Selasa, 22 Mei 2012

Agama sebagai Penjaga Moral

Deni Humaedi Achmad El-ghazali, PENELITI MUDA
INDONESIAN CULTURE ACADEMY (INCA), JAKARTA
SUMBER : SUARA KARYA, 9 Maret 2012



Agama akan kian hidup manakala perilaku amoral semakin menggila. Kedatangan tahun 2012 disambut begitu suka cita oleh seluruh lapisan masyarakat dan banyak harapan dipancangkan. Harapan tersebut berangkat dari peristiwa yang terjadi sepanjang 2011 baik yang mengecewakan maupun sebaliknya. Namun, harapan tersebut tampaknya jauh dari kenyataan sebab masih saja ada luka-luka yang menapak di tahun lalu menganga kembali di tahun ini.

Adalah kekerasan, bentrokan massa, pemerkosaan, pembunuhan sampai korupsi di kalangan elite pemerintah. Tak ayal, perilaku-perilaku demikian adalah bentuk tindakan amoral sudah menimbulkan kerugian bagi manusia, khususnya karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dibilang merugikan sebab bentuk amoral itu telah menodai hak asasi manusia (HAM). Sebut saja, korupsi yang dipraktikkan oleh beberapa elite pemerintah belakangan ini.

Dampak korupsi ini - meminjam istilah Frederich Bastiat - 'seperti apa yang terlihat dan yang tak terlihat' sekilas tampak ringan dan tak ada apa-apa tapi dampaknya sudah apa-apa sedemikian endemik. Perilaku korup yang dilakukan seorang elite saja bisa berakibat bagi nasib seluruh masyarakat. Tidak hanya satu instansi yang terkait yang dirugikan, tapi juga negara dan masyarakat keseluruhan. Dapat kita bayangkan betapa jahatnya apabila uang milik rakyat, untuk kepentingan rakyat, namun dengan mudah dirampok oleh koruptor demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Namun, di balik semua itu ada dampak luar biasa, yang melebihi dampak-dampak yang telah disebutkan tadi. Selain secara materiil telah merugikan negara dan masyarakat secara keseluruhan, korupsi semakin menggambarkan betapa telah luruh moral ideal yang dianut bangsa kita. Moral ideal tersebut adalah kejujuran yang merupakan cerminan kemanusiaan yang paling luhur. Moral kejujuran ini adalah muara untuk menetaskan etos kerja keras, tekun, dan kesabaran.

Ketika moral sudah ditinggalkan begitu saja dalam keseharian, yang tersisa hanyalah kerusakan-keretakan yang melekat di bangsa kita. Akhirnya, kita akan menjadi bangsa yang nirmoral. Pada posisi inilah, agama mesti menampilkan dirinya. Tidak hanya untuk mengembalikan moral yang sudan meluruh, agama dituntut untuk menghidupkan dan membumikan spirit moral tersebut dalam kehidupan berbangsa-bernegara.

Sekiranya sudah usang untuk membicarakan bahwa kehadiran agama akan semakin tenggelam, mati di era modernisasi seperti yang diramalkan oleh beberapa ilmuwan sosial khususnya dari barat. Memang, pada segi-segi tertentu betul bahwa agama seperti yang dikatakan beberapa kalangan pemerhati sosial-keagamaan dewasa ini, tidak perlu mengemuka ke dalam wilayah publik. Ia cukup saja menjadi ranah privat yang menjadi persoalan masing-masing individu. Terlebih, untuk memasuki ranah politik (baca, negara).

Di lain sisi, justru di era sekaranglah hidup disesaki dengan pluralitas nilai-nilai yang kian membuat kita semakin bingung untuk merujuk acuan dalam hidup. Terlebih, pluralitas nilai-nilai ini telah mengikis jati diri bangsa kita semisal moral kejujuran yang diganti dengan moral kebohongan (korupsi). Dalam gal ini, maka peran agama akan semakin diperlukan untuk menjawab pelbagai persoalan tersebut. Dengan maksud lain, untuk mencegah dan meminimalisasikan perilaku amoral tersebut maka secara serta merta orang akan kembali membutuhkan peran agama.

Pada dasarnya, seperti yang kita ketahui, tegaknya moral tidak hanya diinisiasi oleh agama saja. Ada moral-moral lain yang disepakati bersama yang menjadi acuan untuk pandangan dunia (worldview) yang disebut sebagai moral publik. Seterusnya untuk menjaga moral yang sudah disepakati bersama ini agar tidak dilanggar oleh individu atau kelompok tertentu, dibuatlah hukum sebagai penjaga moral.

Tetapi, sayangnya, meskipun ada hukum sebagai penjaga, tetap saja batas-batas moral ini ditabrak tanpa mempertimbangkan dampaknya. Kekerasan, bentrokan massa, pemerkosaan, pembunuhan, dan korupsi adalah resultan dari penabrakan moral publik tadi. Maka, sebagai konsekuensi yang paling "biadab" dari perilaku amoral ini adalah pembunuhan terhadap hak asasi manusia (HAM).

Karena, dampak perilaku amoral tersebut tidak boleh terulang lagi, agama dengan sendirinya harus semakin hidup dan bersiap menuntun bangsa ke arah yang lebih baik. Benar bahwa agama, sebagaimana yang dikatakan sosiolog Bryan Turner, adalah berfungsi sebagai perekat sosial. Kehadirannya, di samping mengajarkan melulu ibadah ritual, bisa mempererat hubungan sosial meski dilatari perbedaan suku, ras, adat, dan daerah yang berbeda.

Namun, kendati demikian, tak dapat dielakkan, bentrokan massa yang belakangan ini terjadi berangkat dari konflik antar-umat beragama pula. Hemat saya, inilah yang menjadi 'pekerjaan rumah (PR) yang harus diemban oleh para pemuka agama. Dengan kata lain, para pemuka agama harus dapat membawa agama manakala dihadapkan oleh pelbagai perilaku amoral atau konflik antar-umat beragama sendiri.

Karena itu, sudah saatnya para pemuka agama memikirkan secara lebih serius bagaimana agama bisa merespon berbagai tantangan zaman, baik yang bisa menghidupkan (positif) maupun yang bisa mengikiskan agama sendiri (negatif). Tetapi, untuk sampai ke arah itu, diperlukan sikap bijak yang harus dimiliki para pemuka agama. Artinya, mereka mesti menyampaikan ajaran keagamaan dengan rasional, terbuka, soft, santun ketimbang melulu doktrinal, kaku, tertutup, dan ekslusif.

Dengan demikian, agama secara pasti bisa memosisikan keberadaannya di tengah masyarakat. Karena itu, agama tidak boleh lagi dijadikan komoditas politisasi kekuasaan semata tetapi biarkan berperan sesuai fungsinya penjaga moral.

Agama dan Otak Manusia

Luthfi Assyaukanie, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber : JIL, 1 Februari 2012


Agama bukan hanya akal, tapi merupakan produk akal manusia. Tanpa akal tak ada agama. Hanya makhluk hidup yang berakal yang beragama. Yang tak berakal tidak menciptakan agama dan tak pernah peduli dengan agama. Yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya adalah akal yang dimilikinya. Akal adalah lambang kemajuan dalam proses evolusi makhluk-hidup yang panjang.

Sebuah pepatah Arab yang diyakini sebagai hadis Nabi mengatakan bahwa “agama adalah akal” (al-dinu huwa al-aql). Pepatah ini sering dikutip ulama dan sarjana Muslim untuk menegaskan bahwa beragama membutuhkan akal agar manusia tidak terjatuh ke dalam taklid buta yang bisa menyesatkan mereka. Saya senang dengan pepatah ini, bukan hanya karena ia menunjukkan aspek rasionalitas dari Islam, tapi juga karena pepatah itu, jika ditarik lebih jauh lagi, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan temuan para saintis tentang hubungan agama dan akal.

Agama bukan hanya akal, tapi merupakan produk akal manusia. Tanpa akal tak ada agama. Hanya makhluk hidup yang berakal yang beragama. Yang tak berakal tidak menciptakan agama dan tak pernah peduli dengan agama. Yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya adalah akal yang dimilikinya. Akal adalah lambang kemajuan dalam proses evolusi makhluk-hidup yang panjang.

Akal adalah bentuk non-fisik dari otak. Ia bisa diumpamakan sebagai piranti lunak (software) yang berjalan di atas otak yang merupakan piranti keras (hardware) pada sebuah komputer. Seluruh hewan bertulang belakang (vertebrata) memiliki otak dan sebagian besar hewan tak-bertulang belakang (invertibrata) juga memiliki otak. Ukuran otak manusia lebih besar dibanding rata-rata ukuran otak hewan lainnya. Akal manusia juga merupakan yang tercanggih dibandingkan akal hewan-hewan lainnya.

Jika menggunakan analogi komputer, manusia memiliki prosesor (otak) terbaru dengan sistem operasi (akal) tercanggih, sementara hewan-hewan lain memiliki prosesor dan sistem operasi yang jauh tertinggal. Prosesor dan sistem operasi yang canggih dapat menciptakan banyak hal, seperti memroses kata, mendesain, merekam suara, memutar lagu, dan mengedit film. Sementara prosesor dan sistem operasi yang tertinggal hanya bisa melakukan kerja-kerja terbatas. Semakin tertinggal sebuah komputer semakin terbatas ia melakukan fungsinya, semakin canggih sebuah komputer semakin banyak kemungkinan yang bisa dilakukan.

Tentu saja, otak manusia jauh lebih kompleks dari komputer. Tapi analogi di atas setidaknya bisa membantu kita memahami perbandingan antara apa yang telah dilakukan manusia dengan otaknya dan apa yang telah dicapai hewan-hewan lain. Kita sering melihat dua buah komputer yang tampilan luarnya sangat mirip namun berbeda dalam kemampuan kerja yang dilakukannya. Komputer dengan “otak” yang lebih maju selalu memiliki kualitas dan kapasitas yang lebih baik.

Begitu juga manusia dibandingkan hewan-hewan lainnya. Yang membedakan mereka bukan bentuk fisiknya, tapi otaknya. Secara fisik, manusia dan kera (orangutan, gorila, dan simpanse) tak banyak memiliki perbedaan. Semua anggota tubuh yang dimiliki manusia juga dimiliki kera, dari kepala, tangan, kaki, jumlah jemari, bahkan bagian-bagian internal dalam tubuh mereka, seperti jantung, hati, empedu, dan ginjal. Bahkan, DNA, bagian paling penting yang membentuk tubuh manusia, tak banyak berbeda dari kera. Menurut penelitian terbaru, kedekatan DNA manusia dengan orangutan sekitar 96%, dengan gorila 97% dan dengan simpanse 99%. Dengan semua kemiripan ini, pencapaian manusia jauh melampaui semua hewan jenis kera itu.

Kuncinya adalah otak. Otak juga yang membedakan kera dari hewan-hewan lain. Para ilmuwan sepakat bahwa kera memiliki inteligensia di atas rata-rata hewan lainnya. Kera adalah satu-satunya jenis primata, selain manusia, yang memiliki kesadaran diri dan bisa menggunakan alat sederhana, seperti batu dan kayu. Otak kera memiliki ukuran yang lebih besar dari rata-rata hewan lain dan memiliki jaringan neuron yang sangat kompleks. Hanya otak manusia yang bisa menandingi otak kera, baik dalam hal volume maupun kerumitan jaringan.

Agama, seperti juga budaya dan produk-produk lainnya, adalah hasil kerja otak. Otaklah yang menciptakan bangunan, rumah, kuil, dan candi. Otak juga yang menciptakan konsep-konsep abstrak seperti kecantikan, keindahan, kekuasaan, kekuatan, kemurkaan, dan sebagainya. Konsep-konsep dalam agama, seperti tuhan, dewa, malaikat, setan, dan sejenisnya, tidak datang begitu saja. Ia lahir dari otak yang sudah berkembang, maju, dan memiliki kosakata yang cukup untuk mengungkapkannya.

Berbagai studi terbaru tentang hubungan evolusi otak manusia dan budaya mendukung pandangan di atas. Kajian mutakhir yang dikumpulkan Voland dan Schiefenhovel (The Biological Evolution of Religious Mind and Behavior, 2009), misalnya, menegaskan nalar agama (religious mind) sebagai buah dari seleksi alam dan evolusi manusia yang panjang. Dari puluhan jenis hominid yang pernah hidup di muka Bumi, homo sapiens (manusia) yang paling unggul dan paling mampu beradaptasi dengan perubahan di sekeliling mereka. Homo sapiens menemukan agama dan menggunakannya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidup yang mereka hadapi.

Otak manusia juga yang mengembangkan agama dari bentuknya yang “primitif” hingga menjadi agama-agama modern yang sistematis seperti sekarang. Tentu saja, ada sebagian ritual primitif yang hilang, tapi ada sebagian lain yang dipertahankan. Selama otak manusia masih bisa menerima ritual-ritual itu (seberapapun absurd-nya), dia akan terus hidup, tapi jika otak manusia tak bisa lagi menerimanya, ritual-ritual itu akan lenyap. Misalnya, penyembelihan anak gadis untuk dipersembahkan kepada Tuhan (dewa) pernah menjadi ritual suatu agama, tapi ketika otak manusia tak lagi bisa menerimanya, ritual itu ditinggalkan.

Pada akhirnya, seperti kata pepatah Arab yang saya kutip di atas: agama adalah akal. Tidak ada agama bagi yang tak berakal (la dina liman la aqla lah). Akal adalah pembimbing manusia yang paling alamiah. Tanpa akal, agama tak punya makna.

Agama dan Kekerasan

Jalaluddin Rakhmat, KETUA DEWAN SYURA IKATAN JAMAAH AHLULBAIT INDONESIA
Sumber : DETIKNEWS, 4 Januari 2012


"Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama," tulis Sam Harris, yang bersama Daniel Dennett dan Richard Dawkins dikenal sebagai the Unholy Trinity of Atheism.

"Agama sudah semestinya ditinggalkan manusia bukan karena alasan teologis, tetapi -masih kata Harris dalam The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason - "karena agama telah menjadi sumber kekerasan sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu".

Romo Magnis pernah mengatakan kepadaku bahwa orang menjadi ateis lebih banyak bukan karena pemikiran filsafat atau sains. Mereka menjadi ateis karena tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pengikut agama. Mereka melihat kontradiksi antara apa yang dikhotbahkan dengan apa yang dilakukan.

Alkisah, ada seorang Inggris yang sangat religius. Kalau bukan orang yang tekun ibadat, ia orang yang rajin 'mencoba' berbagai agama. Ia dibesarkan sebagai Anglikan, dididik sebagai Methodist, berpindah kepada Greek Orthodoxy karena perkawinan, dan dikawinkan kembali oleh seorang rabbi Yahudi.

Sebagai wartawan, ia mengembara secara geografis dan intelektual. Ia mengumpulkan setumpuk data tentang keterlibatan semua agama dalam berbagai peperangan dalam sejarah. Hasil pengembaraan 'spiritualnya' membuahkan buku: god (dengan huruf kecil) is not Great. Ia menuliskan namanya dengan setiap huruf pertamanya huruf besar: Christopher Hitchens. Ia membagi bab-bab dalam bukunya berdasarkan kontribusi setiap agama pada pembunuhan, peperangan, dan kekejaman. Seumur hidupnya, ia menjadi pendakwah ateis yang efektif, terutama terhadap orang-orang yang menjadi korban kekejaman agama.

Setelah Hitchens, Dan Baker menulis buku dengan judul yang ditulis dengan huruf kecil dan subjudul dengan huruf besar semua: godless, How an Evangelical Preacher Became One of America’s Leading Atheists. Jawab: Karena tindakan kekerasan umat beragama.

Ayaan Hirsi Ali untuk Islam sama dengan Hitch dan Dan Baker untuk Kristen. Ia lahir di Somalia, dari keluarga bangsawan Muslim. Waktu remaja, ia masuk sekolah muslimah yang berbahasa Inggris dan didanai Saudi. Guru-gurunya keluaran Saudi. Dengan semangat ia berpindah dari mazhab Syafii yang toleran kepada mazhab baru yang sangat keras. Hidup dengan aliran keras ini tidak membahagiakannya. Ia menyaksikan berbagai tindakan kekerasan, terutama kepada perempuan, atas nama agama.

Ia mengungsi ke negeri Belanda. Di sini, ia mendapat perlakuan yang tidak enak dari sesama Muslim. Setelah kecewa dengan peristiwa 11 September, setelah membaca Manifesto Atheis dari Herman Philipse, secara resmi ia meninggalkan Islam dan menyatakan diri Atheis.

Pada 2004, Ayaan, yang kini menjadi anggota Parlemen Belanda, menulis naskah dan menyediakan suara untuk film pendek Submission. Seorang aktris, berpakaian chador yang tembus pandang, mengisahkan penderitaan empat tokoh perempuan yang ditindas atas nama Islam.

Melalui chador yang transparan, penonton melihat tubuh telanjang yang bertuliskan ayat-ayat Al-Quran. Film ini tentu saja menimbulkan kemarahan hatta di negeri Belanda sekalipun. Produsernya, Theo van Gogh, dibunuh di jalan di Amsterdam. Di atas jenazahnya diselipkan surat dan pisau yang berisi ancaman kepada Ayaan. Ia ditunjuk Time sebagai 100 most influential people in the world. "This woman is a major hero of our time," kata Richard Dawkins, anggota trinitas Atheis. Hirsi Ali menjadi dewi ateis sedunia.

Walhasil, kenapa orang menjadi atheis? Karena mereka menyaksikan atau mengalami sendiri tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Agamanya sendiri sebetulnya hanya menjadi kambing hitam. Bisa saja orang menyulut konflik karena motif-motif sekular –misalnya, ekonomi, politik, rasialisme - tetapi mereka menyelimuti nya dengan jubah agama.

Jika kita belajar sejarah, kita akan segera tahu bahwa konflik Palestina adalah konflik etnis (Yahudi yang terdiri dari 22,9 persen ateis, 21 persen sekular dan sisanya menganut agama Yahudi dan etnis Arab yang terdiri dari Islam dan Kristen); bahwa konflik di Irlandia Utara disebabkan karena masalah etnis-politis, setelah Inggris mendirikan Perkebunan Ulster tahun 1609; bahwa konflik bersenjata antara Pakistan dan India tentang Kashmir ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Inggris, dan bukan karena anjuran Kitab Suci; bahwa perang Irak dan Iran dimulai dari perebutan wilayah, bukan karena perbedaan mazhab (terbukti setelah perang diketahui bahwa Syiah juga mayoritas di Irak).

Bagaimana dengan konflik Sunnah dan Syiah di berbagai tempat di Jawa Timur, termasuk Sampang? "Bukan karena perbedaan pendapat, tetapi karena perbedaan pendapatan," kata petinggi NU masih dari daerah yang sama. Rois dan Tajul, kakak-beradik, dilantik sebagai pengurus Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlil Bait Indonesia) pada 2007. Pada 2009, mereka terlibat konflik keluarga, antara lain karena masalah santri perempuan di pesantren Tajul.

Karena persoalan pendapatan, Rois meninggalkan paham Syiah dan beralih pendapat. Katanya, "Saya kembali ke Nahdhiyin, karena banyaknya penyimpangan dalam ajaran Syiah". Pada pengujung 2011, Rois –menurut pengakuannya sendiri- membiarkan orang-orang yang sependapat dengan dia menghancurkan teritori dan massa pengikut saudaranya. Media melaporkan, "Roisul Hukama memimpin massa Ahli Sunnah untuk menyerang perkampungan dan pesantren Tajul Muluk, yang berpaham Syiah". Para tokoh Islam, dengan pendapatan yang lebih besar, kemudian menabuh genderang perang. Atas nama agama!

Siapakah yang beruntung? Tidak satu pihak pun. Tidak Rois dan tidak Tajul. Siapakah yang menang? Kaum ateis. Mereka punya amunisi baru. Mereka akan menisbahkan tindakan kekerasan dan kekejian kepada agama. Tidak jadi soal apakah penyebab yang sebenarnya itu berasal dari masalah ekonomis, politis, ideologis, ethnis, atau sekedar pertikaian di antara keluarga miskin di kampung yang miskin!

Merespons Konflik Berbasis Agama

Rumadi, PENELITI SENIOR THE WAHID INSTITUTE
Sumber : KOMPAS, 14 November 2011



Komisi IX DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, di mana dalam naskah akademiknya, agama dipandang sebagai salah satu sumber konflik sosial.

Konflik sosial, termasuk konflik bernuansa agama, merupakan kenyataan yang pernah dan mungkin akan terus terjadi di Indonesia. Namun, pemerintah (dan juga agamawan) enggan mengakui kenyataan tersebut.

Meski di sejumlah tempat, seperti Ambon dan Poso, pernah terjadi konflik bernuansa agama yang begitu kental, para pejabat pemerintah lebih senang menyatakan sebagai konflik sosial biasa, tak ada hubungan dengan agama. Kalau toh semangat keagamaan ada dalam konflik, itu sering dianggap penyebab sekunder atau agama hanya dijadikan kamuflase konflik yang sebenarnya, seperti konflik perebutan sumber daya ekonomi dan politik. Bahkan, tindakan terorisme yang jelas-jelas menggunakan spirit agama juga tak diakui sebagai persoalan agama. Kalau toh terorisme dianggap terkait agama, yang dipersalahkan adalah pemahaman keagamaan yang keliru.

Pertanyaannya, mengapa ada keengganan untuk menyebut konflik agama? Tentu ada alasan meski tak terucap, misalnya agama adalah sesuatu yang suci, sedangkan konflik sosial dianggap kotor. Yang suci dan yang kotor tak mungkin bersatu. Agama juga dianggap hal sensitif yang bisa mengaduk-aduk emosi massa. Begitu sebuah konflik dideklarasikan sebagai konflik agama, dikhawatirkan terjadi eskalasi.

Warisan dan Potensi Konflik

Indonesia kini menghadapi masalah-masalah warisan konflik masa lalu dan potensi konflik di masa depan. Persoalan warisan konflik masa lalu merupakan akibat dari belum tertanganinya secara memadai akar dan sumber konflik yang pernah terjadi.

Potensi konflik timbul akibat kebijakan pembangunan tak peka konflik, menguatnya sentimen kedaerahan akibat desentralisasi, kian langkanya sumber daya akibat bencana dan eksploitasi alam, serta konflik politik akibat belum terkonsolidasikannya demokrasi. Di satu sisi, potensi konflik warisan masa lalu masih perlu penanganan khusus, di sisi lain muncul potensi konflik baru yang perlu pencegahan dan pembangunan perdamaian lebih sistematis dan berkesinambungan.

Penanganan konflik selama ini dihadapkan pada pilihan-pilihan dilematis: apakah sepenuhnya diserahkan ke negara untuk bertanggung jawab menanganinya atau diserahkan ke mekanisme sosial-kultural yang hidup di masyarakat sipil. Hal itu tecermin dalam perdebatan yang berkembang selama ini, antara pendekatan resolusi konflik dan pendekatan HAM. Pendekatan resolusi konflik lebih menekankan pentingnya penyelesaian konflik berbasis pendekatan kultural mengingat banyak konflik terjadi tak hanya melibatkan warga sipil sebagai korban, tetapi sekaligus juga sebagai pelaku, seperti terjadi dalam konflik komunal di Maluku, Maluku Utara, Poso, serta Kalimantan Barat dan Tengah.

Pendekatan HAM lebih menekankan pentingnya penyelesaian konflik berbasis HAM, meminta tanggung jawab negara atas tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan, khususnya ketika negara justru terlibat sebagai aktor dan masyarakat jadi korban. Pendekatan komprehensif diperlukan dengan memadukan kedua model lewat pendekatan pembangunan sebagai perdamaian, dengan menempatkan keterjaminan pemenuhan kebutuhan dan hak dasar warga negara melalui kebijakan peka konflik dan peka HAM, bukan semata untuk mencegah konflik, melainkan juga mengatasi akar dan sumber konflik di masyarakat. Kebijakan ini perlu diintegrasikan ke sistem hukum dan politik sebagai bagian dari pelembagaan dan konsolidasi demokrasi.

Pembentukan RUU ini sebenarnya langkah strategis menuju bergulirnya kebijakan peka konflik dan sensitif HAM. Dengan itu diharapkan kebijakan pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian lebih terarah dan terpadu, di tingkat nasional maupun daerah. Pelembagaan upaya pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian di dalam sistem hukum dan politik sangat penting karena perdamaian, pembangunan, dan demokrasi tak bisa dipisahkan satu sama lain. Pembentukan RUU ini diharapkan mendorong kebijakan pembangunan yang kian peka konflik, sensitif HAM, dan mempromosikan perdamaian sehingga kalau ada konflik, bisa diselesaikan secara demokratis di setiap level pengambilan kebijakan.

Arah RUU

Pertanyaannya, apakah RUU ini sudah berjalan ke arah tersebut, terutama yang terkait konflik keagamaan. RUU ini sebenarnya tak secara khusus membahas spesifik soal konflik agama. Apa pun latar belakangnya, konflik secara umum dikategorikan konflik sosial meski setiap konflik punya karakter sendiri-sendiri dan menuntut model penyelesaian berbeda. Agama hanya disebutkan salah satu sumber konflik sosial, di samping suku, etnis, perebutan wilayah, perebutan sumber daya ekonomi, distribusi dan sumber daya tak adil. Barangkali memang tak perlu pembahasan secara khusus.

RUU tampaknya menghindar dari penyelesaian konflik vertikal. Meski dalam naskah akademik dijelaskan macam-macam konflik, konflik vertikal, horizontal dan diagonal, dalam perumusan konflik cenderung diletakkan sebagai konflik horizontal. Ini bisa dilihat dalam rumusan pengertian konflik, yang diartikan ”benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau golongan yang mengakibatkan cedera dan/atau jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, berdampak luas, dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang menimbulkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga menghambat pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat”.

Dari rumusan ini, ada beberapa pertanyaan. Pertama, apakah ini ketidaksengajaan atau upaya sadar sebagai cara menghindar negara dari konflik sosial, terutama konflik bernuansa agama? Kedua, model pendefinisian demikian tak bisa sepenuhnya digunakan untuk menyelesaikan konflik-konflik keagamaan yang marak di Indonesia, seperti soal Ahmadiyah, konflik tempat ibadah, dan intoleransi.

Dalam kasus-kasus itu, meski jelas terjadi konflik, isu-isu itu tak masuk skema RUU ini selama tak ada ”peperangan” antardua kelompok. Penyusun RUU Penanganan Konflik Sosial tampaknya hanya membayangkan konflik yang pernah terjadi di Ambon dan Poso, padahal konflik sosial bernuansa agama kini modusnya beraneka macam. Jika memang yang dibayangkan konflik Ambon dan Poso, kedua konflik besar ini bukanlah semata konflik antarkelompok masyarakat, tetapi ada faktor negara di sana. Kita tak bisa membayangkan aparat birokrasi itu bisa sepenuhnya ”netral” dalam konflik sosial sehingga mereka sepenuhnya diberi kewenangan untuk menyelesaikan.

Dalam kasus Ambon dan Poso, aparat keamanan dan birokrasi justru jadi bagian dari konflik itu sendiri. Karena itu, penyelesaian pencegahan, penghentian konflik, dan penanganan pascakonflik tak bisa dilakukan secara mekanik. Hal lain yang alpa dari RUU ini adalah pendefinisian tentang korban konflik. RUU ini sama sekali tidak punya perspektif korban yang harus dipulihkan hak-haknya. Ini persoalan serius yang harus mendapat perhatian penyusun RUU ini

Haji dan Sikap Antikorupsi

Lamlam Pahalam, DIREKTUR BANDUNG INTELLECTUAL CIRCLE
Sumber : KORAN TEMPO, 19 November 2011



Setelah dua bulan lamanya, perhelatan pelaksanaan haji tuntas dilaksanakan. Anggota jemaah haji sudah kembali ke kampung halamannya masing-masing untuk kembali berkumpul dengan sanak saudara, handai taulan, maupun teman sejawat setelah sekian lama menunaikan ibadah haji dengan segala macam rukun yang terkandung di dalamnya.Tentu orang mendoakan bagi para hujaj (orang-orang yang melaksanakan haji) agar mereka mendapatkan predikat mabrur, adanya kualitas diri yang baik dari sebelumnya. Mabrur dimaknai dengan adanya perubahan sikap serta orientasi hidup ke arah yang lebih benar, mendasar, baik, dan tepat. Hasil ini poin penting bagi orang yang telah bersusah payah melaksanakan ibadah haji. Perubahan ini adalah pesan berharga bagi orang yang telah melaksanakan rukun Islam kelima.

Perubahan kualitas individu bagi hujaj tidaklah disimbolkan dengan perubahan kopiah dari warna hitam ke warna putih. Secara simbolis, ini bagus. Namun yang terpenting adalah adanya perubahan karakter yang mendasar, yang menyasar dan membersihkan karakter tercela. Di antara perubahan karakter yang mendasar tersebut ialah adanya perubahan sikap dan mindset hidup dari sifat rakus dunia menjadi moderat, dari hedonis ke sederhana. Sebab, karakter hedonis inilah yang menjadi penyebab orang melakukan korupsi.

Nalar Ihram

Makna ini bisa terbaca secara cermat dari pakaian ihram yang senantiasa dipakai oleh hujaj, bahwa pakaian ihram berwarna putih tak berjahit. Semua yang melaksanakan ibadah haji, pakaian ihram-nya sama, tidak membeda-bedakan antara si kaya dan si miskin. Pakaian ihram, yang melambangkan kesederhanaan, menunjukkan gaya hidup yang tawadhu, tidak lagi mempertontonkan pakaian yang mencerminkan gaya hidup hedonis, bermegah-megah, dan berfoya-foya. Pakaian ihram memberi pelajaran kesetaraan dan kesamaan manusia di hadapan Sang Pencipta. Bahwa pakaian yang bagus bukanlah pakaian baru dengan model yang perlente maupun dengan harga yang
mahal. Pakaian baru pun bukanlah baju bermodel fashion Prancis ataupun baju berbahan sutra. Namun pakaian bagus adalah pandangan hidup yang jelas terhadap
dunia dan segala isinya. Pandangan yang didasarkan pada keyakinan dan nilai luhur yang dianut.

Demikian juga dalam pelaksanaan ibadah haji. Orang melakukan wukuf di Arafah dengan segala tuntutan perbuatan yang dilakukan. Bermunajat, berdoa, dan melakukan muhasabah (introspeksi diri). Wukuf berfungsi membongkar sikap keserakahan dan ketamakan hidup yang kerap dilakukan.Wukuf di Arafah menunjukkan evaluasi kritis terhadap episode kehidupan yang telah kita lalui. Paradigma wukuf memberikan pendidikan kontrol diri terhadap godaan hidup yang semakin keras dan kencang.

Tak ketinggalan melakukan jumrah (melempar batu), yang dimaknai dengan pelemparan terhadap setan yang menjadi sumbu kejelekan. Ia mengandung pesan
yang mendalam untuk senantiasa mampu melemparkan gaya hidup yang berlebihlebihan, yang bermuara pada gaya hidup hedonis. Jumrah dimaknai dengan sikap mengusir rasa rakus dan tamak yang mengendap di dalam jiwa dengan batu
keimanan. Rayuan setan maupun godaan iblis yang melahirkan perilaku korupsi sepantasnya dilempari oleh batu ketakwaan.

Gaya hidup yang hedonistik maupun permisif hanya akan melahirkan karakter korupsi di negeri ini. Pandangan kehidupan yang mengajarkan keserakahan dan budaya serba boleh akan bermuara pada pengerukan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Mengeksploitasi keuangan dengan cara apa pun, mengabaikan prinsip halal dan haram. Pola pikir seperti inilah salah satu motif yang paling dominan saat orang melakukan korupsi. Semua pandangan dan gaya hidup di atas dikoreksi oleh cara berpakaian ihram.

Demikian juga perilaku korupsi yang senantiasa dilakukan berulang-ulang, yang menunjukkan tidak adanya evaluasi diri secara cerdas. Mengunyah perilaku minus dan terus minus, mencerminkan lemahnya kontrol terhadap kualitas hidup. Rajinnya menggarong uang negara tiap tahun, lagi dan lagi, memperlihatkan hilangnya perenungan nalar terhadap kesadaran diri. Deretan perilaku bejat ini seharusnya bisa diredam dengan karakter wukuf. Sebab, sejatinya wukuf adalah pengevaluasian diri secara total terhadap rekam jejak kehidupan masa lampau yang suram.

Pelengkap dari semua itu, menghardik sikap keganasan terhadap harta haram adalah nilai etis yang diserap dari nalar jumrah. Melemparkan keserakahan, mengusir hedonisme, dan menghardik ketamakan merupakan “mata kuliah”jumrah dengan “bobot SKS”tiga hari.Tentu semoga para politikus yang telah menunaikan ibadah haji menerjemahkan nalar jumrah ini secara pintar dalam lingkaran kekuasaan mereka. Sebab, karakter hedonis, permisif, maupun sikap oportunis adalah bensin yang melahirkan percikan api korupsi.

Bagi para politikus yang telah berhaji, predikat haji mereka dituntut untuk dibuktikan
dalam perilaku politiknya dengan sikap sederhana tapi anggun.Tidak lagi mendemonstrasikan kekayaan maupun memamerkan kelebihan harta demi penilaian yang semu dan lucu. Para politikus yang telah berhaji dimohon dengan hormat untuk melonggarkan gaya kehidupannya secara wajar, patut, dan etis. Sebab, mereka telah mendapatkan pendidikan haji, yang mengajarkan tentang kesederhanaan dan sikap integritas yang tinggi. Amat bertolak belakang jika sikap dan karakter para politikus yang telah melaksanakan ibadah haji tidak berubah. Boleh jadi gelar haji mereka patut dipertanyakan sekaligus gelar mabrurnya bisa diragukan. ●

Doa Bersama Antaragama

Martin Lukito Sinaga, PENDETA GKPS; KINI BEKERJA PADA LEMBAGA OIKOUMENE DI GENEVA, SWISS
Sumber : KOMPAS, 3 Desember 2011


Pada 27 Oktober 1986 di Asisi, Italia, Paus Yohanes Paulus II mengundang pemimpin agama-agama memanjatkan doa perdamaian bersama.

Dalam sambutannya Paus menegaskan bahwa ”kedatangan kita dari berbagai penjuru di muka bumi ini, dan kini bersama-sama hadir di Asisi, adalah sebuah tanda betapa kita memiliki panggilan yang sama demi perdamaian dan harmoni dunia”. Asisi dipilih karena dari situ Fransiskus Asisi (1182-1226) berasal, pemimpin rohani Katolik yang semasa Perang Salib menyeberang ke Mesir dan berdialog dengan pemimpin Islam, Sultan Malik al-Kamil.

Setelah 25 tahun, Paus Bene- diktus XVI menghidupkan spirit Asisi itu dan mengundang tokoh- tokoh agama bertemu lagi di Asisi. Pertemuan kali ini bertema ”Pilgrims of Truth, Pilgrims of Peace”. Vatikan menegaskan pertemuan itu hendak mengaminkan bahwa setiap manusia pada akhirnya merupakan peziarah pencari kebenaran dan kebaikan dan, dalam terang peziarahan itu, bersama-sama kiranya mengukir dunia yang adil dan damai.

Dalam hal itu sosok Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil dapat membantu kita kini dalam perziarahan rohani. Di tengah kecamuk Perang Salib, pada 1219, Fransiskus Asisi menyelinap masuk tenda Sultan Malik di Damietta, Mesir. Ia ingin agar perang berakhir, juga agar sang Sultan mau menjadi Kristen.

Dalam kebesaran hati Sultan itu, ia dapat memahami dan menerima niat baik Fransiskus dan dalam terang pengalamannya berjumpa dengan orang Kristen Koptik di Mesir, ia meyakinkan Fransiskus bahwa bukannya beralih agama yang terutama, melainkan nyatanya keramahtamahan iman yang terbuka menerima pihak yang berbeda.

Iman yang bisa terbuka, dalam sikap keramahtamahan itu, sungguh diperlukan kala itu. Kini kita pun butuh iman atau keberagamaan yang terbuka, dan doa bersama lintas agama akan jadi bukti utama adanya iman sedemikian.

Sultan Malik pasti menemukan kedalaman dan kejernihan doa Fransiskus, seperti kerap ia rasakan dalam doa para sufi Muslim di Mesir. Apalagi diketahui bahwa kehidupan Fransiskus sedemikian sederhana, tak mencekau harta benda. Sang Sultan tahu bahwa sikap tak lekat akan yang material tadi datang dari sikap taat dan cinta kepada Allah, pemilik sekalian alam ini.

Dalam berdoa kita sebetulnya sedang mengakui misteri yang mengelilingi hidup manusia; doa menjadi jalan agar manusia bisa tiba pada sang Misteri itu. Ada momen berkomunikasi kepada- Nya dalam doa dan seiring dengan itu kemurahan-Nya pun te- rasa berlimpah.

Maka, sering dikatakan, doa adalah bahasa jiwa yang hendak membicarakan dan membuka hati terhadap mukjizat kehidupan yang tak habis-habisnya. Kalau demikianlah makna doa, maka keterbukaan hati dan iman pada Sang Ilahi yang murah hati tadi tak mungkin tanpa kehadiran sesama manusia. Yang melimpah dari-Nya pasti diberikan untuk semua manusia sehingga doa ”saya” selalu berdimensi syafaat: agar mereka, juga kita, diberi berkat dan sejahtera. Di sini ”saya dan engkau” bersama-sama dapat berdoa dan berharap akan kemurahan-Nya yang tak berbatas.

Perlu dicatat, doa bersama tak berarti agama-agama perlu melanjutkannya dengan ibadah bersama. Di sini ada batas yang menyingsing sebab, bagaimanapun, identitas agama selaku satu komunitas perlu dipertahankan. Melalui ibadah, umat beriman tengah menata identitas iman dan integritas kehidupan umatnya ke satu modus yang khas.

Ibadah adalah tindakan komunitas, sementara berdoa lebih sebagai sikap iman pribadi di hadapan Sang Misteri tadi. Dalam ibadah, agama sedang mendaku dan merayakan satu Nama yang khas, yang melaluinya mereka tiba pada Yang Ilahi tadi. Ibadah bersama dengan demikian akan membantu tiap agama mengorganisasi diri sebagai satu paguyuban yang utuh di tengah konteks kemajemukan masyarakatnya.

Makna Berdoa Bersama

Setelah peristiwa kekerasan sekitar Mei 1998, tokoh agama Indonesia yang dipimpin Gus Dur kumpul di Ciganjur berdoa bersama. Spirit dialog dan keterbukaan iman masing-masing terlihat dan hal itu dilakukan demi perdamaian di negeri kita ini.

Dalam doa bersama, agama- agama hendak melihat peristiwa kehidupan sehari-hari itu dari mata kemurahan Sang Ilahi. Kalau kesatuan Ilahi (tauhid) disebutkan dalam doa, itu berarti kemahakuasaan-Nya mutlak sehingga tak ada kekuasaan apa pun di bumi yang boleh mendaku mutlak. Kalau kasih Ilahi (Trinitas) dipanggil dalam doa, itu berarti Tuhan tak pernah berhenti mendorong manusia memilih jalan rekonsiliasi dalam hidupnya.

Dalam konteks keguncangan ekonomi global kini, doa agama- agama bisa bersama-sama mengaminkan berlimpahnya berkat- Nya, jauh dari sistem ekonomi global yang berasumsi dan beroperasi dengan prinsip kelangkaan. Pemberian Tuhan yang murah yang diaminkan agama-agama itu kiranya dilanjutkan dengan pengelolaan ekonomi yang bersifat kooperatif: semua dapat menikmati air, api (energi), dan tanah (sandang pangan).

Ekonomi yang bergerak dengan prinsip langka akan bersifat membedakan dan memprivatisa- sikan, lalu dalam sikap loba akan menimbun demi rasa aman sendiri. Namun, iman akan kemurahan-Nya yang melimpah tadi akan memberi sikap baru hidup ekonomi: bukan mengamankan diri sendiri yang terutama, tetapi menyediakan livelihood yang memberi sejahtera dan mata pencaharian bagi semua. ●

Agama dan Sikap terhadap Waria

Abdul Muiz Ghazali, ALUMNUS PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA, JOGJAKARTA
Sumber : JIL, 12 Desember 2011


“Kita membutuhkan tafsir keagamaan yang lebih menghargai dan memanusiakan kaum waria. Sebagaimana manusia lain, waria juga punya hak untuk mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan penindasan. Tak seluruh waria berperilaku seksual seperti dituduhkan sebagian kalangan. Banyak di antara para waria yang ahli ibadah, bekerja produktif, berpendidikan tinggi, bermoral baik, dan sebagainya.”

Waria dianggap meresahkan. Mereka diusir, dianiaya, dan dibunuh. Tak jarang pemerintah melalui aparaturnya seperti polisi dan satpol PP melakukan sejumlah penggerebekan terhadap waria. Tindak kekerasan dan diskriminasi tak pernah sirna dari kehidupan waria. Peminggiran bahkan tak hanya terhadap waria, tapi juga terhadap siapa saja yang mendampingi dan mendiskusikan tentang waria. Dengan demikian, tak banyak orang yang berani turun tangan mengadvokasi waria. Sebab, waria telah dipandang sebagai penyimpangan. Waria dianggap sumber maksiat dan kejahatan. Menurut kelompok kontra waria, Allah hanya menciptakan laki-laki dan perempuan, tidak waria.

Tak satu pun ayat al-Qur’an yang menyinggung jenis kelamin (identitas seks) selain laki-laki (al-dzakar) dan perempuan (al-untsa). Tetapi, dalam hadits disebut jenis kelamin lain yang dinamakan khuntsa, yakni seseorang yang mempunyai alat kelamin ganda (hermaphrodit). Kitab-kitab fikih telah banyak menyinggung soal hukum khuntsa ini, bahkan fikih telah mengajukan satu kategori lebih lanjut, yaitu khuntsa musykil, berikut postulat-postulat hukumnya. Dengan demikian, khuntsa bukan waria karena waria hanya memiliki satu alat kelamin: penis. Waria lebih tepat dipahami sebagai seorang laki-laki yang memiliki kecenderungan seksual perempuan. Kondisi seperti ini dalam hadits dinamakan mukhannats, yaitu laki-laki yang menyerupai perempuan.

Dalam hadits riwayat ‘Aisyah dikatakan bahwa seorang mukhannats pernah masuk ke ruangan istri-istri Nabi. Lalu Nabi tak menginginkannya. Nabi bersabda, “Tidakkah kamu lihat, mukhannats ini mengerti apa saja yang ada di sini. Maka, jangan masukkan mereka ke rumah kalian”. Setelah itu, istri-istri Nabi menghalangi mukhannats tersebut jika yang bersangkutan hendak memasuki rumah. (HR. Muslim). Menghadapi hadits ini, al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim coba membuat kategorisasi. Yaitu, mukhannats min khalqin (given) dan mukhannats bi al-takalluf (constructed). Pada yang pertama, menurut al- Nawawi, mereka tidak tercela dan tidak berdosa. Bergaul dengan mereka tidak dilarang. Sementara terhadap yang kedua, hukumnya dosa dan terlaknat.

Setarikan nafas dengan al-Nawawi adalah pendapat Ibn Hajar. Ia juga membagi mukhannats ke dalam dua bagian: min ashlil khilqah (tercipta sejak dalam janin) dan bil qashdi (lelaki yang dengan sengaja memoles dirinya dan berperilaku seperti perempuan). Menurut Ibn Hajar, jenis pertama tak terlaknat (ghair mal’un) tapi harus tetap diupayakan agar yang bersangkutan bisa mengubah diri menjadi lelaki sejati. Membiarkan dan merelakan diri dengan kondisi itu tanpa ada usaha, ia akan tetap mendapat celaan—celaan sosial juga teologis.

Pandangan al-Nawawi dan Ibn Hajar “diinspirasikan” oleh firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 5. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa penciptaan manusia itu ada yang sempurna (mukhallaqah) dan ada yang tak sempurna (ghair mukhallaqah). Mayoritas mufassir memahami ghair mukhallaqah ini sebagai ketidaksempurnaan secara jasmaniah, baik berupa keguguran maupun cacat. Ini wajar karena para mufassir hanya melihat apa yang ada saat itu dan ilmu pengetahuan masih belum berkembang seperti sekarang ini.

Namun, jika memperhatikan penjelasan kedokteran, kita akan menemukan penjelasan lain. Janin bermula dari zygote, penyatuan sperma dan ovum. Jika zygote mengandung satu kromosom X dari perempuan dan satu kromosom Y dari laki-laki, maka ia akan menjadi janin laki-laki. Sebaliknya, jika zygote terdiri dari kromosom X dari benih laki-laki dan satu kromosom X dari benih perempuan, maka ia akan menjadi janin perempuan.

Tapi, jika dalam zygote terjadi kombinasi tanpa mengalami pembelahan kromosom, maka si janin akan mengidap kelainan. Bukan hanya itu, ketika janin berusia delapan minggu akan tetapi kurang mendapat asupan testoteron ke otaknya, sekalipun berjenis kelamin laki-laki, maka secara kejiwaan, termasuk orientasi seksualnya, adalah perempuan.

Itu mungkin yang dimaksud ghair mukhallaqah dalam ayat tersebut. Sebab, dalam al-Qur’an terdapat penjelasan bahwa ada sebagian lelaki yang tidak berhasrat secara seksual dan tidak menginginkan untuk hidup bersama perempuan. Al Qur’an menamakannya sebagai ghair uli al-irbat min al rijal (QS., 24:31). Waria secara kejiwaan memang tidak memiliki hasrat untuk membangun rumah tangga dengan perempuan.

Sebaliknya, sebagaimana perempuan, waria menghendaki membangun rumah tangga bersama laki-laki. Ini hanya sedikit ayat yang bisa dipakai untuk merespons waria, bahwa waria adalah seorang lelaki yang sejak dalam janin memiliki “kelainan” otak atau jiwa (ghair mukhallaqah) yang tidak memiliki hasrat seksual sedikitpun terhadap wanita (ghair uli al-irbat).

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kedudukan waria dalam hukum Islam? Bagaimana tentang perilaku seksualnya? Sama-sama “berkelainan”, waria berbeda dengan khuntsa (hermaphrodit). Waria tak pernah menjadi diskursus dalam fikih Islam. Misalnya, tentang shalatnya, zakatnya, hajinya, dan hukum warisnya. Diskursus tentang waria selalu mengarah pada perilaku seksualnya. Waria (di)identik(kan) dengan sodomi atau liwath. Tentang sodomi ini, nyaris semua ulama mengharamkannya. Sodomi dianggap sebagai perilaku seksual abnormal, menjijikkan dan karena itu harus diajuhi.

Dalil yang menjadi sandaran keharamannya adalah al-Qur’an yang mengisahkan tentang kisah Nabi Luth (misalnya, QS., 7:80-81; 26:165-166; 27:54-55). Sejumlah hadits yang mengutuk perilaku kaum Luth juga banyak.

Namun sebagaimana zina, seluruh ulama memberi satu rambu bahwa tuduhan sodomi memerlukan empat saksi yang masing-masing saksi melihat dengan mata telanjang masing-masing, hubungan seksual itu dilakukan. Tanpa ada empat orang saksi, tuduhan itu tidak sah dan penuduhnya bisa mendapat hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali. Dengan perkataan lain, menuduh sodomi kepada waria tanpa menghadirkan empat orang saksi adalah qadzaf, sebuah tuduhan palsu yang notabene adalah tindak kriminal. Apalagi tak seluruh waria melakukan praktek sodomi. Tak sedikit di antara mereka, yang memandang bahwa sodomi adalah kejahatan. Karena itu, menghindari generalisasi terhadap perilaku seksual waria adalah jalan arif dan bijaksana.

Dalam kasus sodomi banyak waria mempertanyakan, kenapa hanya waria yang dipersalahkan. Kenapa publik tak juga menghukum para pria yang datang menghampiri para waria. Di sini tampak adanya diskriminasi dan ketidakadilan. Sebab, demikian waria beragumen, sodomi itu mengandaikan dua pihak: waria dan pria yang mendatangi. Para waria juga kerap bertanya, jika perilaku seksual waria dianggap menyimpang, mengapa orang ramai tak jua memandang perilaku pria yang menyodomi waria sebagai menyimpang.

Dengan penjelasan-penjelasan ini, kita membutuhkan tafsir keagamaan yang lebih menghargai dan memanusiakan kaum waria. Sebagaimana manusia lain, waria juga punya hak untuk mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan penindasan. Tak seluruh waria berperilaku seksual seperti dituduhkan sebagian kalangan. Banyak di antara para waria yang ahli ibadah, bekerja produktif, berpendidikan tinggi, bermoral baik, dan sebagainya. ●