MEMBANGUN rumah itu mudah. Yang sulit adalah membangun rumah
tangga. Ungkapan ini rasanya selalu saja aktual dan mengajak kita untuk selalu
mawas diri,melakukan evaluasi kondisi dan perkembangan rumah tangga kita.
Sosok seorang ayah atau ibu,misalnya,andaikan meninggal
dunia tak akan terpengaruh. Namun, mesti disadari, ayah dan ibu adalah dunia
bagi anak-anaknya.Mimpi-mimpi dan harapan masa depan anak-anak sangat
dipengaruhi dan dikondisikan oleh orang tua mereka. Banyak orang tua sibuk bekerja dari pagi sampai
malam dengan alasan demi anak dan keluarga.
Mereka
berusaha mengejar dan mengumpulkan uang demi anak. Namun benarkah semakin
banyak uang terkumpul semakin terpenuhi dan terpuaskan kebutuhan anak dan
keluarga di rumah? Yang terjadi kadang sebaliknya.Ketika orang tua,khususnya
seorang ayah atau suami,tidak mengenal waktu dalam mencari uang, ternyata
anak-anak semakin merasa jauh dari ayahnya.Waktu yang mesti digunakan untuk
bercengkerama bersama keluarga di rumah telah terampas untuk bekerja di luar
sehingga dalih siang-malam bekerja demi anak, tidak lagi valid.
Hasil
penelitian psikologi sosial menunjukkan, seorang pemimpin yang sukses tidak
cukup hanya diukur dengan penampilannya yang bagus dan meyakinkan di luar
rumah, melainkan pula harus dilihat kepemimpinannya dalam rumah tangga. Di
dalam kehidupan rumah tangga itulah keaslian karakter seseorang akan terlihat.
Kata psikolog,yang lebih mengetahui karakter seseorang adalah orang-orang
terdekatnya, terutama anak dan pasangan hidupnya.
Bagaimana
perilaku dan tutur katanya, bagaimana diamnya, bagaimana makannya dan sekian
aspek lain yang spontan dan polos,di situlah akan ketahuan karakter seseorang
yang asli. Ada teori lain, kalau ingin tahu karakter seseorang, perhatikan saja
bagaimana orang itu memperlakukan pembantu rumah tangga dan sopirnya. Dari
mulut sopir sering kali muncul penilaian dan pengalaman yang jujur tentang
atasannya. Saya sendiri sering kaget mendengar komentar sopir tentang bosnya.
Misalnya saja senang membentak- bentak,pelit bilang “terima
kasih” dan seakan pantangan berkata “mintamaaf”kepadasopirnya. Karena
penampilan di luar rumah selalu menggunakan “topeng” agar tampak baik dan manis
di depan umum, padahal itu dilakukan untuk menutupi bopeng-bopengnya, tidak
aneh kalau tiba-tiba ada berita rumah tangganya berantakan.
Muncul berita anak seorang pejabat tinggi terlibat
penggunaan narkoba, terlibat manipulasi uang, dan sekian tindakan negatif yang
di luar dugaan masyarakat. Sekarang ini beban dan tantangan membina rumah
tangga semakin berat dibandingkan dengan generasi orang tua kita. Masyarakat
kian konsumtif. Berapa pun penghasilan seseorang akan selalu dirasa kurang
begitu masuk mal atau showroom mobil.
Pasangan suami-istri sekarang memang lebih menikmati
kebebasan untuk mengembangkan karier masingmasing. Namun itu semua bukannya
gratis. Ongkos sosialnya kadang kala amat tinggi.Waktu berkumpul bersama
anak-anak menjadi kurang.Belum lagi ketika tiap anggota keluarga pulang ke
rumah membawa beban dan problem, lalu tidak ada forum yang kondusif untuk
saling berbagi membantu mencari solusi. Sampaidirumahmasing-masing masuk gua.
Menutup kamar dan menyendiri.Teman setianya adalah komputer
atau telepon. Secara fisik mereka berdekatan, tetapi tidak terjadi dialog.
Justru orang yang jauh secara fisik adakalanya menjadi dekat melalui komunikasi
telepon.Fenomena ini semakin jamak terjadi.Akhirnya, orang tua semakin tidak
mengenal anak-anaknya dan anak-anak memandang orang tua tak lebih sebagai ATM
atau bendaharanya.
Demikianlah, membangun rumah tangga ternyata jauh lebih
berat ketimbang membangun rumah tempat tinggal. Salah satu ukuran rumah tangga
yang baik adalah yang dari situ muncul generasi unggul yang siap menjunjung
tinggi martabat orang tua dan bangsanya. Rumah tangga yang sukses adalah yang
memberikan inspirasi serta keteladanan bagi keluarga besarnya dan
lingkungannya.
Jadi, orang tua yang sukses tidak ada sekolahnya.Seseorang
harus selalu belajar dari kehidupan untuk selalu mengurangi dan memperbaiki
kesalahannya. Sampai kapan pun kita dituntut untuk selalu belajar dan belajar.
Kita belajar memegang janji dan menghargai pasangan hidup.Satu hal yang pasti,
mengkhianati teman dekat saja sudah amat tercela, apalagi mengkhianati pasangan
hidup yang diikat dengan nama Tuhan.(*)
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar