Kamis, 15 Maret 2012

Pengalaman Penderitaan, Albertus Patty, Sinar Harapan*


Penderitaan? Tidak seorang pun menginginkannya! Orang bahkan rela melakukan apa pun demi menghindarinya. Tetapi, ini celakanya, penderitaan adalah bagian dari proses perjalanan hidup kita manusia.

Penderitaan menyerang kita dari segala arah dan dari segala situasi. Penderitaan bisa muncul dari mana saja. Ada yang muncul karena bencana alam. Ada yang berasal dari kejahatan atau kelengahan orang lain. Ada yang menderita karena diserang virus atau binatang tertentu, dan ada juga penderitaan yang muncul karena diri sendiri.

 Bentuk penderitaan pun beraneka ragam. Ada yang berupa sakit penyakit, tabrakan, dipecat dari pekerjaan, putus cinta, konflik keluarga, gagal dalam karier, kemiskinan, atau bahkan karena kekayaannya.

 Orang miskin menderita kecemasan karena ketiadaan makanan, sementara banyak orang kaya menderita kepanikan ketika tahu harga saham anjlok. Jadi, kita semua pasti pernah mengalaminya.

 Seorang ibu jatuh sakit sampai harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Penyebabnya ia cemas terhadap keselamatan anaknya yang kuliah di luar negeri. Ibu yang lain, kena serangan jantung dan darah tinggi karena anaknya tidak mau sekolah di mana-mana.

 Seorang teman saya menderita stres berat ketika dokter, yang kepadanya dia berkonsultasi, mengatakan bahwa kemungkinan besar dia terkena kanker. Dia sulit makan dan minum sampai beberapa hari. Berat tubuhnya berkurang drastis.

 Dia makin menderita ketika kelurganya ikut stres dan menangis terus seolah dia sudah pasti mati. Ketika akhirnya dia memutuskan ke dokter lain untuk mendapatkan second opinion, ternyata dia dinyatakan terkena penyakit lain, yang relatif lebih ringan, dan bukan kanker! Stresnya pun lenyap. Penderitaannya jauh berkurang. Dia sudah bisa makan dan minum seperti biasa!

 Penderitaan itu menakutkan. Oleh karena itu, orang sering menggunakan segala cara untuk menghindarinya. Alasan para koruptor mengorupsi uang rakyat mungkin bukan terutama karena mau menjadi kaya, tetapi karena takut miskin.

Alasan lain mungkin takut menderita karena tidak mampu membeli barang yang dikehendakinya. Memang, kehendak adalah salah satu sumber penderitaan.

Jangan Menghakimi

 Ketika Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Dia harus menanggung banyak penderitaan dan bahkan dibunuh, Petrus menarik Yesus ke samping dan menegur-Nya. Petrus tidak bisa menerima kenyataan bahwa Yesus harus menderita.

Bagi Petrus, dan bagi banyak orang lainnya, penderitaan sering dianggap sebagai kutukan dari Allah. Paradigma seperti Petrus ini membuat orang cenderung menghakimi orang lain yang dirundung penderitaan ketimbang menolongnya.

 Hal seperti itu pernah terjadi ketika tsunami melanda Aceh. Saat itu banyak orang yang melihat tsunami sebagai ekspresi kemarahan Allah kepada orang Aceh yang dianggap berlumuran dosa. Sebagai pengganti menolong masyarakat Aceh yang menderita, orang-orang ini justru menghakimi orang Aceh yang jadi korban tsunami.

 Yesus balik menegur Petrus dengan sangat keras (Markus 8:33). Melalui teguran-Nya, Yesus membuka perspektif baru yaitu bahwa jangan terlalu mudah menilai penderitaan sesama sebagai wujud kutukan Allah.

 Sebaliknya, bagi Yesus penderitaan justru diizinkan Allah untuk suatu tujuan tertentu yang Allah rencanakan dan kehendaki. Oleh karena itu, penderitaan bukanlah untuk diratapi.

Orang yang menderita tidak lagi harus dihakimi atau dikutuki. Lebih baik mulai membangun pendekatan yang lebih manusiawi terhadap mereka yang menderita dengan cara membangun solidaritas dan bela rasa terhadap mereka. Orang yang menderita lebih membutuhkan cinta daripada penghakiman!

Malah Mensyukuri

 Pertanyaan yang paling penting adalah: apa sikap yang sebaiknya dipilih ketika penderitaan itu menghampiri Anda?

 Belum lama berselang, seorang rekan terserang stroke cukup berat sehingga membuatnya sulit berjalan. Ia cukup menderita, tetapi ia menolak untuk mengeluh apalagi putus asa, dan yang terpenting ia tidak pernah mau menyalahkan Tuhan untuk penyakitnya itu.

 Dia memilih untuk tidak percaya terhadap mereka yang menganggap penderitaannya sebagai kutukan Tuhan. Baginya, Tuhan terlalu baik untuk mengutuk atau menghukum umat-Nya yang bersalah!

Itulah sebabnya, sebagai pengganti menyalahkan Tuhan, ia bisa berdoa kepada Tuhan memohon kekuatan-Nya untuk menghadapi penderitaannya. Penderitaannya terasa menjadi ringan. Ia menerimanya dengan hati lapang. Hatinya dipenuhi dengan sukacita.

 Dalam segala keterbatasannya, ia bisa terus berkarya, menjadi berkat dan tak henti-hentinya memuliakan Tuhan. Ternyata penderitaan tidak lagi dilihat sebagai kutukan Tuhan, tetapi justru menjadi arena tenpat Tuhan menunjukkan kasih-Nya. Amin!

*Penulis melayani sebagai pendeta di GKI Maulana Yusuf, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar