Kamis, 03 Mei 2012

Ujian dan Krisis Humanisme

Mudji Sutrisno; Budayawan, Guru Besar STF Driyarkara dan Universitas Indonesia
SUMBER : SINDO, 04 Mei 2012


Humanisme semenjak tampilnya dalam sejarah peradaban untuk menjunjung tinggi kemanusiaan selalu saja menemui tantangan.Tantangan utamanya adalah bentuk-bentuk sistem sosial dan politik yang mau mengobjekkan, menjadikan manusia bukan lagi sebagai subjek dalam hidup bersama.
Atau menjamurnya alasanalasan ideologis yang atas nama keyakinan atau mazhab pikiran maju ujung-ujungnya menaruh manusia hanya sebagai “alat”, instrumen, bahkan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan si pemegang ideologi itu sendiri. Tantangan berikutnya muncul manakala pikiran atau paham humanisme oleh lawannya dianggap terlalu “sekuler” dalam arti nirnilai religius,melulu nilai manusiawi sehingga mau dipaksa diganti dengan paham “humanisme religius” yang didasarkan dan diacukan pada alasan mengapa manusia berharga?

Karena ia wakil Allah atau gambar citra Allah dan ciptaan agung-Nya.Kehendak ini positif sejauh tidak terseret lalu meniadakan humanisme sekuler yang tetap terbuka berdialog serta mendasarkan dirinya pada posisi “manusia” sebagai manusia itu saja (baca: tanpa harus diembelembeli dan ditempeli alasan-alasan ideologis religius) dan tetaplah wajib serta harus dihormati (secara moral).

Dalam perjalanan peradaban itulah sesungguhnya terjadi “perang tanding” antara mereka yang setelah memegang “kekuasaan” sebagai rezim yang mengatur hidup bersama dalam sistem politik mau “mengelupas” ingatan atau memori kejahatan kemanusiaan dari sejarah sebuah bangsa dan peradabannya.

Karena merekalah pelaku kejahatan kemanusiaan itu sendiri dan berusaha menjadikan “lupa sejarah” sebagai program yang melupakan para korban, di satu pihak. Adapun di pihak lain, humanisme perjuangan kemanusiaan terus bangkit melawan “lupa”dan terus sadar diri bahwa tidak ada sebuah bangsa yang sehat dalam maju ke depan tanpa memberi keadilan pada pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan.

Dan baru setelah keadilan ditegakkan, rekonsiliasi mendapatkan ranah tumbuhnya untuk membangun lagi kemanusiaan yang saling hormat menghormati sesama manusia. Mengapa humanisme senantiasa mengalami ujiannya? Jawabnya ada pada soal bagaimana relasi kekuasaan dihayati. Artinya, “kekuasaan” sebagai potensi untuk mengatur orang lain dan kemampuan untuk mengemudikan sesama dalam sistem atau kemampuan individu itulah harus diperiksai dan dicermati bagaimana pelaksanaannya: humanis atau dehumaniskah?

Pada ranah kuasa inilah batu uji humanisme terlaksana. Dalam ranah hubungan atau relasi dengan sesama manusia secara “kuasa politis”, ekonomis, sosial, kultural inilah yang jadi pertaruhan dalam humanisme harus diukur. Ada tiga nilai pokok dalam humanisme. Pertama, menjunjung “anugerah Tuhan” pada akal budinya (rasionalitas). Kedua,kebebasan kehendak (libertas). Ketiga, keindividuan atau pribadinya sebagai subjek yang otonom atau mandiri (auto= sendiri dan nomos=putusan nurani sebagai norma).

Krisis Humanisme

Dalam perjalanan sejarah peradaban, krisis dan tantangan pertama terhadap humanisme berada di lapisan pertanyaan epistemik, yaitu pada ketika akal sehat manusia dan otonomi kehendak bebasnya sebagai individu pelaku sejarah dihadapkan pada kekerasan bom-bom yang dirancang oleh akal budi secara dingin untuk membunuh sesamanya.

Bagaimana ini mungkin secara rasional? Konstruksi politik kekuasaan yang dirancang sistematis logis dalam Perang Dunia I dan II yang membunuh sesama manusia, bagaimana bisa diterangkan secara akal budi? Oleh karena itulah Thomas Hobbes menyatakan bahwa biangnya ialah ranah relasi kuasa antarmanusia, yaitu Homo Homini Lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya yang mau saling mengerkah bila hasrat liar kuasa itu tidak diatur.

Ini pulalah yang oleh filsuf Indonesia diberi jalan keluar ranah relasi sosial yang humanis oleh (alm) Drijarkara dengan ajakan membangun hidup bersama sebagai sesama sahabat atau rekan (Homo Homini Socius). Tantangan atau ujian krisis pada humanisme yang kedua berada di lapisan eksistensial, menyangkut alasan dasar manusia berada di dunia dan hidup ini.Apa itu? Ternyata berhadapan dengan persoalan dasar tata kosmos sebagai tempat hidupnya dan eksistensi umat manusia, yang seharusnya dijaga, dirawat agar anak cucu bisa terus hidup di bumi ini.

Namun mengapa dirusak, dihancurkan? Humanisme rasional liberal dengan “kelihaian rasionalisasi visi dan sentralisasi manipulasi modal kapital” dengan sadar tega menguasai seluruh sumber-sumber alam hingga menghancurkan ekologi dan merusak tempat tinggal anak-anak manusia. Krisis yang ketiga berada pada lapisan “komunikasi antar manusia”. Dahulu dipromosikan gegap gempita oleh humanisme rasionalis bahwa proses bahasa merupakan komunikasi manusia-manusia rasional yangmengekspresikan kejujuran.

Mengapa ada krisis di sini? Karena kini makna kata dan bahasa mulai dari wacana, tulisan, visual, makna hingga arti kebenarannya serta isinya ditentukan oleh mereka yang mempunyai kuasa membuat, menafsir,dan mengomunikasikan bahasa dalam monopoli tafsiran. Tidak hanya itu, dengan kapitalnya mereka menguasai pusat-pusat pendidikan komunikasi “hanya demi pemenangan kepentingan penguasa” dan bukan demi pencerahan sebagai nilai peradaban manusia.

Pada lapisan yang ketiga inilah lapisan “teks” serta tafsir “konteks(tual)”, krisis, dan ujian terhadap humanisme menjadi semakin tajam. Karena tidak terjadi komunikasi antara manusia yang setara dalam memberi makna secara bersama- sama mengenai “hidup bersama”. Secara logis akal sehat, pertanyaan berikut yang menyusul adalah: sedang “mati lemaskah” humanisme berhadapan dengan tiga gugatan lapisanlapisan di atas?

Humanisme Baru

Di balik tantangan dan pertanyaan kritis atas krisis humanisme di atas, sebenarnya, yang krisis itu teks besar humanisme yang berpretensi mau menyelesaikan rumit ruwetnya persoalan kemanusiaan dalam skala semesta universal. Sementara di teks-teks kecil dengan keragaman kebijaksanaan hidup “lokal”— dalam ungkapan kisah-kisah life wisdom pepatah, peribahasa, kisah rakyat jelata, tradisi lisan, tulisan dan rupa-rupa saga, dongeng yang sarat petunjuk hidup bijaksana untuk manusia dengan alamnya, dengan sesama, dengan Yang Suci—di lapisan-lapisan ini sesungguhnya tidak pernah krisis.

Bila yang mendapatkan ujian ada di penafsiran teks besar, maka jawaban solusinya harus dicari pada penghayatan induktif sehari-hari di ranah day by day life wisdom. Munculnya kembali penghidupan dan “revitalisasi” pikiran- pikiran bijak, kearifan-kearifan ajaran hidup bijaksana yang akrab alam, akrab sesama, dan akrab bumi dari berbagai aneka anak bangsa dengan oase-oase kulturalnya mampu mewujudkan “humanisme baru” pascaujian dan tantangan. Ada tiga ciri humanisme baru ini.

Pertama, dalam berhadapan dan berada di struktur relasi kekuasaan ekonomis kapital dan politis yang mau menghimpitnya, humanisme baru menapaki jalan kultural. Artinya, saat ekonomisasi menghargai orang secara ekstremnya hanya sebagai alat dan hanya dengan nilai uang, maka muncul perjuangan pemberontakan kultural pemanusiawian kembali melalui identitas kultural untuk sebuah kehidupan bersama yang lebih manusiawi dengan pencarian identitas ragam budaya yang dikenal sebagai “multikulturalisme”.

Kedua, ada pada perjuangannya mengenai visi pemuliaan manusia dengan harkat dan nilainya, tetapi sudah mengoreksi diri tak hanya memutlakkan rasionalitas dan libertasnya saja, tetapi terbuka dan lintas ilmu: transdisipliner. Monopoli tafsir kebenaran sentralistis teks besar dikoreksi menuju kebenaran yang saling memaknai lintas dengan kesadaran relatif akan kebenaran.

Ketiga, humanisme baru ini ada pada aksi dan renung olah refleksi dan praksisnya dalam konteks saling belajar antar- ”teks” secara dinamis untuk mencari wujud dijunjungnya “harkat manusia”.Di sini tidak ada lagi monopoli tafsir teks individualis ketika ego otonomi individu dianggap paling benar dan paling bernilai, sementara “teks kolektivis” dianggap tidak benar.

Keterbatasan antagonisme, perlawanan dikotomi ditengahi dengan “dialektika” (tesis versus antitesis untuk sintesis), lalu diproses saling membuahi dalam “osmosis”. Tapi antarteks tetap memberikan sumbangannya permaknaan dan nilai pemuliaan manusia dan hidupnya. Ciri ketiga yang penting ini misalnya bisa dilaksanakan dengan menaruh “teks seni” pada praksis. Maksudnya, mematung pahat atau menari jangan hanya dikurikulumkan sebagai hafalan kognitif.Teks seni harus dihidupi dalam “rasa” (intuisi seni).

Dengan kata lain, proses berkesenian mestilah proses mencipta karya. Sebagai penutup, keindonesiaan adalah proses memperjuangkan pemuliaan harkat manusia Indonesia yang ditenun sebagai proses kultural dari sumbangan-sumbangan keragaman lokalitas dengan kearifan kebijaksanaan budaya hidup yang dimilikinya. Maka krisis sulitnya saling memercayai kembali di antara kita dan sering teganya kita “memperalat sesama” untuk kepentingan kuasa kita, semogalah tahan uji dalam tantangannya.

Sebab sejak awal berdirinya Republik Indonesia para pendiri negeri ini sudah memberi dasar pokok proses membangsanya dalam cita dan visi “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sebuah cita-cita dan visi proses humanisme Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar