiaya tinggi, jangan-jangan Anda sedang mendevaluasi nilai kenikmatan yang
diberikan Tuhan. Bukankah udara segar yang semestinya gratis kini harus Anda
bayar mahal karena untuk memperolehnya mesti pergi ke Puncak di akhir pekan?
Bukankah ongkos ke Dufan untuk memenuhi kebutuhan bermain anak-anak kita
sebenarnya bisa kita tekan andai kita bisa mengajari mereka cara membuat dan
menerbangkan layangan?
Maka, ketika kawan kita yang gundah gulana karena tidak bisa
lagi merasakan nikmatnya ceker bakar di warung angkringan Yogyakarta
pamit pulang, saya memberi advis sederhana, “Berpuasalah.” Marhaban yaa
Ramadan.
*) Terimakasih kepada Bapak M Anwar Sani, Direktur Eksekutif
Al Azhar Peduli Ummat.
KISAH NYATA ANAK DURHAKA DARI SINGAPURA
Sebuah Kisah Nyata dari Negeri tetangga Singapura beberapa
dekade lalu yang cukup menghebohkan hingga Perdana Menteri saat itu, Lee Kwan
Yew senior turun tangan dan mengeluarkan dekrit tentang orang lansia di Singapura.
Dikisahkan ada orang
kaya raya di sana mantan Pengusaha
sukses yang mengundurkan diri dari dinia bisnis ketika istrinya meninggal
dunia. Jadilah ia single parent yang
berusaha membesarkan dan mendidik dengan baik anak laki-laki satu-satunya
hingga mampu mandiri dan menjadi seorang Sarjana.
Kemudian setelah anak tunggalnya tersebut
menikah, ia minta ijin kepada ayahnya untuk tinggal bersama di Apartemen
Ayahnya yang mewah dan besar. Dan ayahnya pun dengan senang hati mengijinkan
anak menantunya tinggal bersama-sama dengannya. Terbayang dibenak orangtua
tersebut bahwa apartemen nya yang luas dan mewah tersebut tidak akan sepi,
terlebih jika ia mempunya cucu. Betapa bahagianya hati bapak tersebut bisa
berkumpul dan membagi kebahagiaan dengan anak dan menantunya.
Pada mulanya terjadi komunikasi yang sangat
baik antara Ayah-Anak-Menantu yang membuat Ayahnya yang sangat mencintai anak
tunggalnya itu tersebut tanpa sedikitpun ragu-ragu mewariskankan seluruh harta
kekayaan termasuk apartment yang mereka tinggali, dibaliknamakan ke anaknya itu
melalui Notaris terkenal di sana.
Tahun-tahun berlalu, seperti biasa, masalah
klasik dalam rumah tangga, jika anak menantu tinggal seatap dengan orang tua,
entah sebab mengapa akhirnya pada suatu hari mereka bertengkar hebat yang pada
akhirnya, anaknya tega mengusir sang Ayah keluar dari apartment mereka yang ia
warisi dari Ayahnya.
Karena seluruh hartanya, Apartemen, Saham,
Deposito, Emas dan uang tunai sudah diberikan kepada anaknya, maka mulai hari
itu dia menjadi pengemis di Orchard Rd. Bayangkan, orang kaya mantan pebisnis
yang cukup terkenal di Singapura tersebut, tiba-tiba menjadi pengemis!
Suatu hari, tanpa disengaja melintas mantan
teman bisnisnya dulu dan memberikan sedekah, dia langsung mengenali si ayah ini
dan menanyakan kepadanya, apakah ia teman bisnisnya dulu. Tentu saja, si ayah
malu danmenjawab bukan, mungkin Anda salah orang, katanya. Akan tetapi temannya
curiga dan yakin, bahwa orang tua yang mengemis di Orchad Road itu adalah
temannya yang sudah beberapa lama tidak ada kabar beritanya. Kemudian, temannya
ini mengabarkan hal ini kepada teman-temannya yang lain, dan mereka akhirnya
bersama-sama mendatangi orang tersebut. Semua mantan sahabat karibnya tersebut
langsung yakin bahwa pengemis tua itu adalah Mantan pebisnis kaya yang dulu
mereka kenal.
Dihadapan para sahabatnya, si ayah dengan
menangis tersedu-sedu, menceritakan semua kejadian yang sudah dialaminya. Maka,
terjadilah kegemparan di sana, karena semua orangtua di sana merasa sangat
marah terhadap anak yang sangat tidak bermoral itu.
Kegemparan berita tersebut akhirnya
terdengar sampai ke telinga PM Lee Kwan Yew Senior.
PM Lee sangat marah dan langsung memanggil anak
dan menantu durhaka tersebut. Mereka dimaki-maki dan dimarahi habis-habisan
oleh PM Lee dan PM Lee mengatakan "Sungguh sangat memalukan bahwa di
Singapura ada anak durhaka seperti kalian" .
Lalu PM Lee memanggil sang Notaris dan saat
itu juga surat warisan itu dibatalkan demi hukum! Dan surat warisan yang sudah
baliknama ke atas nama anaknya tersebut disobek-sobek oleh PM Lee. Sehingga
semua harta milik yang sudah diwariskan tersebut kembali ke atas nama Ayahnya,
bahkan sejal saat itu anak menantu itu dilarang masuk ke Apartment ayahnya.
Mr Lee Kwan Yew ini ternyata terkenal sebagai
orang yang sangat berbakti kepada orangtuanya dan menghargai para lanjut usia
(lansia). Sehingga, agar kejadian serupa tidak terulang lagi, Mr Lee
mengeluarkan Kebijakan / Dekrit yaitu "Larangan kepada para orangtua untuk
tidak mengwariskan harta bendanya kepada siapapun sebelum mereka meninggal.
Kemudian, agar para lansia itu tetap dihormati dan dihargai hingga akhir
hayatnya, maka dia buat Kebijakan berupa Dekrit lagi, yaitu agar semua
Perusahaan Negara dan swasta di Singapura memberi pekerjaan kepada para lansia.
Agar para lansia ini tidak tergantung kepada anak menantunya dan mempunyai
penghasilan sendiri dan mereka sangat bangga bisa memberi angpao kepada
cucu-cucunya dari hasil keringat mereka sendiri selama 1 tahun bekerja.
Anda tidak perlu heran jika Anda pergi ke
Toilet di Changi Airport, Mall, Restaurant, Petugas cleaning service adalah
para lansia. Jadi selain para lansia itu juga bahagia karena di usia tua mereka
masih bisa bekerja, juga mereka bisa bersosialisasi dan sehat karena banyak
bergerak. Satu lagi sebagaimana di negeri maju lainnya, PM Lee juga memberikan
pendidikan sosial yang sangat bagus buat anak-anak dan remaja di sana, bahwa
pekerjaan membersihkan toilet, meja makan diresto dsbnya itu bukan pekerjaan
hina, sehingga anak-anak tsb dari kecil diajarkan untuk tahu menghargai orang
yang lebih tua, siapapun mereka dan apapun profesinya.
Sebaliknya, Anak di sana dididik menjadi bijak
dan terus memelihara rasa hormat dan sayang kepada orangtuanya, apapun kondisi
orangtuanya.
Meskipun orangtua mereka sudah tidak sanggup
duduk atau berdiri,atau mungkin sudah selamanya terbaring diatas tempat tidur,
mereka harus tetap menghormatinya dengan cara merawatnya.
Mereka, warganegara Singapura seolah
diingatkan oleh PM Lee agar selalu mengenang saat mereka masih balita, orangtua
merekalah yang membersihkan tubuh mereka dari semua bentuk kotoran, juga yang
memberi makan dan kadang menyuapinya dengan tangan mereka sendiri, dan
menggendongnya kala mereka menangis meski dini hari dan merawatnya ketika
mereka sakit.
Bagaimana dengan Indonesia ?
“Homo Desiderare”-Tentang Hasrat, Sinar Harapan
Oleh Jose Marwan
Setiap detik, iklan-iklan di
media cetak, elektronik dan internet, membombardir limitasi kebutuhan kita. Apa
yang disebut “cukup” ditarik ke wilayah ekstrem sampai titik “puas”. Realitas,
dalam iklan, disulap menjadi hiper-realitas, yang terkesan mengada-ada,
imajinatif, yang memuaskan hasrat.
Apalagi bulan-bulan ini, kita
dikelilingi oleh baliho dan suguhan iklan politik, yang semuanya memancarkan
hasrat akan kuasa. Tak bisa ingkar, kita sekarang hidup di ruang yang memuja
hasrat. Kisah manusia-manusia agung dan bijaksana yang digerakkan akal budinya
(Homo Sapiens), sekarang telah banyak berubah menjadi manusia-manusia bebas
yang digerakkan hasratnya (Homo Desiderare).
Dalam berbagai mitologi Yunani kuno, hasrat ini
terbentuk dari dua lapisan, karnal dan libidinal (Alfatari Alin, 2006:95).
Karnal adalah hasrat tubuh yang sifatnya materi, sementara libidinal adalah
hasrat tubuh yang sifatnya non-materi. Misalnya, secara karnal saya
menghasratkan sebuah HP model terbaru, agar secara libidinal saya memiliki
kepercayaan diri ketika menentengnya di depan teman-teman.
Di era bangkitnya dominasi hasrat, manusia
dianggap, semata-mata, makhluk yang dipenuhi, bahkan terbentuk dari hasrat.
Jacques Lacan, pemikir terkenal di awal era posmodernisme ini, misalnya
mengatakan kalau ego kita dibentuk oleh hasrat. Dengan demikian, kita tidak
mungkin lepas dari hasrat, justru kitalah yang terkurung dalam hasrat. Deleuze
& Guattari juga merangkumkan manusia sebagai “Desire Machine” (1999:28)
yang kita terima sejak lahir ke dunia ini. Agama, negara dan keluarga, adalah
tiga institusi yang selama ini memenjarakan hasrat. Karena itu, pengikut aliran
ini memproklamasikan diri untuk menjadi atheist, anarchist dan orphan.
Sadar atau tidak, manusia nyatanya
terapung-apung di antara dua pulau yang bernama kehendak Tuhan (Will) dan
hasrat diri (Desire). Mana yang dipilih, mana yang diutamakan? Agama memberi
koridor, hasrat itu dosa, mengikutinya akan celaka. Manusia-manusia
dunia berpikir lain, hasrat itu nikmat, mengikutinya membuat hidup terasa
menyenangkan. Atau pada sintesis yang membahayakan, banyak manusia beragama
yang motivasinya untuk memenuhi hasratnya sendiri, dengan mengatasnamakan
kehendak Tuhan.
Di sini, bukan lagi Tuhan yang
menciptakan kita, tetapi kita yang menciptakan Tuhan, seperti hasrat kita.
Sikap inilah yang dikecam Yesus, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti
kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya,
tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.”
(Matius 23:27)
Tak Lekat
Meister Echart, mistikus Kristen
terbesar di abad pertengahan, barangkali bisa memberi cahaya pada persoalan
ini. Ia mengatakan kalau kita harus mengosongkan diri dari hasrat. Manusia
harus meniadakan hasratnya (Desire), dan dengan demikian, memberi ruang kosong
kepada Tuhan untuk berkehendak (Will). Jika jiwa manusia sudah penuh dengan
hasratnya sendiri, Tuhan tak mungkin tinggal di sana .
“Kosongkan dirimu, maka kamu akan dipenuhi,” demikian Echart, mengutip
Agustinus dari Hippo. Echart selanjutnya mengatakan, “Bila Tuhan diharapkan
masuk, maka makhluk harus keluar.”
Dasar biblis pokok ajaran Echart,
bersumber pada Matius 21:12 yang
mengisahkan tindakan Yesus menyucikan Bait Allah. Dalam perikop itu diceritakan
bagaimana Yesus dengan sangat marah (simbolisasi kehendak-Nya yang sangat
tinggi) mengusir pada pedagang yang berjual-beli di Kenisah Allah. Yesus
membalikkan meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati sembari
berkata, “Rumahku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang
penyamun.”
Bagi Echart, kenisah Allah adalah
simbol mistik jiwa manusia. Jiwa kita ini harus dibersihkan dari hasrat
“berdagang”, hasrat “berjual-beli”, hasrat “mencari untung semata”, hasrat
“barter”, dengan Tuhan. Jika jiwa kita ini dipenuhi dengan merkantilisme
rohani, maka Tuhan tak ubahnya biro jasa asuransi yang akan melindungi kerugian
karena “tindakan derma” kita, atau biro perbankan yang akan memberi bunga jasa
ketika kita sudah “menabung perbuatan baik”. Banyak orang baik dalam agama,
yang berdoa, berpuasa, membantu sesama, tetapi ujungnya melakukan lobi kepada
Tuhan agar Dia memenuhi hasrat tersembunyi kita seperti rasa aman, berkat,
pahala dan surga. “Sebagai pedagang, mereka berbuat seperti dalam ungkapan, quid pro quo, yang penuh semangat
duniawi. Sebagai bentuk ketaatan mereka, para pedagang menginginkan dan
mengharapkan imbalan dari Tuhan.” (Syafa’atun, 2009:183). Dengan cara demikian,
mereka melakukan tawar-menawar dengan Tuhan.
Maka, semangat hidup yang
dianjurkan Echart adalah sikap tak lekat dengan hasrat (abegescheidenheit).
Orang harus hidup tanpa alasan “mengapa”, seperti bunga mawar yang mekar di
kebun, ia mekar bukan karena ingin dilihat dan dipuji orang, ia mekar begitu
saja. Sama dengan kisah “Burung Berkicau” Anthony de Mello SJ, kenapa burung
berkicau, karena ia ingin berkicau, bukan karena ingin didengar dan dipuji
orang. Hidup dalam wilayah ketiadaan hasrat, ibarat sebuah kenisah kosong tanpa
pedagang di dalamnya, dan rumah ini adalah rumah yang nyaman untuk berdoa,
sebab Tuhan menjadi Tuhan dan manusia menjadi manusia, bukan sebaliknya.
Lebih Berharga dari Batu Permata
Dalam kerohanian Kristen,
pemenuhan hasrat diri tidak mendapat tempat. Ketika motivasi para murid Yesus
mulai bergeser, setelah melihat popularitas Yesus, dan seolah-olah mereka
memimpikan akan menjadi orang penting dalam kerajaan yang akan didirikan-Nya,
maka dengan sangat keras Ia mengatakan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia
harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Matius 16:24).
Bukan jabatan, kuasa, berkat berlimpah, tapi salib sebagai simbol penyangkalan
hasrat diri, itulah yang akan diterima bagi siapa saja yang ikut Yesus.
Pernyataan ini sangat keras! Dan
ketika para murid belum juga paham dengan apa yang dimaksud Yesus, mereka telah
melihat Sang Guru memberi contoh sendiri apa itu penyangkalan hasrat diri,
dengan tergantung di salib. “….tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki,
melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Matius 26:39). Praktik keras
penyangkalan diri ini kemudian diteruskan oleh para rahib dan biarawan, yang
menjalani kehidupannya dengan tindakan agere contra, suatu sikap penolakan
terhadap segala hasrat diri. Orang-orang ini melakukan apa yang tidak mereka
hasratkan, dan tidak melakukan apa yang mereka hasratkan.
Dalam suatu kisah, setelah Perang
Badr, perang terbesar dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad mengatakan, “Kita
sekarang akan menghadapi perang yang lebih besar lagi.” Maka para sahabatnya
heran, perang apa lagi yang lebih besar dari Perang Badr? “Perang melawan
hasrat diri sendiri. Itulah jihad terbesar,” kata Nabi. Kisah indah lainnya
adalah apa yang diceritakan tentang Ali, prajurit dan khalifah Islam yang
agung. Sebagai pemimpin pasukan muslim, Ali harus berhadapan langsung dengan
musuh. Dalam sebuah pertempuran, Ali menjatuhkan lawannya. Dia melompat ke dada
musuhnya, mengangkat pedangnya. Tapi,
tiba-tiba Ali tidak jadi membunuh musuh itu, ia pergi menjauh. Maka pasukannya
bertanya kepadanya, “Mengapa Anda tidak membunuhnya?” Jawab Ali, “Karena orang
itu meludahi saya, dan saya jadi marah. Kalau saya membunuh dia karena marah,
berarti bukan karena Islam.”
Begitulah, seseorang yang
berhasrat untuk berkuasa, harus memulainya dengan menguasai dirinya sendiri.
Seseorang yang merdeka, bukan yang melampiaskan hasratnya tapi yang meniadakan
hasratnya. Coba kita renungkan kisah ini: Ada
seorang wanita bijak yang tengah melakukan perjalanan di pegunungan menemukan
sebuah batu berharga di sebuah sungai kecil, dan ditaruhnya batu itu ke dalam
tas. Hari berikutnya, wanita itu berjumpa dengan seorang pengelana lainnya yang
sedang kelaparan. Wanita bijak itu membuka tasnya untuk membagikan makanannya.
Si pengelana yang kelaparan melihat batu berharga itu dan memintanya dari
wanita bijak itu. Wanita bijak
itu memberikannya tanpa ragu-ragu. Si pengelana itu berlalu, merasa gembira
dengan keberuntungannya. Dia tahu bahwa batu berharga itu cukup bernilai untuk
memberinya rasa aman seumur hidupnya.
Tapi, beberapa hari kemudian, si pengelana itu
datang lagi untuk mengembalikan batu tersebut kepada si wanita bijak. “Saya
telah berpikir,” demikian kata lelaki pengelana, “Saya tahu betapa bernilainya
batu ini, tetapi saya mengembalikannya dengan harapan bahwa Anda bisa memberi
saya sesuatu yang jauh lebih berharga. Berikanlah apa yang Anda miliki dalam
diri Anda yang membuat Anda mampu memberikan batu ini kepada saya.”
Hidup tak lekat, lepas bebas,
kosong, meniadakan hasrat kuasa dan memiliki, jauh lebih berharga dari “batu
permata”.
Penulis adalah penikmat
spiritualitas.
SOKRATES DI PASAR
Sokrates, seorang filsuf sejati, yakin bahwa orang yang
bijaksana dengan sendirinya akan hidup sederhana. Ia sendiri
tidak memakai sepatu; namun ia terus-menerus tertarik oleh
keramaian pasar dan sering pergi kesana
untuk melihat
segala macam barang yang dipertontonkan.
Ketika salah seorang kawannya bertanya mengapa demikian,
Sokrates berkata, "Saya senang pergi kesana
untuk
mengetahui berapa banyak barang yang meskipun tidak
memilikinya, saya tetap gembira."
Socrates mengajarkan, hidup batin adalah tidak mengetahui apa yang engkau
kehendaki tetapi memahami yang tidak engkau butuhkan.
bijaksana dengan sendirinya akan hidup sederhana. Ia sendiri
tidak memakai sepatu; namun ia terus-menerus tertarik oleh
keramaian pasar dan sering pergi ke
segala macam barang yang dipertontonkan.
Ketika salah seorang kawannya bertanya mengapa demikian,
Sokrates berkata, "Saya senang pergi ke
mengetahui berapa banyak barang yang meskipun tidak
memilikinya, saya tetap gembira."
Socrates mengajarkan, hidup batin adalah tidak mengetahui apa yang engkau
kehendaki tetapi memahami yang tidak engkau butuhkan.
Pengalaman Penderitaan, Albertus Patty, Sinar Harapan*
Penderitaan? Tidak seorang pun menginginkannya! Orang bahkan
rela melakukan apa pun demi menghindarinya. Tetapi, ini celakanya, penderitaan
adalah bagian dari proses perjalanan hidup kita manusia.
Penderitaan menyerang kita dari segala arah dan dari segala
situasi. Penderitaan bisa muncul dari mana saja. Ada
yang muncul karena bencana alam. Ada
yang berasal dari kejahatan atau kelengahan orang lain. Ada yang menderita karena diserang virus atau
binatang tertentu, dan ada juga penderitaan yang muncul karena diri sendiri.
Bentuk penderitaan pun beraneka ragam. Ada
yang berupa sakit penyakit, tabrakan, dipecat dari pekerjaan, putus cinta,
konflik keluarga, gagal dalam karier, kemiskinan, atau bahkan karena
kekayaannya.
Orang miskin menderita kecemasan karena
ketiadaan makanan, sementara banyak orang kaya menderita kepanikan ketika tahu
harga saham anjlok. Jadi, kita semua pasti pernah mengalaminya.
Seorang ibu jatuh sakit sampai harus
mendapatkan perawatan di rumah sakit. Penyebabnya ia cemas terhadap keselamatan
anaknya yang kuliah di luar negeri. Ibu yang lain, kena serangan jantung dan
darah tinggi karena anaknya tidak mau sekolah di mana-mana.
Seorang teman saya menderita stres berat
ketika dokter, yang kepadanya dia berkonsultasi, mengatakan bahwa kemungkinan
besar dia terkena kanker. Dia sulit makan dan minum sampai beberapa hari. Berat
tubuhnya berkurang drastis.
Dia makin menderita ketika kelurganya ikut
stres dan menangis terus seolah dia sudah pasti mati. Ketika akhirnya dia
memutuskan ke dokter lain untuk mendapatkan second opinion, ternyata dia
dinyatakan terkena penyakit lain, yang relatif lebih ringan, dan bukan kanker!
Stresnya pun lenyap. Penderitaannya jauh berkurang. Dia sudah bisa makan dan
minum seperti biasa!
Penderitaan itu menakutkan. Oleh karena itu,
orang sering menggunakan segala cara untuk menghindarinya. Alasan para koruptor
mengorupsi uang rakyat mungkin bukan terutama karena mau menjadi kaya, tetapi
karena takut miskin.
Alasan lain
mungkin takut menderita karena tidak mampu membeli barang yang dikehendakinya.
Memang, kehendak adalah salah satu sumber penderitaan.
Jangan Menghakimi
Ketika Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya
bahwa Dia harus menanggung banyak penderitaan dan bahkan dibunuh, Petrus
menarik Yesus ke samping dan menegur-Nya. Petrus tidak bisa menerima kenyataan
bahwa Yesus harus menderita.
Bagi Petrus, dan
bagi banyak orang lainnya, penderitaan sering dianggap sebagai kutukan dari
Allah. Paradigma seperti Petrus ini membuat orang cenderung menghakimi orang
lain yang dirundung penderitaan ketimbang menolongnya.
Hal seperti itu pernah terjadi ketika tsunami
melanda Aceh. Saat itu banyak orang yang melihat tsunami sebagai ekspresi
kemarahan Allah kepada orang Aceh yang dianggap berlumuran dosa. Sebagai
pengganti menolong masyarakat Aceh yang menderita, orang-orang ini justru
menghakimi orang Aceh yang jadi korban tsunami.
Yesus balik menegur Petrus dengan sangat keras
(Markus 8:33). Melalui teguran-Nya, Yesus membuka perspektif baru yaitu bahwa
jangan terlalu mudah menilai penderitaan sesama sebagai wujud kutukan Allah.
Sebaliknya, bagi Yesus penderitaan justru
diizinkan Allah untuk suatu tujuan tertentu yang Allah rencanakan dan
kehendaki. Oleh karena itu, penderitaan bukanlah untuk diratapi.
Orang yang
menderita tidak lagi harus dihakimi atau dikutuki. Lebih baik mulai membangun
pendekatan yang lebih manusiawi terhadap mereka yang menderita dengan cara
membangun solidaritas dan bela rasa terhadap mereka. Orang yang menderita lebih
membutuhkan cinta daripada penghakiman!
Malah Mensyukuri
Pertanyaan yang paling penting adalah: apa
sikap yang sebaiknya dipilih ketika penderitaan itu menghampiri Anda?
Belum lama berselang, seorang rekan terserang
stroke cukup berat sehingga membuatnya sulit berjalan. Ia cukup menderita,
tetapi ia menolak untuk mengeluh apalagi putus asa, dan yang terpenting ia
tidak pernah mau menyalahkan Tuhan untuk penyakitnya itu.
Dia memilih untuk tidak percaya terhadap
mereka yang menganggap penderitaannya sebagai kutukan Tuhan. Baginya, Tuhan
terlalu baik untuk mengutuk atau menghukum umat-Nya yang bersalah!
Itulah sebabnya,
sebagai pengganti menyalahkan Tuhan, ia bisa berdoa kepada Tuhan memohon kekuatan-Nya
untuk menghadapi penderitaannya. Penderitaannya terasa menjadi ringan. Ia
menerimanya dengan hati lapang. Hatinya dipenuhi dengan sukacita.
Dalam segala keterbatasannya, ia bisa terus
berkarya, menjadi berkat dan tak henti-hentinya memuliakan Tuhan. Ternyata
penderitaan tidak lagi dilihat sebagai kutukan Tuhan, tetapi justru menjadi
arena tenpat Tuhan menunjukkan kasih-Nya. Amin!
*Penulis melayani sebagai pendeta di GKI Maulana Yusuf, Bandung .
KATA-KATA BIJAK
Hidup kita
terlalu berharga...,oleh sebab itu:"Make Your Self Have a Meaning for
Others!!"Pemenang kehidupan adalah org yang tetap sejuk di tempat yg
panas, yg tetap manis di tempat yg sangat pahit, yg tetap merasa kecil meskipun
telah menjadi besar dan yg tetap tenang di tengah badai yg paling hebat.(Hope
everyday.. I will do the best for everyone....(Maria Bandu, Fb 1 Maret
2011)
Anda tidak dapat
membangun reputasi pada apa yang akan Anda lakukan.
HENRY FORD (1863 - 1947), industrialis
automotif AS
Integritas sejati adalah melakukan sesuatu hal yang benar,
tanpa peduli orang lain mengetahuinya atau tidak. OPRAH WINFREY Pembawa acara
talkshow asal Amerika Serikat (1954 – )
Sebuah tujuan tanpa perencanaan
hanya akan menjadi harapan.
ANTOINE DE SAINT-EXUPERY (1900–1944) Penulis asal Prancis
Tentu tidak ada formula sukses, kecuali menerima hidup
secara tak bersyarat dan segala sesuatu yang didatangkannya. ARTHUR RUBINSTEIN
(1886–1982) Komposer dan Pianis AS
Saya tidak pernah mengajari murid-murid saya, saya hanya
mencoba untuk menyediakan suasana di mana mereka bisa belajar. ALBERT EINSTEIN
(1879–1955) Ilmuwan Fisika Kelahiran Jerman
Kepuasan membuat orang miskin jadi kaya, ketidakpuasan
membuat orang-orang kaya jadi miskin. BENJAMIN FRANKLIN Penulis dan Tokoh
Revolusi AS (1706 - 1790)
Duduk dan tulislah apa yang kamu pikirkan, buka diri untuk
memikirkan apa yang harus kamu tulis.WILLIAM COBBETT (1763–1835), jurnalis
Inggris
Kurangilah rasa ingin tahu Anda tentang orang, perbanyaklah
rasa ingin tahu tentang ide, gagasan, dan pemikiran. Marie Curie (1867-1934),
fisikawan asal Prancis.
Setiap
orang bisa mengkritik, mengecam, dan mengeluh. Tapi hanya orang berkarakter yang bisa mengontrol
diri untuk memahami dan memaafkan.” Dale Carnegie (1888–1955), penulis
dan pengajar asal Amerika Serikat
“Jika kau hanya
melakukan apa yang kau tahu bisa kau kerjakan, kau tidak akan bisa berbuat
lebih.” Tom Krause (1934), motivator, guru, dan pelatih
”Janganlah takut pada masa depan, jangan pula menangis untuk
masa lalu.” Percy Bysshe Shelley (1792–1822), pujangga Inggris
“Pengembangan diri
adalah nama permainan; tujuan utama Anda adalah menguatkan diri, bukan
menghancurkan lawan.” Maxwell Maltz (1927–2003), motivator dan ahli bedah
plastik asal Amerika Serikat
”Lebih baik
dibenci karena apa yang Anda miliki daripada disukai atas sesuatu yang tidak
Anda punyai.” Andre Gide (1869–1951), penulis dan humanis Prancis, peraih Nobel
Sastra 1947
“Seni kepemimpinan adalah mengatakan tidak, bukan berkata ya. Terlalu
mudah kalau hanya mengatakan ya.” Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris
“Manusia cenderung
melupakan kewajibannya daripada haknya”
Indira Gandhi (1917-1984), Perdana Menteri India
"Allah yang membagi rejeki untuk siapa saja yang
dikehendaki-Nya dan mengatur ukurannya. Dan mereka merasa puas dengan kehidupan
dunia, padahal kehidupan dunia dibanding kehidupan akhirat hanyalah sebuah
permainan." (QS Al-Ra'du 26)
Aib terbesar adalah ketika kamu lebih mementingkan kehidupan
ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah
kehilangan prinsip-prinsip kehidupan~decimus junius juvenalis
KHALIFAH - Umar bin Abdul Aziz pernah menangis dan berkata,
Ketahuilah, umur dunia hanya sedikit. Kemuliaan didalamnya adalah kehinaan.
Pemudanya akan menjadi renta, dan yang hidup didalamnya akan mati. Celakalah
yang tertipu olehnya. Berapa banyak orang yang dulunya mulia, setelah beberapa
lama didalam kubur kini wajahnya hancur. anggota badannya tercerai berai. Mulut
mereka belepotan dengan darah dan nanah. Binatang-binatang tanah mengerubuti
jasad mereka, sehingga satu per satu anggota tubuh terlepas. Hingga akhirnya
tak tersisa, kecuali hanya sebagian kecil saja. Mereka telah meninggalkan
istananya. Berpindah dari tempat lapang ke lubang yang sempit. Sesudah itu,
istri-istri mereka dinikahi orang lain. Anak-anaknya pun berkeliaran dijalan.
Harta bendanya dibagi-bagi oleh ahli warisnya.
Dulu, di dunia mereka
berada di tengah-tengah keluarga yang mengelilinginya. Diatas kasur yang empuk
dan pembantu yang setia. Keluarga yang memuliakan dan kekasih yang
menyertainya. Tetapi ketika semuanya
berlalu dan maut datang memanggil, lihatlah betapa dekat kuburan dengan tempat
tinggalnya. Tanyakan kepada orang kaya, apa yang tersisa dari kekayaannya?
Tanyakan pula kepada orang fakir, apa yang tersisa dari kefakirannya?
Rabu, 14 Maret 2012
Turki dan Minoritas Nonmuslim
Bulent Arinc, WAKIL PERDANA MENTERI TURKI
SUMBER : KORAN TEMPO, 12 Maret 2012
Setelah puluhan tahun telantar, pemerintah Turki mengambil beberapa langkah untuk menjamin hak minoritas agama nonmuslim di negeri itu. Dengan demikian, ada jaminan rule of law berlaku sama bagi semua warga Turki, tanpa memandang agama, etnisitas, atau bahasa seseorang.
Minoritas agama di Turki meliputi berbagai denominasi, termasuk Yunani Ortodoks, Armenia, Asiria, Kaldani, dan denominasi-denominasi Kristen lainnya, serta Yahudi, yang semuanya merupakan bagian integral masyarakat Turki. Sebagai bagian dari prakarsa baru pemerintah Turki untuk mengakhiri diskriminasi apa pun terhadap minoritas-minoritas nonmuslim ini, Presiden Abdullah Gul telah menekankan langkah-langkah ini dengan menerima kunjungan Bartholemew, Uskup Ortodoks Yunani di Istanbul, dan dengan mengunjungi gereja dan sinagoge di Hatay--kunjungan pertama oleh Presiden Turki.
Pada Agustus 2009, Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan bertemu dengan para pemimpin minoritas agama di Buyukada, pulau terbesar dalam gugusan Pulau Pangeran di Laut Marmara, dan mendengarkan masalah yang mereka hadapi, sinyal yang jelas dari niat pemerintah memperkokoh rasa kebersamaan mereka dalam masyarakat Turki. Sebagai wakil perdana menteri, saya bertemu dengan wakil-wakil dari minoritas agama pada Maret 2010 serta mengunjungi Keuskupan Gereja Ortodoks Armenia dan Yunani pada 2010 dan 2011. Begitu juga Menteri Urusan Uni Eropa Egemen Bagis telah bertemu dengan para pemimpin minoritas ini pada beberapa kesempatan.
Di samping membangun hubungan yang hangat antara pemerintah Turki dan minoritas agama ini, kebijakan resmi telah berubah. Pada Mei 2010, Perdana Menteri Erdo?an mengeluarkan pernyataan resmi yang memperingatkan pegawai negeri dan warga umumnya untuk tidak melakukan diskriminasi apa pun terhadap minoritas agama, dan yang menekankan kesetaraan absolut warga minoritas nonmuslim di Turki.
Tapi landasan prakarsa yang diambil pada tahun-tahun terakhir ini sudah diletakkan lama sebelumnya. Pada Agustus 2003, pemerintah di bawah pimpinan Erdogan mengumumkan perubahan-perubahan hukum untuk memecahkan persoalan hak milik terkait dengan perhimpunan minoritas agama. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Turki, 365 kepemilikan tanah dan bangunan milik komunitas minoritas didaftarkan menurut hukum atas nama mereka. Pada 2008, pemerintah, kendati ditentang partai-partai lainnya, mengubah Undang-Undang Asosiasi dan mengizinkan perhimpunan minoritas agama membeli tanah serta bangunan di atasnya (dan menerima sumbangan, tanpa memandang besarnya, dari luar negeri).
Kemudian, pada Agustus 2011, suatu amendemen yang penting pada Undang-Undang Asosiasi mengesahkan dikembalikannya lebih dari 350 properti kepada minoritas agama. Sebagai bagian dari perubahan ini, Sekolah Kejuruan Putri Ortodoks Yunani di Beyo?lu, Istanbul, dan Pusat Komunitas Yahudi di Izmir telah diberi status hukum, yang mengakhiri sengketa yang sudah berlangsung seabad lamanya.
Bahkan sebelumnya, pada 2010, rumah yatim piatu Ortodoks Yunani di Pulau Halki dikembalikan kepada Keuskupan Yunani Ortodoks. Untuk memperlancar tugas agama mereka, uskup-uskup agung Ortodoks diberi kewarganegaraan Turki. Selain itu, Dewan Asosiasi, sebagai otoritas tertinggi mengenai perhimpunan agama, sekarang untuk pertama kalinya juga beranggotakan seorang nonmuslim yang mewakili agama-agama minoritas.
Lagi pula Direktorat Jenderal Asosiasi telah diberi tugas merenovasi rumah-rumah ibadah yang digunakan minoritas-minoritas agama, termasuk Gereja Aya Nikola di Gokceada Canakkale, serta Gereja Katolik Asiria dan Gereja Katolik Yunani di Iskendrun. Sejumlah gereja dan sinagoge lainnya juga sedang direnovasi.
Pemerintah telah mengambil banyak langkah historis dan simbolis penting lainnya. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah merenovasi Biara Panagia Sumela, gereja yang sudah berusia 1.600 tahun di Trabzon di pantai Laut Hitam. Misa pertama setelah puluhan tahun diadakan pada Agustus 2010, yang dipimpin Bartholomew, dan dihadiri ratusan anggota jemaah dari Yunani, Georgia, Eropa, Amerika Serikat, serta Turki.
Tonggak bersejarah lainnya adalah renovasi dan dibukanya Gereja Armenia yang sudah berusia 1.100 tahun pada Maret 2007. Misa pertama setelah 95 tahun lamanya diadakan di dalam gereja, yang dipimpin Uskup Agung Armenia, Airam Atesyan, dan dihadiri ribuan anggota jemaah.
Langkah-langkah ini diambil untuk mengatasi masalah yang sudah lama dihadapi minoritas agama nonmuslim di Turki. Umat muslim telah hidup dengan masyarakat Yahudi dan Kristen selama berabad-abad dan memperlakukan mereka dengan hormat dan kasih sayang. Kami bertekad menyelesaikan sisa-sisa masalah yang masih ada dan kami yakin bahwa kita bisa melakukan itu melalui rasa saling percaya dan kerja sama. Masyarakat Yahudi dan Kristen di Turki adalah warga sepenuhnya dengan hak yang sama, dan kami akan melakukan segala upaya untuk memastikan bahwa realitas ini diakui di segala bidang kehidupan di Turki. ●
SUMBER : KORAN TEMPO, 12 Maret 2012
Setelah puluhan tahun telantar, pemerintah Turki mengambil beberapa langkah untuk menjamin hak minoritas agama nonmuslim di negeri itu. Dengan demikian, ada jaminan rule of law berlaku sama bagi semua warga Turki, tanpa memandang agama, etnisitas, atau bahasa seseorang.
Minoritas agama di Turki meliputi berbagai denominasi, termasuk Yunani Ortodoks, Armenia, Asiria, Kaldani, dan denominasi-denominasi Kristen lainnya, serta Yahudi, yang semuanya merupakan bagian integral masyarakat Turki. Sebagai bagian dari prakarsa baru pemerintah Turki untuk mengakhiri diskriminasi apa pun terhadap minoritas-minoritas nonmuslim ini, Presiden Abdullah Gul telah menekankan langkah-langkah ini dengan menerima kunjungan Bartholemew, Uskup Ortodoks Yunani di Istanbul, dan dengan mengunjungi gereja dan sinagoge di Hatay--kunjungan pertama oleh Presiden Turki.
Pada Agustus 2009, Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan bertemu dengan para pemimpin minoritas agama di Buyukada, pulau terbesar dalam gugusan Pulau Pangeran di Laut Marmara, dan mendengarkan masalah yang mereka hadapi, sinyal yang jelas dari niat pemerintah memperkokoh rasa kebersamaan mereka dalam masyarakat Turki. Sebagai wakil perdana menteri, saya bertemu dengan wakil-wakil dari minoritas agama pada Maret 2010 serta mengunjungi Keuskupan Gereja Ortodoks Armenia dan Yunani pada 2010 dan 2011. Begitu juga Menteri Urusan Uni Eropa Egemen Bagis telah bertemu dengan para pemimpin minoritas ini pada beberapa kesempatan.
Di samping membangun hubungan yang hangat antara pemerintah Turki dan minoritas agama ini, kebijakan resmi telah berubah. Pada Mei 2010, Perdana Menteri Erdo?an mengeluarkan pernyataan resmi yang memperingatkan pegawai negeri dan warga umumnya untuk tidak melakukan diskriminasi apa pun terhadap minoritas agama, dan yang menekankan kesetaraan absolut warga minoritas nonmuslim di Turki.
Tapi landasan prakarsa yang diambil pada tahun-tahun terakhir ini sudah diletakkan lama sebelumnya. Pada Agustus 2003, pemerintah di bawah pimpinan Erdogan mengumumkan perubahan-perubahan hukum untuk memecahkan persoalan hak milik terkait dengan perhimpunan minoritas agama. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Turki, 365 kepemilikan tanah dan bangunan milik komunitas minoritas didaftarkan menurut hukum atas nama mereka. Pada 2008, pemerintah, kendati ditentang partai-partai lainnya, mengubah Undang-Undang Asosiasi dan mengizinkan perhimpunan minoritas agama membeli tanah serta bangunan di atasnya (dan menerima sumbangan, tanpa memandang besarnya, dari luar negeri).
Kemudian, pada Agustus 2011, suatu amendemen yang penting pada Undang-Undang Asosiasi mengesahkan dikembalikannya lebih dari 350 properti kepada minoritas agama. Sebagai bagian dari perubahan ini, Sekolah Kejuruan Putri Ortodoks Yunani di Beyo?lu, Istanbul, dan Pusat Komunitas Yahudi di Izmir telah diberi status hukum, yang mengakhiri sengketa yang sudah berlangsung seabad lamanya.
Bahkan sebelumnya, pada 2010, rumah yatim piatu Ortodoks Yunani di Pulau Halki dikembalikan kepada Keuskupan Yunani Ortodoks. Untuk memperlancar tugas agama mereka, uskup-uskup agung Ortodoks diberi kewarganegaraan Turki. Selain itu, Dewan Asosiasi, sebagai otoritas tertinggi mengenai perhimpunan agama, sekarang untuk pertama kalinya juga beranggotakan seorang nonmuslim yang mewakili agama-agama minoritas.
Lagi pula Direktorat Jenderal Asosiasi telah diberi tugas merenovasi rumah-rumah ibadah yang digunakan minoritas-minoritas agama, termasuk Gereja Aya Nikola di Gokceada Canakkale, serta Gereja Katolik Asiria dan Gereja Katolik Yunani di Iskendrun. Sejumlah gereja dan sinagoge lainnya juga sedang direnovasi.
Pemerintah telah mengambil banyak langkah historis dan simbolis penting lainnya. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah merenovasi Biara Panagia Sumela, gereja yang sudah berusia 1.600 tahun di Trabzon di pantai Laut Hitam. Misa pertama setelah puluhan tahun diadakan pada Agustus 2010, yang dipimpin Bartholomew, dan dihadiri ratusan anggota jemaah dari Yunani, Georgia, Eropa, Amerika Serikat, serta Turki.
Tonggak bersejarah lainnya adalah renovasi dan dibukanya Gereja Armenia yang sudah berusia 1.100 tahun pada Maret 2007. Misa pertama setelah 95 tahun lamanya diadakan di dalam gereja, yang dipimpin Uskup Agung Armenia, Airam Atesyan, dan dihadiri ribuan anggota jemaah.
Langkah-langkah ini diambil untuk mengatasi masalah yang sudah lama dihadapi minoritas agama nonmuslim di Turki. Umat muslim telah hidup dengan masyarakat Yahudi dan Kristen selama berabad-abad dan memperlakukan mereka dengan hormat dan kasih sayang. Kami bertekad menyelesaikan sisa-sisa masalah yang masih ada dan kami yakin bahwa kita bisa melakukan itu melalui rasa saling percaya dan kerja sama. Masyarakat Yahudi dan Kristen di Turki adalah warga sepenuhnya dengan hak yang sama, dan kami akan melakukan segala upaya untuk memastikan bahwa realitas ini diakui di segala bidang kehidupan di Turki. ●
PENGARUH HINDIA BELANDA Oleh Robbert Dijkgraaf, ILMUWAN BELANDA,
Di ruang kerja saya, tergantung dua buah foto Ketua Akademi terdahulu, dengan ciri khas orang terpelajar dari awal abad sebelumnya: terhormat, beruban, berjenggot, dan berkacamata. Foto pertama adalah seorang eksakta tulen, fisikawan Hendrik Lorentz, yang terlihat ramah tapi tegas. Ia bukan hanya seorang arsitek teori modern tentang radiasi dan benda, tapi juga bertanggung jawab atas pembangunan Afsluitdijk (bendungan yang menghubungkan Provinsi Noord-Holland dan Friesland).
Orang kedua adalah seorang ahli humaniora tulen. Dia membungkuk di atas sebuah buku tebal, hidungnya hampir masuk ke halaman-halaman--sebuah gambaran karikatur ilmuwan linglung, kutu buku yang hampir tidak sadar akan sisa dunia di luarnya. Tapi gambaran itu sama sekali tidak benar. Ahli bahasa Sanskerta, Hendrik Kern (1833-1917), setidaknya sama jeniusnya dan relevan seperti Lorentz. Dia menguasai hampir semua bahasa yang bisa dibayangkan, baik bahasa yang masih dipakai maupun yang sudah punah. Seorang ahli tingkat dunia dalam bidang bahasa-bahasa wilayah timur, mulai bahasa Farsi melalui Jawa kuno sampai Polinesia. Kern lahir di Hindia Belanda dan berjasa besar terhadap tanah kelahirannya. Di Indonesia, Kern dihormati karena dia menunjukkan bahwa kepulauan yang terbagi-bagi itu, dari segi bahasa merupakan suatu kesatuan alami.
Cukup aneh bahwa Indonesia kurang mendapat perhatian dari kita, juga dalam hal ilmu pengetahuan. Apakah ini karena kita tidak ingin mengingat sejarah kolonialisme--semacam peredaman ala teori Freud? Biarkan saya memberikan lagi dua contoh tentang pengaruh Hindia Belanda. Eugene Dubois (1858-1940) adalah seorang dokter muda yang berbakat dan keras kepala. Terinspirasi oleh Darwin, ia yakin bisa menemukan mata rantai yang hilang antara kera dan manusia di Asia Tenggara.
Pada 1887, ia bergabung dengan tentara Hindia Belanda (KNIL) sebagai dokter dan kemudian berangkat bersama istri dan putrinya yang baru lahir menuju wilayah timur. Dubois tidak hanya pantang menyerah, ia juga beruntung atas penggalian-penggalian yang dilakukannya. Dengan cepat ia menemukan sebuah tengkorak, gigi geraham, dan sebuah tulang paha dari "manusia Jawa", contoh pertama dari apa yang saat ini disebut Homo erectus. Seiring dengan waktu, ia juga menemukan sebuah ilmu pengetahuan baru yang sepenuhnya baru, yaitu paleoantropologi.
Christiaan Eijkman (1858-1930), sama seperti Dubois, bekerja sebagai dokter di tentara Hindia Belanda. Pada 1888, dia diangkat sebagai direktur pertama di Centraal Geneeskundig Laboratorium (Laboratorium Kedokteran Pusat) di Batavia. Bersama asistennya, Gerrit Grijns, dia melakukan serangkaian uji coba untuk mencari penyebab penyakit tropis beri-beri. Semua orang mengira beri-beri disebabkan oleh bakteri, tapi dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap ayam, muncullah ide lain. Ketika ayam itu memakan beras tanpa kulit ari, terlihat gejala penyakit beri-beri. Namun, ketika diberi beras yang masih memiliki kulit ari, gejala itu hilang. Demikianlah mereka menemukan bahwa beri-beri disebabkan oleh kekurangan vitamin. Dari penemuan vitamin B1 inilah Eijkman mendapatkan penghargaan Nobel, sedangkan Grijns disisihkan. Hal itu merupakan sebuah ketidakadilan karena justru Grijns yang berperan krusial dalam penetapan adanya kekurangan zat nutrisi sebagai penyebab.
Lembaga Eijkman di Jakarta saat ini merupakan salah satu lembaga ilmiah yang paling terkemuka di Indonesia. Lembaga itu bangga atas sejarah panjang beserta prestasi yang telah diukir oleh direktur pertamanya. Gedung yang bergaya kolonial telah direnovasi secara indah dan memuat peralatan penelitian terbaru. Terlebih dalam sebuah negara dan kota yang mengalami ledakan jumlah penduduk luar biasa, suasana tenang dalam koridor panjang terasa amat melegakan. Anda merasa kembali ke masa yang telah hilang.
Pada kunjungan yang belum lama saya lakukan, memang begitulah keadaannya. Kami disuguhi sebuah tontonan film yang menarik berlatar Batavia pada 1920-an. Kamera berputar mengelilingi kota dan bergerak dengan halus terayun menggambarkan pemandangan saat itu. Semuanya memancarkan ketenangan nan asri, terutama ketika kamera mendekati daerah kosong tempat sekolah kedokteran dan Lembaga Eijkman berada. Alangkah besar perbedaannya saat kita berjalan keluar setelah menonton film itu dan merasakan hiruk-pikuk Jakarta masa kini dengan aliran sepeda motor yang melaju tanpa hentinya disertai bunyi klakson yang bising. Mengesankan begitu cepatnya negara ini telah berubah dalam waktu singkat dan tak terbayangkan perubahannya di kemudian hari.
Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN. Bagian dunia ini berjumlah lebih dari setengah miliar penduduk dan memiliki beberapa "macan teknologi" yang berkembang pesat. Saat ini Indonesia memang belum menjadi pelopor, tapi tidak bisa dimungkiri kelak Indonesia akan berkembang secara spektakuler. Apakah masih ada perannya bagi negeri Belanda? Apakah kita masih memiliki ide tentang apa yang bisa kita lakukan terhadap negara yang sudah berabad-abad lamanya memberi kita begitu banyak, termasuk dalam hal ilmu pengetahuan?
Ada seseorang yang tidak ragu akan pentingnya Indonesia. Dulu ia pernah tinggal di Indonesia saat berumur 6 tahun sampai 10 tahun. Ia ingin memperkuat hubungannya. Ia telah mengirim utusan ilmiah khusus, dan juga akan berinvestasi secara besar-besaran. Dalam kunjungannya pada 2010, Presiden Barack Obama memuji keragaman dan toleransi di Indonesia. Terlihat jelas bahwa hubungan erat antara sebuah negara muslim yang besar dan moderat sangat cocok dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. (Sebuah pemikiran menarik bahwa Belanda selama berabad-abad telah menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.)
Obama sangat menyadari peluang-peluang yang ada di Indonesia. Dari segi jumlah penduduk, Amerika dan Indonesia adalah negara urutan ketiga dan keempat terbesar di dunia. Pada 2012, sumber kekayaan alam terbesar di kepulauan raksasa ini bukan lagi rempah-rempah atau tenaga kerja murah, melainkan generasi muda berbakat yang tak ada habisnya. Pengaruh Hindia Belanda akan jauh lebih besar daripada sekadar nasi goreng di menu restoran kita.
LMUWAN BELANDA, PRESIDEN THE ROYAL NETHERLANDS ACADEMY OF ARTS AND SCIENCES, SUMBER : KORAN TEMPO, 7 Maret 2012
Orang kedua adalah seorang ahli humaniora tulen. Dia membungkuk di atas sebuah buku tebal, hidungnya hampir masuk ke halaman-halaman--sebuah gambaran karikatur ilmuwan linglung, kutu buku yang hampir tidak sadar akan sisa dunia di luarnya. Tapi gambaran itu sama sekali tidak benar. Ahli bahasa Sanskerta, Hendrik Kern (1833-1917), setidaknya sama jeniusnya dan relevan seperti Lorentz. Dia menguasai hampir semua bahasa yang bisa dibayangkan, baik bahasa yang masih dipakai maupun yang sudah punah. Seorang ahli tingkat dunia dalam bidang bahasa-bahasa wilayah timur, mulai bahasa Farsi melalui Jawa kuno sampai Polinesia. Kern lahir di Hindia Belanda dan berjasa besar terhadap tanah kelahirannya. Di Indonesia, Kern dihormati karena dia menunjukkan bahwa kepulauan yang terbagi-bagi itu, dari segi bahasa merupakan suatu kesatuan alami.
Cukup aneh bahwa Indonesia kurang mendapat perhatian dari kita, juga dalam hal ilmu pengetahuan. Apakah ini karena kita tidak ingin mengingat sejarah kolonialisme--semacam peredaman ala teori Freud? Biarkan saya memberikan lagi dua contoh tentang pengaruh Hindia Belanda. Eugene Dubois (1858-1940) adalah seorang dokter muda yang berbakat dan keras kepala. Terinspirasi oleh Darwin, ia yakin bisa menemukan mata rantai yang hilang antara kera dan manusia di Asia Tenggara.
Pada 1887, ia bergabung dengan tentara Hindia Belanda (KNIL) sebagai dokter dan kemudian berangkat bersama istri dan putrinya yang baru lahir menuju wilayah timur. Dubois tidak hanya pantang menyerah, ia juga beruntung atas penggalian-penggalian yang dilakukannya. Dengan cepat ia menemukan sebuah tengkorak, gigi geraham, dan sebuah tulang paha dari "manusia Jawa", contoh pertama dari apa yang saat ini disebut Homo erectus. Seiring dengan waktu, ia juga menemukan sebuah ilmu pengetahuan baru yang sepenuhnya baru, yaitu paleoantropologi.
Christiaan Eijkman (1858-1930), sama seperti Dubois, bekerja sebagai dokter di tentara Hindia Belanda. Pada 1888, dia diangkat sebagai direktur pertama di Centraal Geneeskundig Laboratorium (Laboratorium Kedokteran Pusat) di Batavia. Bersama asistennya, Gerrit Grijns, dia melakukan serangkaian uji coba untuk mencari penyebab penyakit tropis beri-beri. Semua orang mengira beri-beri disebabkan oleh bakteri, tapi dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap ayam, muncullah ide lain. Ketika ayam itu memakan beras tanpa kulit ari, terlihat gejala penyakit beri-beri. Namun, ketika diberi beras yang masih memiliki kulit ari, gejala itu hilang. Demikianlah mereka menemukan bahwa beri-beri disebabkan oleh kekurangan vitamin. Dari penemuan vitamin B1 inilah Eijkman mendapatkan penghargaan Nobel, sedangkan Grijns disisihkan. Hal itu merupakan sebuah ketidakadilan karena justru Grijns yang berperan krusial dalam penetapan adanya kekurangan zat nutrisi sebagai penyebab.
Lembaga Eijkman di Jakarta saat ini merupakan salah satu lembaga ilmiah yang paling terkemuka di Indonesia. Lembaga itu bangga atas sejarah panjang beserta prestasi yang telah diukir oleh direktur pertamanya. Gedung yang bergaya kolonial telah direnovasi secara indah dan memuat peralatan penelitian terbaru. Terlebih dalam sebuah negara dan kota yang mengalami ledakan jumlah penduduk luar biasa, suasana tenang dalam koridor panjang terasa amat melegakan. Anda merasa kembali ke masa yang telah hilang.
Pada kunjungan yang belum lama saya lakukan, memang begitulah keadaannya. Kami disuguhi sebuah tontonan film yang menarik berlatar Batavia pada 1920-an. Kamera berputar mengelilingi kota dan bergerak dengan halus terayun menggambarkan pemandangan saat itu. Semuanya memancarkan ketenangan nan asri, terutama ketika kamera mendekati daerah kosong tempat sekolah kedokteran dan Lembaga Eijkman berada. Alangkah besar perbedaannya saat kita berjalan keluar setelah menonton film itu dan merasakan hiruk-pikuk Jakarta masa kini dengan aliran sepeda motor yang melaju tanpa hentinya disertai bunyi klakson yang bising. Mengesankan begitu cepatnya negara ini telah berubah dalam waktu singkat dan tak terbayangkan perubahannya di kemudian hari.
Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN. Bagian dunia ini berjumlah lebih dari setengah miliar penduduk dan memiliki beberapa "macan teknologi" yang berkembang pesat. Saat ini Indonesia memang belum menjadi pelopor, tapi tidak bisa dimungkiri kelak Indonesia akan berkembang secara spektakuler. Apakah masih ada perannya bagi negeri Belanda? Apakah kita masih memiliki ide tentang apa yang bisa kita lakukan terhadap negara yang sudah berabad-abad lamanya memberi kita begitu banyak, termasuk dalam hal ilmu pengetahuan?
Ada seseorang yang tidak ragu akan pentingnya Indonesia. Dulu ia pernah tinggal di Indonesia saat berumur 6 tahun sampai 10 tahun. Ia ingin memperkuat hubungannya. Ia telah mengirim utusan ilmiah khusus, dan juga akan berinvestasi secara besar-besaran. Dalam kunjungannya pada 2010, Presiden Barack Obama memuji keragaman dan toleransi di Indonesia. Terlihat jelas bahwa hubungan erat antara sebuah negara muslim yang besar dan moderat sangat cocok dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. (Sebuah pemikiran menarik bahwa Belanda selama berabad-abad telah menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.)
Obama sangat menyadari peluang-peluang yang ada di Indonesia. Dari segi jumlah penduduk, Amerika dan Indonesia adalah negara urutan ketiga dan keempat terbesar di dunia. Pada 2012, sumber kekayaan alam terbesar di kepulauan raksasa ini bukan lagi rempah-rempah atau tenaga kerja murah, melainkan generasi muda berbakat yang tak ada habisnya. Pengaruh Hindia Belanda akan jauh lebih besar daripada sekadar nasi goreng di menu restoran kita.
LMUWAN BELANDA, PRESIDEN THE ROYAL NETHERLANDS ACADEMY OF ARTS AND SCIENCES, SUMBER : KORAN TEMPO, 7 Maret 2012
Langganan:
Postingan (Atom)