Selasa, 22 Mei 2012

Agama sebagai Penjaga Moral

Deni Humaedi Achmad El-ghazali, PENELITI MUDA
INDONESIAN CULTURE ACADEMY (INCA), JAKARTA
SUMBER : SUARA KARYA, 9 Maret 2012



Agama akan kian hidup manakala perilaku amoral semakin menggila. Kedatangan tahun 2012 disambut begitu suka cita oleh seluruh lapisan masyarakat dan banyak harapan dipancangkan. Harapan tersebut berangkat dari peristiwa yang terjadi sepanjang 2011 baik yang mengecewakan maupun sebaliknya. Namun, harapan tersebut tampaknya jauh dari kenyataan sebab masih saja ada luka-luka yang menapak di tahun lalu menganga kembali di tahun ini.

Adalah kekerasan, bentrokan massa, pemerkosaan, pembunuhan sampai korupsi di kalangan elite pemerintah. Tak ayal, perilaku-perilaku demikian adalah bentuk tindakan amoral sudah menimbulkan kerugian bagi manusia, khususnya karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dibilang merugikan sebab bentuk amoral itu telah menodai hak asasi manusia (HAM). Sebut saja, korupsi yang dipraktikkan oleh beberapa elite pemerintah belakangan ini.

Dampak korupsi ini - meminjam istilah Frederich Bastiat - 'seperti apa yang terlihat dan yang tak terlihat' sekilas tampak ringan dan tak ada apa-apa tapi dampaknya sudah apa-apa sedemikian endemik. Perilaku korup yang dilakukan seorang elite saja bisa berakibat bagi nasib seluruh masyarakat. Tidak hanya satu instansi yang terkait yang dirugikan, tapi juga negara dan masyarakat keseluruhan. Dapat kita bayangkan betapa jahatnya apabila uang milik rakyat, untuk kepentingan rakyat, namun dengan mudah dirampok oleh koruptor demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Namun, di balik semua itu ada dampak luar biasa, yang melebihi dampak-dampak yang telah disebutkan tadi. Selain secara materiil telah merugikan negara dan masyarakat secara keseluruhan, korupsi semakin menggambarkan betapa telah luruh moral ideal yang dianut bangsa kita. Moral ideal tersebut adalah kejujuran yang merupakan cerminan kemanusiaan yang paling luhur. Moral kejujuran ini adalah muara untuk menetaskan etos kerja keras, tekun, dan kesabaran.

Ketika moral sudah ditinggalkan begitu saja dalam keseharian, yang tersisa hanyalah kerusakan-keretakan yang melekat di bangsa kita. Akhirnya, kita akan menjadi bangsa yang nirmoral. Pada posisi inilah, agama mesti menampilkan dirinya. Tidak hanya untuk mengembalikan moral yang sudan meluruh, agama dituntut untuk menghidupkan dan membumikan spirit moral tersebut dalam kehidupan berbangsa-bernegara.

Sekiranya sudah usang untuk membicarakan bahwa kehadiran agama akan semakin tenggelam, mati di era modernisasi seperti yang diramalkan oleh beberapa ilmuwan sosial khususnya dari barat. Memang, pada segi-segi tertentu betul bahwa agama seperti yang dikatakan beberapa kalangan pemerhati sosial-keagamaan dewasa ini, tidak perlu mengemuka ke dalam wilayah publik. Ia cukup saja menjadi ranah privat yang menjadi persoalan masing-masing individu. Terlebih, untuk memasuki ranah politik (baca, negara).

Di lain sisi, justru di era sekaranglah hidup disesaki dengan pluralitas nilai-nilai yang kian membuat kita semakin bingung untuk merujuk acuan dalam hidup. Terlebih, pluralitas nilai-nilai ini telah mengikis jati diri bangsa kita semisal moral kejujuran yang diganti dengan moral kebohongan (korupsi). Dalam gal ini, maka peran agama akan semakin diperlukan untuk menjawab pelbagai persoalan tersebut. Dengan maksud lain, untuk mencegah dan meminimalisasikan perilaku amoral tersebut maka secara serta merta orang akan kembali membutuhkan peran agama.

Pada dasarnya, seperti yang kita ketahui, tegaknya moral tidak hanya diinisiasi oleh agama saja. Ada moral-moral lain yang disepakati bersama yang menjadi acuan untuk pandangan dunia (worldview) yang disebut sebagai moral publik. Seterusnya untuk menjaga moral yang sudah disepakati bersama ini agar tidak dilanggar oleh individu atau kelompok tertentu, dibuatlah hukum sebagai penjaga moral.

Tetapi, sayangnya, meskipun ada hukum sebagai penjaga, tetap saja batas-batas moral ini ditabrak tanpa mempertimbangkan dampaknya. Kekerasan, bentrokan massa, pemerkosaan, pembunuhan, dan korupsi adalah resultan dari penabrakan moral publik tadi. Maka, sebagai konsekuensi yang paling "biadab" dari perilaku amoral ini adalah pembunuhan terhadap hak asasi manusia (HAM).

Karena, dampak perilaku amoral tersebut tidak boleh terulang lagi, agama dengan sendirinya harus semakin hidup dan bersiap menuntun bangsa ke arah yang lebih baik. Benar bahwa agama, sebagaimana yang dikatakan sosiolog Bryan Turner, adalah berfungsi sebagai perekat sosial. Kehadirannya, di samping mengajarkan melulu ibadah ritual, bisa mempererat hubungan sosial meski dilatari perbedaan suku, ras, adat, dan daerah yang berbeda.

Namun, kendati demikian, tak dapat dielakkan, bentrokan massa yang belakangan ini terjadi berangkat dari konflik antar-umat beragama pula. Hemat saya, inilah yang menjadi 'pekerjaan rumah (PR) yang harus diemban oleh para pemuka agama. Dengan kata lain, para pemuka agama harus dapat membawa agama manakala dihadapkan oleh pelbagai perilaku amoral atau konflik antar-umat beragama sendiri.

Karena itu, sudah saatnya para pemuka agama memikirkan secara lebih serius bagaimana agama bisa merespon berbagai tantangan zaman, baik yang bisa menghidupkan (positif) maupun yang bisa mengikiskan agama sendiri (negatif). Tetapi, untuk sampai ke arah itu, diperlukan sikap bijak yang harus dimiliki para pemuka agama. Artinya, mereka mesti menyampaikan ajaran keagamaan dengan rasional, terbuka, soft, santun ketimbang melulu doktrinal, kaku, tertutup, dan ekslusif.

Dengan demikian, agama secara pasti bisa memosisikan keberadaannya di tengah masyarakat. Karena itu, agama tidak boleh lagi dijadikan komoditas politisasi kekuasaan semata tetapi biarkan berperan sesuai fungsinya penjaga moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar