Oleh Jose Marwan
Setiap detik, iklan-iklan di
media cetak, elektronik dan internet, membombardir limitasi kebutuhan kita. Apa
yang disebut “cukup” ditarik ke wilayah ekstrem sampai titik “puas”. Realitas,
dalam iklan, disulap menjadi hiper-realitas, yang terkesan mengada-ada,
imajinatif, yang memuaskan hasrat.
Apalagi bulan-bulan ini, kita
dikelilingi oleh baliho dan suguhan iklan politik, yang semuanya memancarkan
hasrat akan kuasa. Tak bisa ingkar, kita sekarang hidup di ruang yang memuja
hasrat. Kisah manusia-manusia agung dan bijaksana yang digerakkan akal budinya
(Homo Sapiens), sekarang telah banyak berubah menjadi manusia-manusia bebas
yang digerakkan hasratnya (Homo Desiderare).
Dalam berbagai mitologi Yunani kuno, hasrat ini
terbentuk dari dua lapisan, karnal dan libidinal (Alfatari Alin, 2006:95).
Karnal adalah hasrat tubuh yang sifatnya materi, sementara libidinal adalah
hasrat tubuh yang sifatnya non-materi. Misalnya, secara karnal saya
menghasratkan sebuah HP model terbaru, agar secara libidinal saya memiliki
kepercayaan diri ketika menentengnya di depan teman-teman.
Di era bangkitnya dominasi hasrat, manusia
dianggap, semata-mata, makhluk yang dipenuhi, bahkan terbentuk dari hasrat.
Jacques Lacan, pemikir terkenal di awal era posmodernisme ini, misalnya
mengatakan kalau ego kita dibentuk oleh hasrat. Dengan demikian, kita tidak
mungkin lepas dari hasrat, justru kitalah yang terkurung dalam hasrat. Deleuze
& Guattari juga merangkumkan manusia sebagai “Desire Machine” (1999:28)
yang kita terima sejak lahir ke dunia ini. Agama, negara dan keluarga, adalah
tiga institusi yang selama ini memenjarakan hasrat. Karena itu, pengikut aliran
ini memproklamasikan diri untuk menjadi atheist, anarchist dan orphan.
Sadar atau tidak, manusia nyatanya
terapung-apung di antara dua pulau yang bernama kehendak Tuhan (Will) dan
hasrat diri (Desire). Mana yang dipilih, mana yang diutamakan? Agama memberi
koridor, hasrat itu dosa, mengikutinya akan celaka. Manusia-manusia
dunia berpikir lain, hasrat itu nikmat, mengikutinya membuat hidup terasa
menyenangkan. Atau pada sintesis yang membahayakan, banyak manusia beragama
yang motivasinya untuk memenuhi hasratnya sendiri, dengan mengatasnamakan
kehendak Tuhan.
Di sini, bukan lagi Tuhan yang
menciptakan kita, tetapi kita yang menciptakan Tuhan, seperti hasrat kita.
Sikap inilah yang dikecam Yesus, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti
kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya,
tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.”
(Matius 23:27)
Tak Lekat
Meister Echart, mistikus Kristen
terbesar di abad pertengahan, barangkali bisa memberi cahaya pada persoalan
ini. Ia mengatakan kalau kita harus mengosongkan diri dari hasrat. Manusia
harus meniadakan hasratnya (Desire), dan dengan demikian, memberi ruang kosong
kepada Tuhan untuk berkehendak (Will). Jika jiwa manusia sudah penuh dengan
hasratnya sendiri, Tuhan tak mungkin tinggal di sana .
“Kosongkan dirimu, maka kamu akan dipenuhi,” demikian Echart, mengutip
Agustinus dari Hippo. Echart selanjutnya mengatakan, “Bila Tuhan diharapkan
masuk, maka makhluk harus keluar.”
Dasar biblis pokok ajaran Echart,
bersumber pada Matius 21:12 yang
mengisahkan tindakan Yesus menyucikan Bait Allah. Dalam perikop itu diceritakan
bagaimana Yesus dengan sangat marah (simbolisasi kehendak-Nya yang sangat
tinggi) mengusir pada pedagang yang berjual-beli di Kenisah Allah. Yesus
membalikkan meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati sembari
berkata, “Rumahku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang
penyamun.”
Bagi Echart, kenisah Allah adalah
simbol mistik jiwa manusia. Jiwa kita ini harus dibersihkan dari hasrat
“berdagang”, hasrat “berjual-beli”, hasrat “mencari untung semata”, hasrat
“barter”, dengan Tuhan. Jika jiwa kita ini dipenuhi dengan merkantilisme
rohani, maka Tuhan tak ubahnya biro jasa asuransi yang akan melindungi kerugian
karena “tindakan derma” kita, atau biro perbankan yang akan memberi bunga jasa
ketika kita sudah “menabung perbuatan baik”. Banyak orang baik dalam agama,
yang berdoa, berpuasa, membantu sesama, tetapi ujungnya melakukan lobi kepada
Tuhan agar Dia memenuhi hasrat tersembunyi kita seperti rasa aman, berkat,
pahala dan surga. “Sebagai pedagang, mereka berbuat seperti dalam ungkapan, quid pro quo, yang penuh semangat
duniawi. Sebagai bentuk ketaatan mereka, para pedagang menginginkan dan
mengharapkan imbalan dari Tuhan.” (Syafa’atun, 2009:183). Dengan cara demikian,
mereka melakukan tawar-menawar dengan Tuhan.
Maka, semangat hidup yang
dianjurkan Echart adalah sikap tak lekat dengan hasrat (abegescheidenheit).
Orang harus hidup tanpa alasan “mengapa”, seperti bunga mawar yang mekar di
kebun, ia mekar bukan karena ingin dilihat dan dipuji orang, ia mekar begitu
saja. Sama dengan kisah “Burung Berkicau” Anthony de Mello SJ, kenapa burung
berkicau, karena ia ingin berkicau, bukan karena ingin didengar dan dipuji
orang. Hidup dalam wilayah ketiadaan hasrat, ibarat sebuah kenisah kosong tanpa
pedagang di dalamnya, dan rumah ini adalah rumah yang nyaman untuk berdoa,
sebab Tuhan menjadi Tuhan dan manusia menjadi manusia, bukan sebaliknya.
Lebih Berharga dari Batu Permata
Dalam kerohanian Kristen,
pemenuhan hasrat diri tidak mendapat tempat. Ketika motivasi para murid Yesus
mulai bergeser, setelah melihat popularitas Yesus, dan seolah-olah mereka
memimpikan akan menjadi orang penting dalam kerajaan yang akan didirikan-Nya,
maka dengan sangat keras Ia mengatakan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia
harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Matius 16:24).
Bukan jabatan, kuasa, berkat berlimpah, tapi salib sebagai simbol penyangkalan
hasrat diri, itulah yang akan diterima bagi siapa saja yang ikut Yesus.
Pernyataan ini sangat keras! Dan
ketika para murid belum juga paham dengan apa yang dimaksud Yesus, mereka telah
melihat Sang Guru memberi contoh sendiri apa itu penyangkalan hasrat diri,
dengan tergantung di salib. “….tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki,
melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Matius 26:39). Praktik keras
penyangkalan diri ini kemudian diteruskan oleh para rahib dan biarawan, yang
menjalani kehidupannya dengan tindakan agere contra, suatu sikap penolakan
terhadap segala hasrat diri. Orang-orang ini melakukan apa yang tidak mereka
hasratkan, dan tidak melakukan apa yang mereka hasratkan.
Dalam suatu kisah, setelah Perang
Badr, perang terbesar dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad mengatakan, “Kita
sekarang akan menghadapi perang yang lebih besar lagi.” Maka para sahabatnya
heran, perang apa lagi yang lebih besar dari Perang Badr? “Perang melawan
hasrat diri sendiri. Itulah jihad terbesar,” kata Nabi. Kisah indah lainnya
adalah apa yang diceritakan tentang Ali, prajurit dan khalifah Islam yang
agung. Sebagai pemimpin pasukan muslim, Ali harus berhadapan langsung dengan
musuh. Dalam sebuah pertempuran, Ali menjatuhkan lawannya. Dia melompat ke dada
musuhnya, mengangkat pedangnya. Tapi,
tiba-tiba Ali tidak jadi membunuh musuh itu, ia pergi menjauh. Maka pasukannya
bertanya kepadanya, “Mengapa Anda tidak membunuhnya?” Jawab Ali, “Karena orang
itu meludahi saya, dan saya jadi marah. Kalau saya membunuh dia karena marah,
berarti bukan karena Islam.”
Begitulah, seseorang yang
berhasrat untuk berkuasa, harus memulainya dengan menguasai dirinya sendiri.
Seseorang yang merdeka, bukan yang melampiaskan hasratnya tapi yang meniadakan
hasratnya. Coba kita renungkan kisah ini: Ada
seorang wanita bijak yang tengah melakukan perjalanan di pegunungan menemukan
sebuah batu berharga di sebuah sungai kecil, dan ditaruhnya batu itu ke dalam
tas. Hari berikutnya, wanita itu berjumpa dengan seorang pengelana lainnya yang
sedang kelaparan. Wanita bijak itu membuka tasnya untuk membagikan makanannya.
Si pengelana yang kelaparan melihat batu berharga itu dan memintanya dari
wanita bijak itu. Wanita bijak
itu memberikannya tanpa ragu-ragu. Si pengelana itu berlalu, merasa gembira
dengan keberuntungannya. Dia tahu bahwa batu berharga itu cukup bernilai untuk
memberinya rasa aman seumur hidupnya.
Tapi, beberapa hari kemudian, si pengelana itu
datang lagi untuk mengembalikan batu tersebut kepada si wanita bijak. “Saya
telah berpikir,” demikian kata lelaki pengelana, “Saya tahu betapa bernilainya
batu ini, tetapi saya mengembalikannya dengan harapan bahwa Anda bisa memberi
saya sesuatu yang jauh lebih berharga. Berikanlah apa yang Anda miliki dalam
diri Anda yang membuat Anda mampu memberikan batu ini kepada saya.”
Hidup tak lekat, lepas bebas,
kosong, meniadakan hasrat kuasa dan memiliki, jauh lebih berharga dari “batu
permata”.
Penulis adalah penikmat
spiritualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar