Kamis, 15 Maret 2012

“Homo Desiderare”-Tentang Hasrat, Sinar Harapan


Oleh Jose Marwan

Setiap detik, iklan-iklan di media cetak, elektronik dan internet, membombardir limitasi kebutuhan kita. Apa yang disebut “cukup” ditarik ke wilayah ekstrem sampai titik “puas”. Realitas, dalam iklan, disulap menjadi hiper-realitas, yang terkesan mengada-ada, imajinatif, yang memuaskan hasrat.

Apalagi bulan-bulan ini, kita dikelilingi oleh baliho dan suguhan iklan politik, yang semuanya memancarkan hasrat akan kuasa. Tak bisa ingkar, kita sekarang hidup di ruang yang memuja hasrat. Kisah manusia-manusia agung dan bijaksana yang digerakkan akal budinya (Homo Sapiens), sekarang telah banyak berubah menjadi manusia-manusia bebas yang digerakkan hasratnya (Homo Desiderare).

Dalam berbagai mitologi Yunani kuno, hasrat ini terbentuk dari dua lapisan, karnal dan libidinal (Alfatari Alin, 2006:95). Karnal adalah hasrat tubuh yang sifatnya materi, sementara libidinal adalah hasrat tubuh yang sifatnya non-materi. Misalnya, secara karnal saya menghasratkan sebuah HP model terbaru, agar secara libidinal saya memiliki kepercayaan diri ketika menentengnya di depan teman-teman.

Di era bangkitnya dominasi hasrat, manusia dianggap, semata-mata, makhluk yang dipenuhi, bahkan terbentuk dari hasrat. Jacques Lacan, pemikir terkenal di awal era posmodernisme ini, misalnya mengatakan kalau ego kita dibentuk oleh hasrat. Dengan demikian, kita tidak mungkin lepas dari hasrat, justru kitalah yang terkurung dalam hasrat. Deleuze & Guattari juga merangkumkan manusia sebagai “Desire Machine” (1999:28) yang kita terima sejak lahir ke dunia ini. Agama, negara dan keluarga, adalah tiga institusi yang selama ini memenjarakan hasrat. Karena itu, pengikut aliran ini memproklamasikan diri untuk menjadi atheist, anarchist dan orphan.

Sadar atau tidak, manusia nyatanya terapung-apung di antara dua pulau yang bernama kehendak Tuhan (Will) dan hasrat diri (Desire). Mana yang dipilih, mana yang diutamakan? Agama memberi koridor, hasrat itu dosa, mengikutinya akan celaka. Manusia-manusia dunia berpikir lain, hasrat itu nikmat, mengikutinya membuat hidup terasa menyenangkan. Atau pada sintesis yang membahayakan, banyak manusia beragama yang motivasinya untuk memenuhi hasratnya sendiri, dengan mengatasnamakan kehendak Tuhan.

Di sini, bukan lagi Tuhan yang menciptakan kita, tetapi kita yang menciptakan Tuhan, seperti hasrat kita. Sikap inilah yang dikecam Yesus, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.” (Matius 23:27)

Tak Lekat

Meister Echart, mistikus Kristen terbesar di abad pertengahan, barangkali bisa memberi cahaya pada persoalan ini. Ia mengatakan kalau kita harus mengosongkan diri dari hasrat. Manusia harus meniadakan hasratnya (Desire), dan dengan demikian, memberi ruang kosong kepada Tuhan untuk berkehendak (Will). Jika jiwa manusia sudah penuh dengan hasratnya sendiri, Tuhan tak mungkin tinggal di sana. “Kosongkan dirimu, maka kamu akan dipenuhi,” demikian Echart, mengutip Agustinus dari Hippo. Echart selanjutnya mengatakan, “Bila Tuhan diharapkan masuk, maka makhluk harus keluar.”

Dasar biblis pokok ajaran Echart, bersumber pada Matius 21:12 yang mengisahkan tindakan Yesus menyucikan Bait Allah. Dalam perikop itu diceritakan bagaimana Yesus dengan sangat marah (simbolisasi kehendak-Nya yang sangat tinggi) mengusir pada pedagang yang berjual-beli di Kenisah Allah. Yesus membalikkan meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati sembari berkata, “Rumahku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”

Bagi Echart, kenisah Allah adalah simbol mistik jiwa manusia. Jiwa kita ini harus dibersihkan dari hasrat “berdagang”, hasrat “berjual-beli”, hasrat “mencari untung semata”, hasrat “barter”, dengan Tuhan. Jika jiwa kita ini dipenuhi dengan merkantilisme rohani, maka Tuhan tak ubahnya biro jasa asuransi yang akan melindungi kerugian karena “tindakan derma” kita, atau biro perbankan yang akan memberi bunga jasa ketika kita sudah “menabung perbuatan baik”. Banyak orang baik dalam agama, yang berdoa, berpuasa, membantu sesama, tetapi ujungnya melakukan lobi kepada Tuhan agar Dia memenuhi hasrat tersembunyi kita seperti rasa aman, berkat, pahala dan surga. “Sebagai pedagang, mereka berbuat seperti dalam ungkapan, quid pro quo, yang penuh semangat duniawi. Sebagai bentuk ketaatan mereka, para pedagang menginginkan dan mengharapkan imbalan dari Tuhan.” (Syafa’atun, 2009:183). Dengan cara demikian, mereka melakukan tawar-menawar dengan Tuhan.

Maka, semangat hidup yang dianjurkan Echart adalah sikap tak lekat dengan hasrat (abegescheidenheit). Orang harus hidup tanpa alasan “mengapa”, seperti bunga mawar yang mekar di kebun, ia mekar bukan karena ingin dilihat dan dipuji orang, ia mekar begitu saja. Sama dengan kisah “Burung Berkicau” Anthony de Mello SJ, kenapa burung berkicau, karena ia ingin berkicau, bukan karena ingin didengar dan dipuji orang. Hidup dalam wilayah ketiadaan hasrat, ibarat sebuah kenisah kosong tanpa pedagang di dalamnya, dan rumah ini adalah rumah yang nyaman untuk berdoa, sebab Tuhan menjadi Tuhan dan manusia menjadi manusia, bukan sebaliknya.

Lebih Berharga dari Batu Permata

Dalam kerohanian Kristen, pemenuhan hasrat diri tidak mendapat tempat. Ketika motivasi para murid Yesus mulai bergeser, setelah melihat popularitas Yesus, dan seolah-olah mereka memimpikan akan menjadi orang penting dalam kerajaan yang akan didirikan-Nya, maka dengan sangat keras Ia mengatakan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Matius 16:24). Bukan jabatan, kuasa, berkat berlimpah, tapi salib sebagai simbol penyangkalan hasrat diri, itulah yang akan diterima bagi siapa saja yang ikut Yesus.

Pernyataan ini sangat keras! Dan ketika para murid belum juga paham dengan apa yang dimaksud Yesus, mereka telah melihat Sang Guru memberi contoh sendiri apa itu penyangkalan hasrat diri, dengan tergantung di salib. “….tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Matius 26:39). Praktik keras penyangkalan diri ini kemudian diteruskan oleh para rahib dan biarawan, yang menjalani kehidupannya dengan tindakan agere contra, suatu sikap penolakan terhadap segala hasrat diri. Orang-orang ini melakukan apa yang tidak mereka hasratkan, dan tidak melakukan apa yang mereka hasratkan.

Dalam suatu kisah, setelah Perang Badr, perang terbesar dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad mengatakan, “Kita sekarang akan menghadapi perang yang lebih besar lagi.” Maka para sahabatnya heran, perang apa lagi yang lebih besar dari Perang Badr? “Perang melawan hasrat diri sendiri. Itulah jihad terbesar,” kata Nabi. Kisah indah lainnya adalah apa yang diceritakan tentang Ali, prajurit dan khalifah Islam yang agung. Sebagai pemimpin pasukan muslim, Ali harus berhadapan langsung dengan musuh. Dalam sebuah pertempuran, Ali menjatuhkan lawannya. Dia melompat ke dada musuhnya, mengangkat pedangnya. Tapi, tiba-tiba Ali tidak jadi membunuh musuh itu, ia pergi menjauh. Maka pasukannya bertanya kepadanya, “Mengapa Anda tidak membunuhnya?” Jawab Ali, “Karena orang itu meludahi saya, dan saya jadi marah. Kalau saya membunuh dia karena marah, berarti bukan karena Islam.”

Begitulah, seseorang yang berhasrat untuk berkuasa, harus memulainya dengan menguasai dirinya sendiri. Seseorang yang merdeka, bukan yang melampiaskan hasratnya tapi yang meniadakan hasratnya. Coba kita renungkan kisah ini: Ada seorang wanita bijak yang tengah melakukan perjalanan di pegunungan menemukan sebuah batu berharga di sebuah sungai kecil, dan ditaruhnya batu itu ke dalam tas. Hari berikutnya, wanita itu berjumpa dengan seorang pengelana lainnya yang sedang kelaparan. Wanita bijak itu membuka tasnya untuk membagikan makanannya. Si pengelana yang kelaparan melihat batu berharga itu dan memintanya dari wanita bijak itu. Wanita bijak itu memberikannya tanpa ragu-ragu. Si pengelana itu berlalu, merasa gembira dengan keberuntungannya. Dia tahu bahwa batu berharga itu cukup bernilai untuk memberinya rasa aman seumur hidupnya.

Tapi, beberapa hari kemudian, si pengelana itu datang lagi untuk mengembalikan batu tersebut kepada si wanita bijak. “Saya telah berpikir,” demikian kata lelaki pengelana, “Saya tahu betapa bernilainya batu ini, tetapi saya mengembalikannya dengan harapan bahwa Anda bisa memberi saya sesuatu yang jauh lebih berharga. Berikanlah apa yang Anda miliki dalam diri Anda yang membuat Anda mampu memberikan batu ini kepada saya.”

Hidup tak lekat, lepas bebas, kosong, meniadakan hasrat kuasa dan memiliki, jauh lebih berharga dari “batu permata”.

Penulis adalah penikmat spiritualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar