Penderitaan? Tidak seorang pun menginginkannya! Orang bahkan
rela melakukan apa pun demi menghindarinya. Tetapi, ini celakanya, penderitaan
adalah bagian dari proses perjalanan hidup kita manusia.
Penderitaan menyerang kita dari segala arah dan dari segala
situasi. Penderitaan bisa muncul dari mana saja. Ada
yang muncul karena bencana alam. Ada
yang berasal dari kejahatan atau kelengahan orang lain. Ada yang menderita karena diserang virus atau
binatang tertentu, dan ada juga penderitaan yang muncul karena diri sendiri.
Bentuk penderitaan pun beraneka ragam. Ada
yang berupa sakit penyakit, tabrakan, dipecat dari pekerjaan, putus cinta,
konflik keluarga, gagal dalam karier, kemiskinan, atau bahkan karena
kekayaannya.
Orang miskin menderita kecemasan karena
ketiadaan makanan, sementara banyak orang kaya menderita kepanikan ketika tahu
harga saham anjlok. Jadi, kita semua pasti pernah mengalaminya.
Seorang ibu jatuh sakit sampai harus
mendapatkan perawatan di rumah sakit. Penyebabnya ia cemas terhadap keselamatan
anaknya yang kuliah di luar negeri. Ibu yang lain, kena serangan jantung dan
darah tinggi karena anaknya tidak mau sekolah di mana-mana.
Seorang teman saya menderita stres berat
ketika dokter, yang kepadanya dia berkonsultasi, mengatakan bahwa kemungkinan
besar dia terkena kanker. Dia sulit makan dan minum sampai beberapa hari. Berat
tubuhnya berkurang drastis.
Dia makin menderita ketika kelurganya ikut
stres dan menangis terus seolah dia sudah pasti mati. Ketika akhirnya dia
memutuskan ke dokter lain untuk mendapatkan second opinion, ternyata dia
dinyatakan terkena penyakit lain, yang relatif lebih ringan, dan bukan kanker!
Stresnya pun lenyap. Penderitaannya jauh berkurang. Dia sudah bisa makan dan
minum seperti biasa!
Penderitaan itu menakutkan. Oleh karena itu,
orang sering menggunakan segala cara untuk menghindarinya. Alasan para koruptor
mengorupsi uang rakyat mungkin bukan terutama karena mau menjadi kaya, tetapi
karena takut miskin.
Alasan lain
mungkin takut menderita karena tidak mampu membeli barang yang dikehendakinya.
Memang, kehendak adalah salah satu sumber penderitaan.
Jangan Menghakimi
Ketika Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya
bahwa Dia harus menanggung banyak penderitaan dan bahkan dibunuh, Petrus
menarik Yesus ke samping dan menegur-Nya. Petrus tidak bisa menerima kenyataan
bahwa Yesus harus menderita.
Bagi Petrus, dan
bagi banyak orang lainnya, penderitaan sering dianggap sebagai kutukan dari
Allah. Paradigma seperti Petrus ini membuat orang cenderung menghakimi orang
lain yang dirundung penderitaan ketimbang menolongnya.
Hal seperti itu pernah terjadi ketika tsunami
melanda Aceh. Saat itu banyak orang yang melihat tsunami sebagai ekspresi
kemarahan Allah kepada orang Aceh yang dianggap berlumuran dosa. Sebagai
pengganti menolong masyarakat Aceh yang menderita, orang-orang ini justru
menghakimi orang Aceh yang jadi korban tsunami.
Yesus balik menegur Petrus dengan sangat keras
(Markus 8:33). Melalui teguran-Nya, Yesus membuka perspektif baru yaitu bahwa
jangan terlalu mudah menilai penderitaan sesama sebagai wujud kutukan Allah.
Sebaliknya, bagi Yesus penderitaan justru
diizinkan Allah untuk suatu tujuan tertentu yang Allah rencanakan dan
kehendaki. Oleh karena itu, penderitaan bukanlah untuk diratapi.
Orang yang
menderita tidak lagi harus dihakimi atau dikutuki. Lebih baik mulai membangun
pendekatan yang lebih manusiawi terhadap mereka yang menderita dengan cara
membangun solidaritas dan bela rasa terhadap mereka. Orang yang menderita lebih
membutuhkan cinta daripada penghakiman!
Malah Mensyukuri
Pertanyaan yang paling penting adalah: apa
sikap yang sebaiknya dipilih ketika penderitaan itu menghampiri Anda?
Belum lama berselang, seorang rekan terserang
stroke cukup berat sehingga membuatnya sulit berjalan. Ia cukup menderita,
tetapi ia menolak untuk mengeluh apalagi putus asa, dan yang terpenting ia
tidak pernah mau menyalahkan Tuhan untuk penyakitnya itu.
Dia memilih untuk tidak percaya terhadap
mereka yang menganggap penderitaannya sebagai kutukan Tuhan. Baginya, Tuhan
terlalu baik untuk mengutuk atau menghukum umat-Nya yang bersalah!
Itulah sebabnya,
sebagai pengganti menyalahkan Tuhan, ia bisa berdoa kepada Tuhan memohon kekuatan-Nya
untuk menghadapi penderitaannya. Penderitaannya terasa menjadi ringan. Ia
menerimanya dengan hati lapang. Hatinya dipenuhi dengan sukacita.
Dalam segala keterbatasannya, ia bisa terus
berkarya, menjadi berkat dan tak henti-hentinya memuliakan Tuhan. Ternyata
penderitaan tidak lagi dilihat sebagai kutukan Tuhan, tetapi justru menjadi
arena tenpat Tuhan menunjukkan kasih-Nya. Amin!
*Penulis melayani sebagai pendeta di GKI Maulana Yusuf, Bandung .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar